Kerugian Dibalik Status Negara Maju




Oleh : Halimah

Amerika Serikat lewat US Trade Representative (USTR) merevisi daftar kategori negara berkembang mereka untuk urusan perdagangan internasional. Beberapa negara yang semula ada di daftar negara berkembang seperti China, Brazil, India kini naik kelas jadi negara maju. Termasuk juga Indonesia dan Afrika Selatan, sebagaimana pengumuman USTR yang dikutip dari The Star, Minggu (23/3/2020). Revisi daftar ini sebenarnya untuk mempermudah Amerika Serikat melakukan investigasi ke negara-negara tersebut, mencari tahu apakah terdapat praktik ekspor yang tidak fair, seperti pemberian subsidi untuk komoditas tertentu. https://www.cnbcindonesia.com/news/20200223090238-4-139847/as-coret-ri-sebagai-negara-berkembang-kini-jadi-negara-maju
Menanggapi hal ini, Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, konsekuensi Indonesia ketika menjadi negara maju yaitu bakal dihapuskannya pula Indonesia sebagai negara penerima fasilitas GSP (Generalized System of Preferences). Dengan fasilitas GSP, Indonesia sebelumnya bisa menikmati fasilitas bea masuk yang rendah untuk ekspor tujuan AS. Sehingga akan membantu bagi negara berkembang dan miskin untuk terus bertumbuh.
Bhima mengatakan, peniadaan GSP dengan status menjadi negara maju bisa menyebabkan meningkatnya beban tarif bagi produk ekspor asal Indonesia yang selama ini mendapat insentif. Saat ini menurutnya, ada total 3.572 produk Indonesia memperoleh fasilitas GSP.
"Pastinya rugi, karena fasilitas perdagangan yang selama ini dinikmati Indonesia akan dicabut," ujar Bhima kepada kumparan, Minggu (23/2).
Lebih lanjut, Bhima pun menyebut nantinya Indonesia juga bisa kehilangan potensi ekspor yang besar ke AS. Utamanya berkaitan dengan produk-produk unggulan seperti tekstil dan pakaian sebab insentifnya dihapus. Sehingga, ia bilang, defisit neraca perdagangan Indonesia bisa makin lebar. Per Januari 2020 ini, defisit Indonesia mencapai USD 864 juta.
"Kalau Indonesia tidak masuk GSP lagi kita akan kehilangan daya saing pada ribuan jenis produk. Ekspor ke pasar AS terancam menurun khususnya sektor tekstil dan pakaian jadi. Ini ujungnya memperlebar defisit neraca dagang," kata dia.
Mengutip data statistik Kementerian Perdagangan (Kemendag), Amerika Serikat (AS) merupakan mitra dagang terbesar kedua Indonesia setelah China. Pada 2019, nilai perdagangan Indonesia-AS mencapai USD 26,975 miliar. https://kumparan.com/kumparanbisnis/sebutan-negara-maju-bisa-rugikan-indonesia-kok-bisa-1stfBs00mA4.

Jadi jelas perubahan status menjadi negara maju justru merugikan Indonesia. Mulai dari semakin sulit bersaing dalam kancah perdagangan internasional hingga utang negara akan semakin sukar dilunasi karena meningkatnya suku bunga bagi negara maju. Juga karena melebarnya defisit neraca dagang. Maka jelas hal ini akan berimbas pada menurunnya investasi yang diperkirakan akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi negeri. Bahkan bisa jadi negara ini akan berubah status kembali namun menjadi lebih hina di mata internasional, yaitu negara miskin.
Sedangkan, revisi status Indonesia dan negara lain sebagai negara maju justru merugikan dan menegaskan hegemoni AS atas perdagangan global. Hal ini jelas terlihat bahwa AS merasa telah dirugikan dengan adanya negara-negara yang berlindung di balik status negara berkembang dan disinyalir demi mendapatkan perlakuan istimewa dalam beberapa kesepakatan dagang di WTO.

WTO yang merupakan lembaga yang sengaja dibentuk dari sebuah kesepakatan negara besar untuk meluaskan pasar. Seolah menjadi legalitas perdagangan bebas. Kalaupun dicermati, WTO menjadi legalitas negara-negara besar untuk meluaskan pasar mereka, dan mencari sumber daya alam baru yang murah melalui perdagangan dengan tanpa hambatan. Dengan WTO, penjajahan ekonomi dunia bisa direstui. Dengan demikian, semakin jelas bahwa WTO merupakan perpanjangan tangan AS. Maka dengan kekuasaannya tersebut Pemerintah AS bisa memperlakukan secara khusus bagi negara-negara mitra dagangnya yang dianggap tidak setara dengannya yang diklasifikasi sebagai negara berkembang. Dan ketika AS merasa dirugikan, ia bisa merevisi klasifikasi ini dari negara berkembang menjadi negara maju. Tak lain demi tujuan keuntungan pribadi negara adidaya tersebut.
Akibat penerapan sistem kapitalisme global ini, sejatinya hanyalah alat penjajahan untuk menghisap kekayaan alam dan SDM negara-negara miskin dan berkembang. Para pemilik modal adalah tuannya. Dan materi adalah tujuannya. Maka tak akan bisa negara ini menjadi negara yang independen apabila masih mempertahankan sistem rusak ini.
Terkecuali jika Indonesia mau melepaskan diri dari cengkeraman perjanjian-perjanjian serta organisasi internasional yang mengikat dan merugikan serta intervensi negara penjajah. Maka satu-satunya cara adalah dengan memunculkan kekuatan baru yang setara atau bahkan melebihi kedigdayaan negara sejenis AS. Yaitu dengan menjadikan Islam sebagai sistem politik ekonomi serta sistem yang mengatur segala lini kehidupan. Karena pembangunan dalam Islam adalah pembangunan yang menyeluruh. Pembangunan yang berdasarkan konsep Rabbani. Konsep yang tidak hanya terpaku kepada pembangunan aspek keduniaan dan materi saja, tetapi juga aspek ruhiyah dan akhirat.
Islam tidak pernah memisahkan keduanya. Konsep yang mengajak kepada keadilan dan keseimbangan antara kepentingan individu tanpa melupakan kepentingan bersama. Konsep yang menolak keras pembangunan yang hanya mengayakan sebagian golongan kecil dan memiskinkan golongan lainnya.

Konsep yang menghadirkan rasa tanggung jawab. Keseimbangan dan keselarasan antara ruh dan jasad, antara ilmu dan akhlak, akan melahirkan keberkahan yang dijanjikan Allah Swt dalam firmanNya: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (Al-A’raf: 96).

Untuk itu, Rasulullah sebagai uswatun khasanah, selalu mendorong umat Islam untuk bekerja keras dengan tangan-tangan mereka sendiri, bukan dengan tangan-tangan bebas atau tenaga kerja asing. “Tidak ada makanan yang lebih baik dari makanan selain makanan yang dimakan dari hasil yang didapat sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah Daud melampaui hasil penelitian itu sendiri, ”kata Rasulullah dalam hadits riwayat Bukhari. Wallahua’lam bishowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak