Islam Totalitas Menjamin Ketahanan Keluarga




Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga tengah hangat diperbincangkan. Publik menyoroti sejumlah pasal kontroversial di dalamnya. Meski baru berbentuk draf, RUU ini dianggap berupaya meneropong mulai kewajiban suami-istri di dalam rumah tangga hingga urusan ranjang.

RUU Ketahanan Keluarga ini diinisiasi oleh lima anggota DPR lintas fraksi, yakni Ledia Hanifa (PKS), Netty Prasetyani (PKS), Endang Maria Astuti (Golkar), Sodik Mujahid (Gerindra), dan Ali Taher (PAN). RUU tersebut juga sudah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2020-2024 nomor 155 yang diajukan oleh DPR/DPD. Perkembangannya pada 7  Februari 2020 yang lalu, RUU ini telah masuk tahap harmonisasi di badan legislatif (Baleg) DPR (Kompas.com, 26/02/2020).

Draf RUU Ketahanan keluarga ini menuai kritik, sehingga memunculkan pro dan kontra khususnya terkait legalisasi norma-norma sosial menjadi pasal dalam undang-undang. Banyak pasal yang dianggap terlalu mencampuri privasi keluarga. 

Pendapat Pro RUU Ketahanan Keluarga

Anggota Komisi X  DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ledia Hanifa Amaliah, menjelaskan alasan dasar dirinya bersama empat anggota DPR lainnya mengusulkan RUU Ketahanan Keluarga.  Menurut dia, kebijakan-kebijakan pembangunan di Indonesia belum berbasis kepada keluarga. Padahal keluarga merupakan struktur dasar dalam bermasyarakat.

"Kita juga melihat persoalan-persoalan yang bisa menimbulkan kerentanan terhadap keluarga, apakah itu kesehatan, pendidikan, pengasuhan, jadi akhirnya Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga ini diusulkan," ujar Ledia.

Melalui RUU tersebut, dia berharap, pemerintah dapat memfasilitasi kebutuhan keluarga-keluarga di Indonesia, sehingga mereka bisa mengembangkan potensinya dan mengatasi permasalahannya yang tentu berbeda-beda. Ledia tak menampik banyak pihak yang mengkritisi usulannya tersebut, tak terkecuali dari kalangan legislator. Menurut dia, draf RUU Ketahanan keluarga yang beredar masih sebatas usulan. Pihaknya terus membuka ruang diskusi dan menerima semua masukan dari masyarakat (Liputan6.com, 21/2/2020).

Sementara anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PAN, Ali Taher, menjelaskan alasan draf RUU Ketahanan Keluarga tidak ada aturan mengenai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tapi malah mengatur aktivitas seksual sadisme dan masokisme/bondage, dominance, sadism dan masochism ( BDSM). Ali menyatakan, RUU itu masih terbuka dari usulan dan kritik masyarakat. Oleh karena itu, pihaknya siap menerima diskusi dan masukan termasuk soal KDRT. Meski begitu, dia mengatakan, yang menjadi fokus para pengusul, draf RUU Ketahanan Keluarga yang ada saat ini sudah memberi warna perlindungan warga dari kekerasan dalam rumah tangga (Liputan6.com, 21/2/2020).

Sedangkan Ketua Dewan Pengarah KUII VII, Anwar Abbas, menyatakan terdapat perubahan pada sejumlah poin rekomendasi. Sebelumnya, KUII VII menerbitkan rekomendasi agar DPR  menolak tegas RUU Omnibus Law tentang Cipta Lapangan Kerja, RUU Minuman Beralkohol, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), RUU Ketahanan Keluarga, revisi UU KUHP dan semua RUU yang  tidak berpihak kepada kemasalahatan umat dan bangsa. Setelah revisi, kata Anwar, KUII VII kini mendukung RUU Larangan Minol, RUU PKS, RKUHP, dan RUU Ketahanan Keluarga. 
"Mendorong dan mendukung RUU Larangan Minuman Beralkohol, RUU PKS, RUU Ketahanan Keluarga, dan RUU KUHP selama RUU tersebut berkesesuaian dengan ajaran agama, kemaslahatan umat dan bangsa, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," ujar Anwar (kumparan.news, 29/2/2020).

Pendapat Kontra RUU Ketahanan Keluarga

Staf khusus presiden Jokowi bidang hukum, Dini Purwono, menilai rancangan undang-undang ini terlalu menyentuh ranah pribadi (Tempo.co).

Anggota komisi VIII DPR RI Fraksi PDIP, Diah pitaloka, menyebut konsep rancangan undang-undang ketahanan keluarga tak relevan. Aturan itu dinilai berseberangan dengan Indonesia yang dikenal demokratis.

Dialektika nilai perempuan Indonesia sudah mencakup semangat kemajuan. Mulai dari semangat pendidikan, konstruksi sosial, hingga konstruksi identitas perempuan. Naskah RUU yang menagih tanggung jawab rumah tangga dari perempuan, hanya cocok diterapkan pada era masa lalu (Medcom.id).

Sementara lembaga kajian independen dan advokasi International for Criminal Justice Reform (ICJR), menurut Direktur Eksekutifnya, Anggara Suwahju, berpendapat bahwa RUU Ketahanan Keluarga justru mengerdilkan peran agama dalam membimbing pembentukan fungsi keluarga yang dinamis.

Di antaranya: “Upaya-upaya pengarusutamaan gender justru dikerdilkan dengan pengaturan kewajiban istri hanya dalam ranah domestik. Pemerintah Indonesia akan gagal menjamin perempuan dan laki-laki memiliki akses terhadap pembangunan yang sama,” jelasnya. (Kompas.com)

Begitu juga pendapat Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara mengingatkan bahwa Indonesia merupakan anggota Dewan HAM PBB. Dengan begitu, seluruh produk undang-undang maupun kebijakan harus berdasarkan pada prinsip dan standar HAM.

Dalam teori HAM, kata Beka, setiap warga negara memiliki hak atas integritas personal, artinya berdaulat atas dirinya sendiri, bebas berpikir, bertindak, maupun bersosialisasi. Sehingga negara tidak bisa serta merta masuk ruang-ruang privat warganya.

Beka menilai, saat ini RUU Ketahanan Keluarga belum diperlukan, sebab aturan, norma, nilai dan adat istiadat di Indonesia masih sangat baik. Belum lagi banyak aturan di dalamnya yang berpotensi tumpang tindih dengan regulasi lain yang sudah ada (Liputan6.com, Kamis (20/2/2020). 

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai, tidak ada yang spesial dalam RUU tersebut. Sebab, menurut dia, hal-hal yang ada di dalam draf RUU Ketahanan Keluarga telah diatur di UU lain. Keberadaan RUU Ketahanan Keluarga dinilai justru bertentangan dengan semangat pemerintah membuat omnibus law. Sebab, RUU tersebut berpotensi tumpang tindih dengan aturan lain yang sudah ada. "Solusinya ya harus dihapus dari program legislasi," ucap Lucius. (Liputan6.com)

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Padang, Feri Amsari menilai, pembentukan RUU ini telah mengabaikan prinsip dapat dilaksanakan dalam pembentukan UU. Contohnya soal relasi suami-istri. (Liputan6.com)

Pihak kontra ini sangat tidak setuju apabila agama dibawa dalam ranah pengaturan urusan publik. Urusan keluarga bersifat privasi dan diselesaikan oleh komitmen masing-masing keluarga sesuai dengan pemahaman dan keyakinannya. Karenanya mereka tidak setuju negara turut campur dalam mengurusi teknis urusan rumah tangga.

Pangkal Polemik

Jika kita telusuri, sesungguhnya munculnya pro-kontra terkait dengan draf RUU ketahanan keluarga ini bukan suatu hal yang aneh jika setiap aturan yang dibuat oleh pemerintah di negeri ini. Menuai kritik.

Pro-kontra RUU ketahanan keluarga ini muncul disebabkan karena negeri ini menganut sistem sekuler kapitalis dimana aturan lahir dibuat oleh manusia dengan menggunakan asas manfaat. Sehingga penilaian setiap orang bisa berbeda antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan sudut pandang akan menghasilkan perbedaan sikap hingga terjadi perdebatan yang pada akhirnya hanya saling menyalahkan dan tidak akan banyak membawa perubahan di negeri ini. 

Dengan prinsip kebebasan dan asas manfaat yang menjadi ruh sistem kapitalis inilah yang menyebabkan adanya penolakan RUU ketahanan keluarga karena dinilai terlalu masuk ke ranah privat dan tak sesuai dengan prinsip kesetaraan gender yang selama ini diperjuangkan. Sehingga ketika RUU ketahanan keluarga terlalu kental dengan nuansa ajaran Islam langsung menuai kritik dan mendapat perlawanan sengit dari pihak moderat sekuler.

Dengan kata lain agama tidak akan pernah mendapat tempat semestinya, hanya diposisikan sebagai keyakinan individu atau kelompok. Tidak boleh ada norma agama sedikit pun dalam perundang-undangan negara.

Islam Melindungi Keluarga

Berbeda dengan Islam. Dimana aturan datangnya dari Allah sang pencipta yang maha pengatur. Islam adalah agama yang lengkap, dan sempurna. Dalam Islam, negara dan agama bak saudara kembar. Tak bisa dibedakan, tak mungkin dipisahkan. Negara merupakan wadah penerapan syariat Islam, representasi Islam adalah negara.

Islam menetapkan negara sebagai penanggung jawab utama untuk kebaikan bangsa, masyarakat termasuk keluarga. Ketahanan keluarga adalah isu penting dalam Islam, sebagai madrasah ula, keluarga ditempatkan sebagai dasar pembentukan identitas bangsa. Islam memiliki seperangkat aturan yang menjamin terwujudnya seluruh aspek yang dibutuhkan dalam mengokohkan ketahanan keluarga.

Sistem politik pemerintahan Islam, tegak di atas paradigma yang sahih tentang kepemimpinan. Pemimpin dalam Islam berfungsi sebagai pengurus sekaligus perisai bagi umat. Ia tak boleh abai atas kebutuhan dan keselamatan rakyatnya. Caranya adalah dengan menerapkan seluruh hukum Allah secara murni dan konsekuen sebagaimana yang Allah perintahkan.

Sistem ekonomi Islam, dipastikan akan menjamin kesejahteraan orang per orang. Karena sistem ini berangkat dari paradigma yang sahih tentang apa makna kebutuhan, potensi manusia dan bagaimana mengelola seluruh sumber daya yang Allah berikan sebagai jaminan rezeki bagi seluruh umat manusia.

Begitu pun dengan sistem sosial. Islam mengatur pergaulan masyarakat, termasuk relasi laki-laki dan perempuan dengan tujuan yang mulia dan memuliakan. Yakni melestarikan keturunan sekaligus mewujudkan generasi cemerlang pionir peradaban yang paripurna dalam keimanan.

Aturan-aturan ini nampak salah satunya dari hukum-hukum keluarga Islam. Di dalamnya, pernikahan dipandang sangat sakral. Akad yang dilangsungkan, dipahami sebagai perjanjian yang kukuh, yang  jika terlepas membuat Arsy hebat terguncang.

Keluarga pun mendapat kedudukan penting dalam Islam. Selain sebagai tempat memenuhi naluri nau’ (melestarikan keturunan) dan sebagai tempat menebar rahmat, juga memiliki posisi politis dan strategis sebagai madrasah, sebagai kamp perjuangan serta sebagai tempat mencetak generasi cemerlang.

Dalam konteks seperti itulah maka Islam memberi aturan-aturan. Termasuk memberi tupoksi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan (suami-istri). Ayah sebagai nakhoda alias pemegang kendali kepemimpinan sekaligus pencari nafkah atau penjamin aspek finansial bagi keluarga. Sementara ibu sebagai guru atau madrasah ula bagi anak-anaknya, sekaligus sebagai manajer rumah tangga suaminya. Kedua peran ini tak bisa dipertukarkan dan dipandang sama penting. Tak ada yang lebih istimewa antara satu dengan yang lainnya.

Islam begitu fokus menciptakan generasi berperadaban mulia, sesuai tujuan penciptaan. Yakni menjadi hamba Allah sekaligus khalifah di muka bumi. Di mana untuk menjamin terlaksananya hukum-hukum tadi Islam membingkainya dengan sistem sanksi yang tegas dan menjerakan.
Sementara kapitalis liberal mengukur segalanya dalam kacamata materialistis. Tak peduli generasi berakhlak buruk, berperilaku menyimpang dan menuhankan kebebasan, yang penting produktif menghasilkan materi, sekalipun menebar kerusakan dan jauh dari tujuan penciptaan.

Tak heran jika sekalipun rancangan UU dibuat sedemikian bagus dan sesuai dengan tuntunan Islam yang diyakini benar, maka akan tetap mendapat penolakan, karena keduanya tegak di atas asas yang berbeda. Yang satu asas akidah Islam, sementara yang lain tegak di atas pengingkaran terhadap peran agama dalam mengatur kehidupan. Sehingga jalan demokrasi justru bertentangan dengan Islam. Bahkan akan memaksa Islam melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan kebatilan. Bagaimanapun sistem demokrasi tak akan pernah memberi jalan Islam bisa ditegakkan. Karena membiarkan Islam tegak berarti merelakan demokrasi membunuh dirinya sendiri.

Oleh karena itu umat harus segera sadar untuk mencampakkan demokrasi sekulerisme dan menggantinya dengan aturan Islam di bawah naungan sistem pemerintahan Islam (khilafah). Karena dengan menerapkan ajaran Islam secara menyeluruh di bawah naungan Khilafah Islamiyah, kemuliaan ibu sebagai pilar keluarga dan masyarakat akan terjaga dan anak-anak akan bisa menjadi generasi yang tangguh dan generasi yang berkualitas. Sehingga ketahanan keluarga akan tercapai dengan gemilang. Wallahu a'lam bishshawwab.

Penulis : Ummu Rahmah
Ibu Peduli Generasi

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak