Khilafah Pemutus Penderitaan Umat Islam Di Seluruh Belahan Dunia



Oleh : Ummu Aqeela

Pengesahan Amandemen Undang-Undang Kewarganegaraan India (CAB) pada Desember 2019 menjadi polemik dan memicu kerusuhan antara pemeluk Hindu dan Islam di New Delhi, India.

Parlemen India menerbitkan undang-undang yang akan memberikan kewarganegaraan India kepada para imigran dari tiga negara tetangga- Pakistan, Afghanistan, Bangladesh- kecuali jika mereka adalah Muslim.

Seperti dilansir AFP, Jumat (28/2), UU Amendemen Kewarganegaraan yang kontroversial ini dinilai mempercepat perolehan status kewarganegaraan bagi penganut agama minoritas, termasuk Hindu, Sikh, Budha, Jain, Parsis dan Kristen dari tiga negara tetangga tersebut, yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Partai-partai oposisi mengatakan UU itu tidak konstitusional karena mendasarkan kewarganegaraan pada agama seseorang, dan akan semakin meminggirkan 200 juta komunitas Muslim di India.

Sekitar 80 persen penduduk India memeluk Hindu, dan populasi Muslim berjumlah sekitar 200 juta orang, atau sekitar 14 persen. Setelah pemisahan India-Pakistan pada 1947, sepuluh juta warga Hindu dan Sikh terpaksa keluar dari Pakistan, yang pada waktu itu masih terbagi menjadi dua bagian, dan tujuh juta Muslim harus pindah dari India. Namun, masih banyak penduduk beragama Islam yang enggan pindah ke Pakistan. Begitu pula sebaliknya.

Alasan konflik yang muncul ini adalah karena umat Hindu dan Muslim menggunakan titik rujukan yang berbeda ketika menggunakan sejarah untuk mengartikulasikan tujuan sosial politik dan membangun identitas modern mereka. Ketika Pakistan didirikan untuk mewadahi umat Islam dalam rangka kemerdekaan India, jutaan Muslim beremigrasi. Sejak itu, mereka yang tetap bertahan di India diperlakukan berbeda oleh orang-orang Hindu.

Benih ketidakpercayaan dan kecurigaan diperkuat oleh fakta bahwa kaum Muslim memiliki sistem masyarakat yang tidak dapat disesuaikan dengan sistem kasta umat Hindu. Dengan cara ini, kedua kelompok agama hidup berdampingan, tetapi dengan persepsi berbeda. Orang Hindu menganggap orang Muslim tidak baik. Mereka juga kesal karena warga Muslim tidak tunduk pada program keluarga berencana.

Perselisihan antar dua kelompok masyarakat ini, dalam perkembangannya, beberapa kali meletup dan memicu kerusuhan. Pada 1984, sekitar 3000 orang dari kelompok Sikh tewas dalam huru hara yang dipicu oleh pembunuhan perdana menteri Indira Gandhi, yang dilakukan oleh dua pengawalnya yang berasal dari kelompok Sikh. Lantas pada Desember 1992, India yang berusaha membangun reputasi sebagai negara sekuler kembali tercoreng. Ribuan kelompok Hindu garis keras menyerbu sebuah masjid di Ayodhya di utara India, di mana organisasi fundamentalis Hindu ingin membangun sebuah kuil untuk menghormati Dewa Rama.

Bagi nasionalis Hindu, masjid abad ke-16 ini melambangkan dominasi Muslim atas tanah mereka. India adalah tempat kelahiran Hindu, sekitar 2.500 tahun yang lalu. Islam pertama kali datang ke Asia Selatan sekitar abad ke-12, dan sebagian besar wilayahnya berada di bawah kekuasaan kerajaan Muslim Mogul pada saat masjid ini dibangun. Kelompok nasionalis Hindu berkeras Dinasti Mogul menghancurkan kuil Hindu yang diyakini menjadi tempat kelahiran Dewa Rama untuk membangun masjid. Ratusan orang tewas dalam kekerasan yang kemudian terjadi di seluruh penjuru negeri akibat kejadian tersebut. ( CNN Indonesia, 28 Februari 2020 )

Sungguh dunia Islam adalah dunia paling menderita pasca penerapan konsep negara berbangsa-bangsa di dalamnya. Sejak keruntuhan Kekhilafahan Turki Utsmani tepatnya tanggal 3 Maret 1924 M hingga Maret 2020 eksistensi kaum muslimin sebagai umat yang satu, umat terbaik (khairu ummah) selama 13 abad telah hilang.
Namun diskursus tentang khilafah dan upaya kembalinya khilafah sebagai solusi tunggal problematika dunia Islam terus bergulir dan mustahil dihentikan. Sebab dunia Islam sejatinya membutuhkan negara paling modern yang mampu memberi jawaban atas segala bentuk krisis dan penjajahan.
Negara-negara pengusung dan kaki tangan pendukung konsep negara bangsa-bangsa terus bergunjing perihal khilafah. Tak kalah massif dengan diskusi-diskusi khilafah yang digagas oleh umat Islam sendiri yang menginginkan kembalinya khilafah. Walhasil keduanya melahirkan opini besar dunia yang satu, yakni khilafah memang pernah ada dan akan kembali tegak berdasarkan prediksi kaum penentangnya maupun landasan/dalil-dalil syariat yang berhasil dihimpun umat Islam dari sumbernya yakni Al Qur’an dan as-Sunnah.

Apa mau dikata terbitnya fajar khilafah, sunnatullah yang telah melekat dalam keimanan kaum muslimin. Keimanan kaum muslimin terhadap hari akhir dan janji Allah SWT, berbuah penerimaan terhadap dakwah syariah dan khilafah. Kokohnya dalil-dalil syariat tentang kewajiban menegakkan khilafah sebagai kekuasaan politik yang satu bagi muslim dunia sangat banyak bertebaran dalam khazanah kitab-kitab ulama besar Islam, disamping telah menjadi pakem dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, maupun ijma shahabat.
Di dalam QS. An Nuur ayat 55 disebutkan janji Allah SWT tentang kembalinya kekuasaan Islam yang akan mengangkat umat Islam dari ketakutan (penderitaan) memberikan rasa aman sentausa serta meneguhkan kedudukan kekuasaan yang diridhoi ini.
Tentang kewajiban mengangkat khalifah, tercantum dalam QS. Al Baqarah ayat 30,
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat. “Sesungguhnya Aku akan menjadikan di muka bumi Khalifah.”
Imam Al Qurthubi (w.671 M) menjelaskan bahwa ayat ini merupakan hukum asal tentang wajibnya mengangkat khalifah dan menegaskan tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban ini di kalangan umat dan imam mahdzab.
Keberhasilan dakwah khilafah adalah garansi yang diberikan langsung oleh Pemilik Kekuasaan Langit dan Bumi. Dan beruntunglah mereka yang bersungguh-sungguh memperjuangkannya dengan segenap kemampuannya.
“Dan hendaklah ada segolongan umat yang menyeru kepada al khair, memerintahkan kepada kemakrufan dan mencegah dari kemungkaran. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imron: 104).

Wallaahu a’lam bis-shawwab




Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak