Oleh: Tri S, S.Si
(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra mengatakan sepanjang 2011 hingga 2019, KPAI mencatat 37.381 pengaduan mengenai anak. Terkait dengan kasus perundungan, baik di media sosial maupun di dunia pendidikan, laporannya mencapai 2.473 laporan (REPUBLIKA.CO.ID, 10/02/2020).
Jasra meyakini pengaduan anak kepada KPAI tersebut bagaikan fenomena gunung es. Artinya, masih sedikit yang terlihat di permukaan karena dilaporkan, sementara di bawahnya masih tersimpan kasus-kasus lain yang besar namun tidak dilaporkan.
Jasra menuturkan, semakin maraknya fenomena bulliying menunjukkan gangguan pertumbuhan dan konsentrasi anak berada pada tahap yang mengkhawatirkan. Gangguan perilaku anak harus diantisipasi sejak awal.
Ia menjelaskan, meski secara fisik dan daya belajar anak baik, namun seringkali ketika menghadapi realitas anak tidak siap. Sehingga, terjadi gejolak yang menyebabkan pelemahan mental yang dapat bereaksi agresif seperti bulliying.
Menurut dia, pemicu anak melakukan bulliying sangat banyak. Kontrol sosial masyarakat yang berubah lebih agresif dan cepat sangat mudah ditiru oleh anak, begitupun tindakan represif yang berulang-ulang. Kondisi-kondisi yang mengganggu anak tersebut tidak banyak penyaringnya.
Kasus bulliying ini kian hari kian memarak, bagaikan jamur yang terus tumbuh subur. Bahkan dikatakan ini bak penomena gunung es, yang melaporkan sudah banyak belum lagi yang belum melaporkan kian hari semakin banyak. fenomena kekerasan anak. Seperti siswa yang jarinya harus diamputasi, kemudian siswa yang ditemukan meninggal di gorong gorong sekolah, serta siswa yang ditendang lalu meninggal. Kasus-kasus yang sangat mengerikan, bahkan dengan masalah yang begitu sepele menimbulkan masalah yang besar sampai nyawa taruhannya. Banyak faktor yang menyebabkan perundungan (bullying) ini. Seperti tontonan kekerasan, dampak negatif gawai, penghakiman media sosial.
Kasus bullying ini merupakan problem masif yang dirasakan saat ini. Semakin hari semakin banyak korban yang berjatuhan. Inilah kegagalan sistem sekuler, yang memisahkan antara kehidupan dengan agama. Sistem Sekuler telah gagal membangun SDM yang berkualitas. Pemerintahan belum memiliki solusi yang pasti untuk mengatasi masalah kekerasan dan perundungan ini.
Jika kita melihat perilaku mereka, tentu dada kita akan merasa sesak. Mengapa ada generasi yang berbuat keji seperti itu? Sudah tak punya malukah mereka? Atau, sudah hilangkah keimanan dalam dada mereka? Namun perlu kita ketahui bersama, sebenarnya mereka semua adalah korban dari kesalahan penerapan sistem saat ini. Mengapa demikian?
Pertama, pendidikan yang sekuler (memisahkan agama dari dunia pendidikan) menjadi akar persoalan yang mempengaruhi perilaku siswa yang semakin sulit diatur. Siswa yang tidak diberikan pendidikan yang tidak bersinergi dengan pendidikan agama menjadi hasil dari sekularisasi di dunia pendidikan. Alhasil, output yang dihasilkan dari pendidikan ini adalah siswa yang jauh dari pemahaman agama, dan terkikis akidahnya, bahkan berani melakukan hal-hal yang bertentangan dengan agama.
Kedua, media/tontonan saat ini juga cenderung sekuler bahkan tanpa filter. Anak bebas mengakses tontonan yang sangat tidak mendidik seperti film tawuran, pacaran, seks bebas, dll. Tentu semacam ini akan menjadi faktor dari perbuatan asusila yang menyerang generasi bangsa saat ini. Pada akhirnya tontonan seperti itu mudah ditiru dan dipraktekkan dalam kehidupan nyata.
Ketiga, tidak adanya ketakwaan individu, masyarakat, dan negara. Penerapan sistem sekuler-liberal di segala bidangnya akan melahirkan generasi yang sekuler dan liberal. Mereka diberi kebebasan dalam menjalani kehidupan yang mereka inginkan. Tentu, kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan tanpa batas dalam segala aspek. Termasuk aspek bertingkah laku. Ditambah lagi dengan adanya payung hukum HAM, maka akan menjadikan generasi berbuat semaunya bahkan berbuat kekerasan sekalipun dengan dalih Hak Asasinya.
Maka, jangan heran jika potret generasi saat ini jauh dari harapan. Generasi yang seharusnya menjadi tonggak peradaban, kini berubah menjadi generasi brutal tanpa arah. Generasi diserang dari berbagai arah dengan suntikan paham sekularisme.
Islam memandang bahwa menjaga generasi bukan hanya tugas orang tua maupun guru, akan tetapi juga butuh peran negara dan masyarakat. Negara memiliki andil yang sangat besar dalam menyaring segala tontonan di media apapun yang berpengaruh besar terhadap pembentukan generasi. Tak hanya sekedar memfilter media, namun negara juga punya tanggung jawab besar untuk melindungi generasi dari segala ancaman yang akan terjadi.
Begitupun masyarakat, mereka juga memiliki andil yang besar untuk menasehati, mengajak pada kebaikan, dan mencegah tindakan yang buruk. Sebab, jika hanya orangtua yang berperan dalam menjaga generasi muda, sedangkan lingkungan masyarakat dan negaranya tidak mendukung, maka tidak menutup kemungkinan anak akan terkontaminasi dengan pengaruh buruk dari lingkungan sekitar.
Oleh sebab itu, peran orangtua sangat penting dalam membentuk generasi yang baik. Dukungan sistem kehidupan yang diterapkan negara dan kontrol masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang kondusif juga sangat diperlukan. Tentu, sistem kehidupan yang berasal dari Al-Khaliq (Sang Pencipta) yang akan membawa kebaikan dan rahmat bagi seluruh alam.
Sedangkan penerapan sistem Islam secara sempurna akan melahirkan individu yang bertakwa serta mencetak generasi yang memiliki visi hidup yang jelas (visioner) yang akan menjadi tonggak bagi peradaban bangsa. Generasi yang diliputi rasa iman dan takwa tidak akan berani melakukan tindakan amoral dan keji karena di dalam hati mereka sudah tertanam kebaikan, dan diliputi rasa takut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.