Oleh : puput weni
Al-ummu madrosatun atau ibu adalah tempat dimana anak mendapat asuhan dan diberi pendidikan pertama bahkan mungkin sejak dalam kandungan. Alangkah luas maknanya. Dipundak ibulah terletak tanggungjawab perkembangan rukhiyah(mental), aqliyah(intelaktual), dan jasadiyah(fisik) seorang anak terpikul. Namun di era kapitalis-sekuler seperti sekarang ini peran ibu sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya semakin tak nampak.
Seperti yang terasa saat ini dimana Kemdikbud dan dinas-dinas pendidikan mengeluarkan kebijakan belajar di rumah selama 14 hari karena pandemi corona.
Sejumlah provinsi mulai Senin (16/3) meliburkan sekolah, dari jenjang TK, SD, SMP dan SMA hingga Senin (30/3). Langkah itu diambil untuk mengantisipasi penyebaran virus corona, jenis baru atau Covid-19 di lingkungan lembaga pendidikan.
Sebagai gantinya, pembelajaran yang biasanya dilakukan di sekolah diubah menjadi di rumah. Siswa tetap mengerjakan semua tugas sekolah meski berada di rumah. Orang tua yang juga bekerja dari rumah diminta untuk mengawasi proses belajar anak selama berada di rumah (republika.co.id, 17/03/2020).
Belajar dirumah tampak menyenangkan tanpa memakai seragam, mengatur waktu sendiri dengan ibu, mentukan tugas mana yang akan dikerjakan terlebih dahulu. Seakan memberikan angin segar pada siswa dan ibunya namun pada kenyataannya belajar dirumah membuat mereka stres.
Komisioner KPAI bidang pendidikan, Retno Listyarti menilai sistem belajar di rumah yang diterapkan sekolah tidak efektif karena belum ada pemahaman yang baik oleh para guru. Sebab selama kebijakan belajar dari rumah, banyak guru malah memberikan tugas-tugas sampai menumpuk yang berujung para siswa menjadi stres.
"KPAI menerima pengaduan sejumlah orangtua siswa yang mengeluhkan anak-anak mereka malah stres karena mendapatkan berbagai tugas setiap hari dari para gurunya," tuturnya melalui keterangan pers yang diterima CNNIndonesia.com, Rabu (18/3).
Hal itu bisa dikarenakan ibu tidak memiliki kesiapan sehingga bingung apa yang harus dilakukan dalam mendidik anaknya. Selain itu ibu yang berkarir semakin kewalahan mengatur waktu hingga pada akhirnya tugas yang seharusnya dikerjakan dengan anaknya ia kerjakan sendiri. Niat baik membantu anak tapi dengan cara yang salah. Selain itu guru juga tidak melihat bagaimana proses pengerjaan tugas namun langsung menilai hasilnya. Inilah mindset dan pola yang kurang tepat pada sistem pendidikan saat ini. Dalam pembelajaran normalpun rata-rata praktek sistem pendidikan di Indonesia mencetak murid berprestasi secara instan yang berorientasi pada pencapain duniawi semata yang materialisme. Orang tuapun mempercayakan anaknya pada sistem pendidikan sekuler tanpa mengevaliasi proses belajar anaknya.
Sebelum seorang wanita memiliki gelar menjadi ibu yang akan mendidik anaknya sebagai generasi tangguh wajib baginya mengumpulkan bekal. Karena ibu bertanggung jawab bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan fisik tapi juga secara metal dan intelektual. Persiapan yang matang haruslah berkiblat pada akidah islamiyah.
Negara juga memiliki andil untuk mewujudkan generasi tangguh. Dengan meriayah rakyatnya menggunakan syariat islam kaffah. Sehingga sebuah permasalahan bisa terselesaikan sampai ke akar-akarnya bukan malah semakin bercabang dan meninmbulkan kegaduhan baru.