Islam Sumber Masalah Bangsa, Benarkah ?



Oleh: Uqie Nai
Ibu Rumah Tangga, Alumni Branding for Writer 212

Entah ada apa dengan negeri ini hingga para pejabat negara terus mengeluarkan pernyataan yang menyinggung umat  terkait Islam dan ajarannya. Banyak pihak menyayangkan terhadap statemen yang dilontarkan Kepala BPIP  Yudian Wahyudi maupun Wapres Ma’ruf Amin misalnya.

Dilansir dari laman Viva.co.id, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi, terus menerus menjadi sorotan masyarakat karena pernyataannya yang kontroversial. Yang terbaru, ia dihujat lantaran mau mengganti ucapan assalamualaikum dengan Salam Pancasila.

Yudian dilantik oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Rabu, 5 Februari 2020. Belum sebulan menjabat Kepala BPIP, Yudian, didesak mundur. Bahkan, ada yang meminta BPIP dibubarkan gara-gara pernyataan Yudian. Ia mengatakan  bahwa agama adalah musuh Pancasila bukan kesukuan, namun kemudian pernyataan tersebut dibantah Yudian Wahyudi karena pernyataannya  yang menyebut agama musuh terbesar Pancasila telah dipotong saat diwawancara salah satu media. Menurut dia, dasar negara yang telah disepakati bersama merupakan konsensus dari semua agama. Tapi, belakangan ditafsirkan lain dengan dalil kepercayaannya oleh sekelompok orang. (Viva.co.id, 24/2/2020)

Hal berbeda diungkapkan pula oleh Wapres KH Ma'ruf Amin saat membuka Rakernas-II dan Halaqah Khatib Indonesia di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (14/2). Beliau mengajak khatib untuk menghindari narasi konflik. Khutbahnya untuk mengedepankan persatuan dan kesatuan umat, tidak memberikan materi dakwah yang justru mengobarkan permusuhan di antara umat. 

"Karena itu harus membangun narasi kerukunan, dalam khotbah itu jangan bangun narasi konflik dan permusuhan, jangan ada perasaan seperti perang melawan Belanda," ujar Ma'ruf dalam sambutannya. Ma'ruf mengingatkan, besarnya pengaruh materi yang disampaikan khatib terhadap pandangan, sikap dan tindakan masyarakat. Karena itu, khatib harus mempunyai kompetensi dan pemahaman agama yang benar. Selain itu, khatib juga harus mempunyai komitmen kebangsaan sehingga dalan dakwahnya masih dalam taraf bingkai kenegaraan dan kebangsaan. Ma'ruf juga meminta agar khatib juga tidak menyebarkan sikap intoleran yang berpotensi melahirkan sikap radikalisme di antara para jamaah. (Dikutip dari Republika.co.id, 14/2/2020)

Mungkin begitulah semangat dari pejabat baru. Ingin bersegera merealisasikan program dan arahan yang menjadi tanggung jawab jabatannya, juga bagaimana membuat suasana berbangsa dan bernegara tidak keluar dari koridor Pancasila ataupun NKRI. Sayangnya, semangat tentulah tidak selalu harus tendesius menyasar ajaran agama (Islam) dan menganggap Islam sebagai masalah bangsa. Setidaknya masih banyak rakyat di negeri ini yang tidak mau ajaran Islam diutak atik apalagi dibenturkan dengan Pancasila dan kebangsaan. Buktinya, di media sosial para netizen dibuat geram dan kecewa terhadap ucapan yang dilontarkan beberapa pejabat publik negeri ini.

Jauh dari sekedar pernyataan itu membuat geram atau kecewa, faktanya saat ini Islam seakan terus didiskreditkan dengan beragam label dan fitnah, belum lagi para pengemban dakwah Islam yang senantiasa ada tak luput jadi sasaran. Dianggap kelompok minoritas yang mengancam ideologi Pancasila, disematkan kelompok radikal dan  teroris. Alhasil, umat Islam yang berpegang teguh dengan agamanya dibuat tak nyaman, tak punya hak memperjuangkan keyakinannya, tidak boleh mengkritisi kebijakan zalim yang lahir dari paham demokrasi kapitalis, kebebasan berpendapat yang konon katanya dijamin oleh undang-undang nyatanya  selalu dibenturkan dengan 4 pilar bangsa, Pancasila, UUD’45, NKRI dan  Bhinneka Tunggal Ika.

Disadari maupun tidak, pernyataan-pernyataan yang mengarah kepada Islam seakan  menjadi indikasi bahwa  Islam sebagai musuh ideologi negara. Arahan agar para khatib tidak boleh membicarakan Islam secara kaffah, harus bertemakan kebangsaan, kerukunan, tidak intoleran dan tidak menyebarkan materi radikal, jelas perlu dikritisi. Islam agama yang sempurna, aturannya sangat kompleks dan menyeluruh. Syariahnya melingkupi ibadah, ekonomi, politik, sosial, hukum, pemerintahan, Hankam dll, maka jika materi khutbah dibatasi aspek kebangsaan semata, bagaimana dengan perintah jihad, amar makruf nahyi munkar (dakwah), muhasabah lil hukkam (kritis terhadap penguasa), berhukum dengan hukum Allah, beraktivitas sesuai contoh Rasulullah dan tidak menjadikan musuh Islam sebagai teman dan penolong seperti saat ini, menjadikan AS dan China sebagai teman kepercayaan rezim. Beberapa aset publik diberikan pengelolaannya kepada mereka, dirampas, dijarah atas nama perjanjian dan kerjasama. Inikah bentuk kerukunan, berkebangsaan dan sesuai ideologi Pancasila? Kezalimannya berimbas pada kesejahteraan dan keamanan rakyat, masihkah rakyat tetap diam, sementara kesempitan hidup terus mencekik? Bahkan Allah Swt dengan tegas akan menimpakan kesempitan hidup manakala manusia terus berpaling dari aturanNya, tidak mau berhukum dengan hukumNya hingga di akherat kelak dibangkitkan dalam kondisi buta.

Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." (TQS. Thaha : 124)

Sabda Rasulullah Saw,

 “Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangan (tindakan atau kekuasaan)nya. Barang siapa tidak mampu melakukannya, maka hendaklah ia mengubahnya dengan lisannya. Barang siapa yang tidak mampu melaksanakannya, maka hendaklah ia mengubahnya dengan hatinya. Dan yang terakhir itu adalah selemah-lemahnya iman." (HR. Muslim)

Patut disadari kembali bahwa hidup di tengah aturan sekular, jauh dari aturan agama, beragam bentuk kemaksiatan akan senantiasa muncul. Menjadi kesempitan yang menyesakkan sebagaimana firman Allah di atas. Berulang, tanpa solusi. Kondisi ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh kuffar penjajah dengan kemasan manis tapi hanya imitasi, sebut saja varian dengan rasa nasionalisme, radikalisme, HAM dan pluralisme. Islam dijadikan musuh negara, pengembannya disebut teroris, tokoh umat dijadikan kepanjangan lidah dan tangan mereka, membenturkan satu muslim dengan muslim yang lain, membuat penguasa jadi musuh masyarakat, menjadikan ideologi kufur sebagai pandangan hidup yang dielu-elukan meski kerusakan yang ditimbulkannya terpampang nyata. Politik devide et impera, belah bambu dan machiavelli masih menjadi cara jitu diberlakukan mereka menjajah negeri kaum muslimin. Inilah kondisi dimana umat Islam ibarat hidangan yang diperebutkan serigala. Diarahkan masuk ke lubang biawak sejengkal demi sejengkal, sedepa demi sedepa hingga umat Islam tak berkutik dalam jerat persengkongkolan kafir penjajah dengan harta dunia dan jabatan.

Bersabda Rasulullah shallallahu ’alaih wa sallam :

Hampir tiba masanya kalian diperebutkan seperti sekumpulan pemangsa yang memperebutkan makanannya.” Maka seseorang bertanya: ”Apakah karena sedikitnya jumlah kita?” ”Bahkan kalian banyak, namun kalian seperti buih mengapung. Dan Allah telah mencabut rasa gentar dari dada musuh kalian terhadap kalian. Dan Allah telah menanamkan dalam hati kalian penyakit Al-Wahn.” Seseorang bertanya: ”Ya Rasulullah, apakah Al-Wahan itu?” Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Cinta dunia dan takut akan kematian.” (HR Abu Dawud 3745)

Menghadapi fenomena tersebut di atas, tokoh umat menjadi kepanjangan penjajah, umat dibuat saling curiga, dijadikan sasaran empuk adu domba bahkan dijauhkannya jauh dari ketaatan kepada Sang Khalik, cinta dunia tapi takut mati, maka satu-satunya jalan memperbaikinya, menjadikan Islam tinggi, beradab dan mulia adalah kembali kepada syariat Islam secara totalitas dengan institusi kompatiblenya, yakni al Khilafah Rasyidah sesuai metode Rasulullah Saw, tidak ada yang lain.

Wallahu a’lam bi ash Shawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak