Oleh: Elin Marlina, A.Md.
Wabah virus Corona masih menyebabkan kekhawatiran di seluruh dunia, termasuk bagi masyarakat di Indonesia. Terlebih saat ini Organisasi Kesehatan Dunia, WHO telah menetapkan status darurat dunia.
Keresahan masyarakat atas wabah tersebut disinyalir menjadi biang dari kelangkaan dan meroketnya harga masker di Indonesia. Masyarakat berbondong-bondong membeli masker karena menganggap dengan menggunakannya dapat mencegah virus masuk ke tubuh.
Namun mirisnya, penyebab kelangkaan masker ternyata bukan semata-mata karena habis diserbu untuk dipakai sendiri, melainkan adanya oknum-oknum yang sengaja membeli dalam jumlah besar, lalu ditimbun dan dijual kembali dengan harga berkali lipat.
SebagaiMana yang dilakukan pelaku penimbunan masker, berinisial HK dan TK, mereka ditangkap Satuan Reskrim Polres Metro Jakarta Utara dan Polsek Pademangan. Polisi mengamankan 72 ribu lembar masker dari gudang milik dua tersangka. Masker-masker ini mereka jual nyaris 10 kali lipat dari harga normal. Satu dus berisi 50 lembar masker dijual Rp200 ribu, padahal harga normalnya hanya Rp22 ribu (tirto.id 14/03/20).
Namun kemudian muncul berita Polres Metro Jakarta Utara akan menjual kembali ribuan masker yang mereka sita dari tersangka HK dan TK dengan harga normal. "Kami akan melakukan sesuatu yang mungkin agak melanggar, tapi demi kepentingan umum yang lebih besar. Yang kami jadikan barang bukti ini akan kami jual kembali ke masyarakat," jelas Kapolres di kantornya.
Ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Mudzakir mengatakan tindakan ini bertentangan dengan undang-undang. "Kalau mau dijual untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, harus dengan izin pengadilan."
Lain hal dengan ahli hukum pidana UII, Menko Polhukam Mahfud MD menanggapi menanggapi penjualan masker oleh aparat ini dengan jawaban santai dan menurutnya hal tersebut tidak melanggar hukum sama sekali dengan satu persyaratan. “Asal uangnya (hasil penjualan) tak dimakan sendiri, boleh. Bisa dikembalikan ke negara atau dikembalikan dari mana (masker) disita,” ujar Mahfud di Kemenko Polhukam.
Respon dari pemerintah terhadap perkara ini sangat disayangkan. Selain itu, rakyat dibuat makin meradang saat pemerintah malah mendorong pariwisata di tengah wabah virus corona. Sedangkan, Arab Saudi berusaha mengamankan negaranya hingga menghentikan sementara ibadah umrah.
Ada pula pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan yang menginginkan tenaga kerja asing (TKA) asal Cina untuk bisa segera kembali ke Indonesia. Luhut bilang terhambatnya arus balik TKA Cina di Indonesia yang pulang saat imlek memberi dampak negatif ke perekonomian.
Pemerintah bukannya mengambil langkah-langkah yang menghentikan sumber kepanikan masyarakat justru makin memperparah keadaan. Harusnya pemerintah menanamkan keyakinan publik bahwa pemerintah melakukan langkah antisipasi yang maksimal dan mengedepankan keselamatan rakyat dibanding kepentingan ekonomi dan lain-lain. Malah pemerintah menyalahkan kepanikan rakyat, sambil mengambil keuntungan materi dari situasi tersebut.
Maka tampak jelas, bahwa pemerintah sekarang ini memperlihatkan dirinya sebagai rezim korporatokrasi. Ia hanya lebih berorientasi untung dibanding kemaslahatan rakyat. Sementara dalam Islam, pemimpin memiliki dua fungsi utama, sebagai raa’in (pengurus umat) dan junnah (perisai).
Kedua fungsi ini dijalankan oleh para Khalifah sampai 14 abad lamanya dan itulah masa kegemilangan Islam. Pasang surut kekhilafahan secara sunnatullah memang terjadi, tapi kedua fungsi ini ketika dijalankan sesuai apa yang digariskan syara’, terbukti membawa kesejahteraan dan kejayaan umat Islam.
Karena khalifah itu adalah perisai, maka Ia akan berupaya untuk menjauhkan segala macam gangguan pada orang-orang yang dipimpinnya, termasuk gangguan kesehatan. Apalagi gangguan tersebut terbukti mengancam jiwa.
Islam merupakan sistem yang memiliki aturan komprehensif dalam mengelola kesehatan. Ketaatan kepada Allah SWT menjadi motivasi kuat dalam menunaikan kewajiban atas rakyatnya. Negara khilafah tentu akan melakukan apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, yaitu melakukan serangkaian kebijakan sejak dini ketika ada ancaman wabah penyakit menular.
Negara memiliki peran untuk senantiasa menjaga perilaku sehat warganya. Hal ini sangat membantu pemulihan wabah penyakit menular dengan cepat karena warga negara daulah telah membangun sistem imun yang luar biasa melalui pola hidup sehat.
Tentunya juga didukung dengan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai serta sumber daya manusia yang profesonal dan kompeten. Penyediaan semua itu menjadi tanggung jawab negara.
Karenanya negara wajib membangun berbagai rumah sakit, klinik, laboratorium medis, apotek, lembaga litbang kesehatan, sekolah kedokteran, serta sekolah kesehatan lainnya yang menghasilkan tenaga medis.
Negara juga wajb mengadakan pabrik-pabrik yang memproduksi peralatan medis dan obat-obatan. Bahkan ketika kasusnya dalam negara tengah terjadi wabah hingga akhirnya beberapa produk penunjang medis ataupun non medis mengalami kelangkaan seperti sekarang ini.
Negara bisa mengintruksikan kepada pabrik-pabrik yang bukan penghasil barang-barang langka yang dimaksud untuk kemudian memproduksinya selama masa wabah hingga stok dipasaran kembali normal dan tentunya kebutuhan rakyat tercukupi.
Pelayanan kesehatan harus diberikan secara gratis kepada rakyat baik kaya ataupun miskin tanpa diskriminasi agama, suku, warna kulit dan sebagainya. Pembiayaan untuk semua itu diambil dari kas Baitul Mal, baik dari pos harta milik Negara maupun milik umum.
Negara merupakan lembaga yang mengatur urusan rakyat secara praktis. Penguasa yang menjalankan roda pemerintahan dituntut untuk benar-benar mengurus dan memenuhi semua kebutuhan rakyat.
Sebagai para pemimpin yang diserahi wewenang untuk mengurus kemaslahatan rakyat, akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT kelak pada hari kiamat, apakah mereka telah mengurusnya dengan baik atau tidak.
“Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.
Tags
Opini