Keruntuhan Khilafah bagai Anak Kehilangan Induknya



Oleh: Sri Yana, Spd.I



Runtuhnya Khilafah pada 3 Maret 1924 yang dimotori oleh Mustafa Kemal Ataturk merupakan kesedihan yang mendalam bagi umat , tanpa khilafahlah umat bagai anak yang kehilangan Induknya, dan dicerai-beraikan menjadi 50 negara yang tersekat-sekat. Tanpa Khilafah pulalah muslim minoritasnya teraniya, yaitu: Palestina, muslim Uygur, muslim India, dan masih banyak lagi yang lainnya. Ketiadaannya lah yang membuat umat terombang ambing dalam kebingungan menghadapi kehidupan ini. Karena dengan adanya junnah berupa payung khilafahlah umat akan sejahtera dan terlindungi.

Kesejahteraan akan terjadi ketika khilafah sudah diterapkan. Khilafah yang seperti apa? Khilafah yang mana mengikuti manhaj kenabian. Karena memang kini banyak metode-metode yang notabennya Islam, malah merusak citra Islam.

Sebagaimana hadis Rasulullah Saw mengenai manhaj kenabian yang merupakan janji Allah SWT, berikut ini:
"Periode kenabian akan berlangsung pada kalian dalam beberapa tahun, kemudian Allah mengangkatnya. Setelah itu datang periode khilafah aala minhaj nubuwwah (kekhilafahan sesuai manhaj kenabian), selama beberapa masa hingga Allah ta’ala mengangkatnya. Kemudian datang periode mulkan aadhdhan (penguasa-penguasa yang menggigit) selama beberapa masa. Selanjutnya datang periode mulkan jabbriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak) dalam beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah ta’ala. Setelah itu akan terulang kembali periode khilafah ‘ala minhaj nubuwwah. Kemudian Nabi Muhammad saw diam.” (HR Ahmad; Shahih).

Dengan yakinnya janji Allah, tentang manhaj kenabian, yaitu tegaknya khilafah yang dinanti-nanti. Sudah sejatinya sebagai khoiru ummah (umat terbaik) untuk berjuang memahamkan umat tentang bobroknya sistem kapitalisme ini, dan menggantinya dengan sistem Islam, yaitu khilafah min hajjin nubuwwah. Dimana sistem yang berasal dari Allah SWT.

Oleh Karena itu, dengan diterapkan khilafah problem kaum muslimin akan mendapatkan solusi yang bersumber dari syariat (hukum syara'), yaitu khitab syari' dari sang pembuat hukum Allah SWT. Dengan begitu, hukum yang berkembang saat ini harus berpedoman kepada syara', bukan sebaliknya hukum mengikuti zaman. Jika hukum mengikuti zaman, akan rusaklah tatanan kehidupan. Sebagaimana yang dialami umat pada sistem demokrasi saat ini.

Fakta rusaknya sistem saat ini, misalnya: persoalan perempuan tentang ide feminisme dan kesetaraan gender yang kini telah mendarah daging pada pemikiran-pemikiran kaum perempuan. Belum lagi kasus perceraian di tahun 2019 ini, yang diperkirakan mencapai angka setengah juta.

Ada lagi generasi saat ini, yang rusak dikarenakan pergaulan bebas, bermain gawai, judi, mabuk-mabukkan, narkoba dan sebagainya. Seharusnya para generasi sekarang, banyak mengukir prestasi, dimana teknologi canggih sudah berkembang pesat di era industri 4.0 ini. Seperti pada masa khilafah, anak sejak kecil sudah diajari solat, puasa, zakat, dan lain-lainnya. Tak lupa juga mereka diperdengarkan dan menghapal Al Qur'an, sehingga diumur 6 atau 7 tahun mereka sudah menjadi seorang hafidz. Karena pada masa keemasan (golden age) anak-anak lebih mudah menyerap ilmu pengetahuan (knowledge). Selain itu, mereka juga belajar hadits. Contohnya: dalam usia 20 tahunan, Imam an-Nawawi, misalnya bisa menghasilkan berjilid-jilid kitab. Bahkan, Imam Ahmad, bisa mengumpulkan dan hafal lebih dari satu juta hadits. Imam Bukhari juga begitu. (media umat.news, 9/8/2017)

Memang di saat ini, sebelum diterapkan khilafah, hanya keluarga sebagai benteng terakhir penanaman dan praktek Islam, itupun semakin lemah. Oleh karena itu, sebagai umat kita bertanggung jawab atas penegakan khilafah ini. Dan sejatinya mari kita terus berjuang. Dimana peristiwa keruntuhan khilafah mengingatkan bahwa kita saat ini bagai anak yang kehilangan induknya. Menyadari urgenitas keberadaan khilafah dan mendorong mewujudkan kembali di era saat ini.
Wa'allahu a'lam bish shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak