Oleh : Keni Rahayu, S. Pd
Polemik unggahan foto aktris Tara Basro yang mengkampanyekan body positivity kembali menimbulkan pertanyaan tentang hak perempuan mengekspresikan hak atas tubuhnya dan batasan akan pornografi.
Unggahan foto aktris Tara Basro yang menampilkan dirinya tanpa busana, menghilang dari dunia maya setelah sebelumnya sempat diklaim oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) berpotensi melanggar pasal kesusilaan dalam undang-undang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE), (BBC News, 5/3/2020).
Dalam unggahan lain di Instagram, dia memperlihatkan selulit di paha dan lipatan perutnya. Lewat foto tersebut, ia mengampanyekan body positivity, mengajak orang untuk mencintai tubuhnya dan percaya dengan diri sendiri (BBC News, 5/3/2020).
Body positivity sendiri mengacu pada pernyataan bahwa semua orang berhak memiliki citra tubuh yang positif, terlepas dari bagaimana orang lain melihat tubuh mereka. Tujuannya adalah membangun kepercayaan diri seseorang dengan tubuhnya dan membuat masyarakat berhenti untuk terlalu bergantung pada standar bentuk fisik yang terkadang tidak realistis (Kalbar Online, 8/3/20).
Manusia hari ini kebanyakan manusia yang rapuh, tidak independen dan semaunya sendiri. Bagaimana tidak, dalam konteks kali ini body positivity digadang sebagai sesuatu yang positif, sehingga diupayakan dan diserukan kepada khalayak ramai.
Namun, dengan standar bias upaya mengejar body positivity malah menimbulkan berbagai macam respon. Di antaranya kontra dan negatif. Termasuk Kemenkominfo yang menganggap foto body positivity tersebut dianggap tabu dan tak pantas. Kemudian setelah show foto tabu dengan dalih body positivity, ditegur banyak orang, merasa terintimidasi, jadi playing victim. Padahal dia duluan melakukan aksi.
Anehnya, foto tidak pantas tersebut masih ada saja yang membela. Di antaranya ada Perkumpulan Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara, SAFEnet, diwakili ole kepala Sub Divisi Digital At-Risks SAFEnet yang fokus pada isu kekerasan berbasis gender online, Ellen Kusuma.
Ia mengatakan bukan tidak mungkin pasal ini (27 ayat 1, pen) digunakan kembali untuk mengintimasi perempuan yang lain. "Pasal 27 ayat 1 ini bisa digunakan kembali untuk secara langsung mengintimidasi perempuan utamanya, ketika dia ingin berekspresi menggunakan tubuh mereka." (BBC, 5/3/2020).
Manusia adalah hamba. Ia bukan tiba-tiba ada di dunia ini, bukan pula karena orang tuanya ada maka dia ada. Sejatinya ia adalah makhluk ciptaan Allah, yang memiliki ssegala kekhilafan. Segala kebaikan yang ada pada diri manusia adalah milikNya. Adalah mitos ketika dikatakan manusia, khususnya perempuan, memiliki hak prerogatif terhadap tubuhnya, sehingga ia bebas bertindak apa saja.
Sehingga wajar jika banyak orang menanggapi "foto telanjang"nya bertebaran di sosial media adalah hal buruk. Bukan body shaming, netizen hanya mengingatkan. Namun memang, tidak jarang netizen yang maha benar itu salah dalam menyampaikan gagasannya.
Kebebasan bertingkah laku adalah buah pikir liberalisme, yang membebaskan siapa saja berperilaku apa saja. Tanpa peduli norma, selama dirasa tak mengganggu orang lain. Aktivitas membuka aurat kepada siapa saja sejatinya adalah wujud menghinakan diri sendiri, baik di hadapan Allah maupun di hadapan manusia.
Bukankah Allah telah menciptakan aturan yang sempurna, mengatur muslim dan muslimah untuk menutup auratnya dari yang tidak berhak? Bukankah pengaturan ini adalah tanda cinta Allah untuk menjaga hamba-Nya?
Dalam Islam, muslimah memang bebas berperilaku apa saja, tapi tetap ada batasannya. Batasan berperilaku seorang muslim adalah syariat Allah, mengupayakan kewajiban, meninggalkan keharaman, dan memilah kemubahan. Itulah akhlaq seorang muslim. Wallahu a'lam bish showab.
Tags
Opini