"Memblokade" Kejahatan terhadap Anak



Oleh : Nadiya Sidqin

Kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang gadis remaja (NF) terhadap seorang balita di Jakarta sungguh menampar para ayah bunda dan dunia peradilan negeri ini. NF pada Jumat (6/3/2020) sekitar pukul 09.00 WIB menyerahkan diri kepada polisi atas tindakan pembunuhan yang dilakukannya di rumahnya sendiri dan menyimpan mayat korban di lemari kamarnya. Polisi pun terkejut. NF mengaku terinspirasi film horor Chuky dan anime Slender Man sehingga tega melakukan pembunuhan sadis itu. 

Kejadian itu menambah kekhawatiran para orang tua terhadap anak-anaknya. Khawatir 'tertular' anak-anak mereka menjadi pelaku seperti NF ataupun menjadi korban seperti ananda APA. Sementara itu, pihak berwajib merasa dilema karena usia NF baru 15 tahun, dimana dalam UU perlindungan anak batas usia disebut anak-anak adalah 18 tahun. Oleh sebab itu, kejahatan NF tidak bisa diberlakukan tindak pidana karena masih di bawah umur. Mereka terus membahas sebab-sebab kekerasan terhadap anak yang kian eksis dan mengkaji akar persoalannya. 

Jika kita melihat kasus pembunuhan ini dipicu semata-mata oleh hobi menonton film horor, rasanya terlalu dangkal. Betapa mewabahnya kasus pembunuhan bagi setiap anak yang menonton tayangan horor. Oleh sebab itu, perlu pandangan yang mendalam tentang kehidupan pengasuhan dan pendidikan NF di rumah. Disamping faktor-faktor luar yang berkontribusi. Apakah kasuistik atau memang sistemik? 
Seorang gadis NF sudah pasti "menderita" psikis. Dan itu amat dalam akibat "malnutrisi" kejiwaan yang ia alami dalam kehidupan keluarganya. Bagaimana ayah bunda NF? Mereka tidak bisa disalahkan 100 persen, meski memang ditengarai abai dalam pengasuhan. Sebab ada faktor lain berupa lingkungan masyarakat dan kebijakan pemerintah juga turut berpartisipasi menyumbang kesalahan. 

Kita semua harus menyadari bahwa hidup di abad digital dengan atmosfer sekularisme seperti sekarang tidaklah mudah, meski disokong kemajuan teknologi sekalipun, sangat berat rasanya. 
Kapitalisme yang berlandaskan asas sekuler (memisahkan agama dari kehidupan) menjadi rumah idaman bagi industri-industri hiburan. Tak payah, anak-anak dengan leluasa mengakses konten yang ia ingini tanpa sensor dan uji "amdal" sosial yang memadai. Padahal tayangan semisal Chucky maupun Slander Man diyakini menginspirasi kekerasan. Para penonton terobsesi tokoh imajinatif dalam film tersebut sehingga ingin melakukan adegan yang sama. Dan NF salah satu yang mengakui hal itu. Kemajuan teknologi digital ini dimanfaatkan oleh Kapitalisme dalam meraup banyak kekayaan sekaligus merusak generasi. 
Makin klop bila ditambah sistem pendidikan yang juga sekuler. Anak-anak dididik tanpa bekal agama yang memadai sehingga meski tergolong kriteria anak prestatif secara akademik seperti NF, kita mendapati jiwanya kering dari agama.

Kejahatan sejatinya bukanlah fitrah manusia, apalagi anak-anak. Namun, tindak kejahatan memanglah potensial manakala lingkungannya mendukung, seperti adegan kekerasan langsung dari orang tua, teman, maupun tontonan. Di tambah lemahnya iman. Maka tak dapat dielak, "gairah" jahat itu akan bangkit,  pada diri anak yang masih ingusan sekalipun. 

Lantas bagaimana menghentikan semua ini? 

Pertama, penting dan mendesak bagi para ayah bunda membangun pondasi iman (akidah) Islam kepada anak-anak sejak dini dengan terus mengokohkannya hingga usia pra-baligh. Ketika iman telah kuat di dalam jiwa anak, maka self kontrol berupa takut kepada Allah dan senantiasa merasa diawasi pun akan kuat. 
Kedua, memenuhi ruang berpikir anak dengan "nutrisi" tsaqofah Islam, sehingga anak berpikir dan berperilaku dalam rel syariat dan tidak melenceng. Hal ini sekaligus menjalin komunikasi yang produktif bersama anak, sebab transfer tsaqofah Islam akan efektif manakala jalur komunikasi yang ditempuh juga efektif dan dilakukan secara intens dengan anak. Outputnya akan diketahui kemana kecenderungan anak-anak kita sehingga ayah bunda dapat mengarahkan kecenderungan itu kepada Islam. 

Ketiga, adanya lingkungan  yang kondusif. Kita tidak bisa mengkavling kehidupan anak-anak kita hanya di rumah saja. Mereka adalah makhluk sosial yang butuh interaksi dengan sekitar. 
Mengutip tulisan Dr. Abdullah Nashih 'Ulwan dalam buku Nopriadi Hermani, Ph.D berjudul The Model for Smart Parents yang menuliskan bahwa "Lingkungan yang baik memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pendidikan seorang Muslim untuk membentuk kesalehan dan ketakwaannya, dan pembentukan pribadinya yang beriman, berakidah, dan berakhlak mulia."

Oleh sebab itu, keberadaan lingkungan yang baik adalah mutlak diwujudkan. Lingkungan sekuler seperti saat ini bukanlah tempat yang aman bagi tumbuh kembang generasi kita. Terbukti dengan kefasadan yang fantastis jumlahnya sejak penerapannya yang belum seabad di dunia Barat maupun Timur. 

Oleh sebab itu, ayah bunda harus meleburkan diri dalam upaya perbaikan lingkungan menuju lingkungan yang Islami melalui tegaknya institusi penopang sebagai penjaganya. Dengan ini, ayah bunda sangat tertolong dalam upaya mensalehkan generasi dan memblokade kejahatan terhadap anak. 
Wallahu a’lam bishshowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak