Oleh: Neng Ipeh
(aktivis BMI Community Cirebon)
Seorang perempuan yang hidup dalam naungan sistem Kapitalisme yang rusak menjadikan ia selalu merasa khawatir dan terancam. Hal ini karena perempuan kerap mendapatkan kekerasan yang beragam, seperti kekerasan fisik, psikis, seksual hingga penelantaran. Sangat miris sekali jika kita melihat tiap waktu banyak berita yang menyuguhkan berbagai macam kasus-kasus pelecehan dan kekerasan pada kaum perempuan yang sayangnya tak hanya menimpa perempuan dewasa saja namun juga anak-anak perempuan.
Sepanjang 2019, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat terjadi 2.341 kasus atau naik 65 persen dari tahun sebelumnya sebanyak 1.417 kasus.
"Kenaikan angka ini terhadap anak perempuan yang jadi pertanyaan besar bagi Komnas Perempuan dapat kita lihat, kekerasan terhadap anak perempuan yang paling tinggi yaitu inses sebanyak 770 kasus," ujar Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin. (nasional.kompas.com/13/03/2020)
Dominasinya kasus inses dalam kekerasan terhadap anak perempuan menunjukkan bahwa perempuan sejak usia anak-anak sudah dalam situasi yang tidak aman dalam kehidupannya bahkan oleh orang terdekatnya. Kategori kasus inses diartikan sebagai kekerasan seksual di dalam rumah dengan pelaku yang memiliki hubungan darah, yakni ayah kandung, ayah tiri, dan paman. Sedangkan kasus kekerasan seksual terjadi dan dilakukan oleh pihak luar rumah, yaitu tetangga atau lingkungan terdekat.
Banyak pihak menyebutkan bahwa negeri tercinta kita ini sedang dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Telah banyak solusi yang diberikan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah kejahatan seksual. Solusi terbaru adalah hukuman kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual. Namun, mengapa kejadian serupa terus berulang?
Banyak faktor penyebab maraknya kasus kekerasan seksual di tanah air, salah satunya adalah membludaknya konten pornografi. Akses pornografi sangat mudah di temukan di dunia maya. Sekalipun pemerintah sudah memblokir konten – konten porno dan memberlakukan UU ITE, namun hal itu tidak efektif membasmi pornografi.
Minuman keras dan narkoba pun menjadi penyebab kejahatan seksual. Di banyak kasus pelaku kejahatan dalam melakukan kejahatannya sedang dalam pengaruh minuman keras dan narkoba. Minuman keras masih di jual bebas di pasaran, pemerintah tidak serius untuk melarang peredaran minuman keras ini. Bahkan ada kepala pemerintahan daerah yang membolehkan penjualan minuman keras. Belum lagi pergaulan bebas antara laki-laki dan wanita menjadi pemandangan yang biasa saja di masyarakat, bagaimana wanita bebas mengumbar auratnya.
Tidaklah mungkin kita bisa menyelesaikan masalah kekerasan dan kejahatan terhadap anak jika yang melakukannya hanya individu atau keluarga. Negara memiliki beban sebagai pengayom, pelindung, dan benteng bagi keselamatan seluruh rakyatnya, demikian juga anak. Nasib anak menjadi kewajiban Negara untuk menjaminnya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
“Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas pihak yang dipimpinnya, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim)
Negara adalah benteng sesungguhnya yang melindungi anak-anak dari kejahatan. Mekanisme perlindungan dilakukan secara sistemik, melalui penerapan berbagai aturan seperti sistem ekonomi, sosial, pendidikan, persanksian, hingga pengaturan media massa. Sayangnya perlindungan negara tersebut tergantung pada sistem yang menjadi dasar dari aturan kehidupannya.
Jika negara itu menerapkan sistem Islam yang berlandaskan pada ketakwaan kepada Allah Subhanahu wata'ala maka penentuan halal-haram lah yang akan menjadi dasar dari setiap aturan yang berlaku. Negara tersebut tidak akan membuat aturan yang semena-mena karena kepentingan pribadi semata. Maka sudah selayaknya sebagai seorang muslim, kita turut andil dalam memperjuangkannya agar kehidupan kita senantiasa diberkahi Allah Subhanahu wata'ala.
Tags
Opini