Iuran Batal Naik, Defisit BPJS Kesehatan Makin Melebar?



Oleh : Sidrawati
(Mahasiswi Profesi Ners Universitas Muslim Indonesia)

Keputusan Mahkamah Agung (MA) mengenai pembatalan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan telah diumumkan pada Maret 2020. Setelah gugatan secara hukum yang dilayangkan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) tentang Peraturan Presiden No. 75 tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Judicial review yang dilakukan oleh KPCDI ke Mahkamah Agung menemukan bahwa keputusan BPJS ternyata bertentangan dengan hukum, salah satunya pada UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Kesehatan.

Dilansir dari CNNIndonesia.com, ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah menilai putusan MA membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sudah tepat. Apalagi, saat ini ekonomi Indonesia dibayangi wabah virus Corona. Resiko pembatalan kenaikan iuran akan membuat defisit BPJS Kesehatan melebar. Tetapi, ia berpendapat kenaikan iuran tetap tak banyak membantu memperkecil angka defisit. 

“BPJS Kesehatan itu memang hibah. Niat negara adakan BPJS Kesehatan sebagai jaminan sosial, bukan asuransi. Itu tanggung jawab negara.” kata Ribka dalam rapat kerja Komisi IX DPR dengan Menteri Kesehatan dan BPJS Kesehatan di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (20/1) lalu. Politikus PDI Perjuangan itu mengatakan defisit yang saat ini dialami BPJS Kesehatan masih sangat kecil bila dibandingkan dengan yang diperkirakan saat pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Karena itu, dia merasa heran bila pemerintah selalu menyampaikan masalah BPJS Kesehatan dalam mengelola Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) selalu mengalami defisit. (ayobandung.com)

Kenaikan iuran BPJS telah diberlakukan per Januari-Februari 2020 sebelum akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) pada Maret 2020. Sidang putusan pengabulan gugatan dari KPCDI itu dilakukan oleh hakim Yoesran, Yodi Martono, dan Supandi pada 27 Februari 2020.

Sebagai institusi yang digadang terdepan dalam menjalankan program Jaminan Kesehatan Nasional, BPJS telah mengalami banyak defisit. Berdasarkan data statistik (databoks.katadata.co.id) defisit BPJS pada tahun 2014 yang mencapai 3,3 Triliun Rupiah, tahun 2015 yaitu 5,7 Triliun Rupiah, 2016 hingga 9,7 Triliun Rupiah, 2017 mencapai 9,8 Triliun Rupiah dan pada tahun 2018 total defisit BPJS Kesehatan mencapai 12,2 Triliun Rupiah. Jelas nominal tersebut bukanlah angka yang sedikit.

Setelah ketok palu dilayangkan oleh lembaga tertinggi yudikatif itu, BPJS Kesehatan tidak berkutik dan langsung menyetujui. Kini BPJS harus menanggung nasib buruk, hutang yang melilit bak ular berbisa kini tak dapat terelakan. BPJS harus kehilangan sekitar 6 triliun rupiah yang diprediksi dapat menutupi hutang-hutangnya.

Alih-alih ingin mencari jalan keluar dalam masalah defisit anggaran. BPJS malah harus diseret ke meja hukum untuk mempertanggungjawabkan keputusannya dalam menaikkan iuran. Gugatan yang dilayangkan oleh KPCDI sedikit banyaknya telah memberikan efek relaks pada masyarakat yang mungkin telah mimpi buruk ketika harus merogoh kocek yang besar untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

Seyogianya, kesehatan masyarakat harus ditanggung oleh negara itu sendiri. Hubungan antara negara dengan rakyat diibaratkan seperti hubungan ayah dengan anaknya, seorang ayah bertanggungjawab terhadap kebutuhan anaknya termasuk kebutuhan dibidang kesehatan. Namun, faktanya negara terlihat abai terhadap rasa sakit yang dirasakan oleh masyarakat. Solusi yang diberikan terkesan masih membebani rakyat.

Belakangan ini BPJS Kesehatan memang selalu menuai kontroversi, sistemnya yang semakin merisaukan serta pelayanan kesehatan yang begitu mengkhawatirkan. Negara dengan sistem ekonomi kapitalis, kesehatan dikomersialisasi berharap jaminan ternyata memungut iuran. Dalam kondisi seperti ini, layanan gratis hanya mimpi bagi orang sakit, sungguh miris.

Islam menjamin kesehatan masyarakatnya tanpa takut defisit
Sebagai ideologi yang paripurna, Islam memandang kesehatan masyarakat sebagai perkara yang sangat penting bagi ketahanan sebuah negeri. Pemimpin dalam suatu negeri adalah orang yang paling bertanggungjawab terhadap kesejahteraan rakyatnya.

Hal ini telah disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam hadits beliau “sesungguhnya seorang penguasa adalah pengurus (urusan rakyatnya), dan ia bertanggungjawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR. Muslim dan Ahmad). Tanggung jawab yang diberikan kepada seorang pemimpin dan negara haruslah diemban secara baik tidak boleh dialihkan oleh pihak lain.

Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir bahwa Rasulullah SAW sebagai kepala negara pada saat itu mendatangkan dokter untuk mengobati Ubay. Ketika Rasulullah SAW pernah mendapatkan hadiah dokter dari Muqauqis, Raja Mesir nabi lalu menjadikannya itu sebagai dokter umum bagi masyarakat. Al-Hakim meriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab memanggil dokter untuk mengobati Aslam dan diberlakukan untuk semua rakyatnya. Ini merupakan dalil mengenai pelayanan kesehatan yang diberikan oleh negara secara gratis dan untuk seluruh rakyat tanpa terkecuali.

Islam sangat memperhatikan kesehatan masyarakatnya. Sistem kesehatan dalam Islam berlaku umum tanpa diskriminasi kelompok tertentu, memiliki sistem pelayanan yang berkualitas, cepat, tidak berbelit serta tidak ada pembedaan pelayanan berdasarkan tingkat kelasnya. 

Adapun biaya kesehatan gratis bukanlah utopis karena adanya peran negara yang bertanggung jawab penuh dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya. Pembiayaannya diperoleh dari pengelolaan SDA (sumber daya alam) yang dimiliki negara. Hal ini berbeda ketika negara mengadopsi sistem kapitalisme. Kekayaan SDA diprivatisasi oleh perusahaan asing dan swasta sementara negara hanya menerima keuntungan recehan. Akibatnya, tak ada dana untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya.

Demikianlah Islam memandang kesehatan masyarakat. Masyarakat akan tetap mendapat jaminan kesehatan secara gratis tanpa takut negara menjadi defisit. Sistem Jaminan Kesehatan Islam ini hanya akan terlaksana sempurna ketika Islam diterapkan secara komprehensif dalam kehidupan kita dengan negara sebagai pelaksananya.

Wallahu ‘alam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak