Oleh: Tri S, S.Si
(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)
Tidak banyak yang tahu bahwa tanggal 8 Maret ternyata Hari Perempuan Internasional (HPI) yang ditetapkan oleh PBB untuk merayakan capaian perempuan di segala lini baik di bidang sosial, ekonomi, budaya dan politik. Perayaan HPI juga digunakan sebagai momen untuk mengajak berbagai pihak untuk mengangkat isu-isu ketimpangan gender. Serta, membangun kondisi yang lebih terbuka bagi semua pihak apapun jenis kelaminnya.
Sulit untuk memastikan tanggal dimulainya secara tepat, mengutip Telegraph. Akar sejarahnya dapat ditelusuri dari tahun 1908 ketika 15 ribu perempuan berunjuk rasa di sepanjang jalan di kota New York, Amerika Serikat menuntut hak-haknya untuk memberikan suara, pembayaran upah yang lebih baik, dan memangkas jam kerja karyawan. Menurut Forum Ekonomi Dunia, kesenjangan jender, yang disuarakan lewat HPI, baru pupus pada tahun 2186.
Ibu Menteri Yohana Yembise menekankan bahwa kesetaraan gender adalah salah satu kunci pembangunan komprehensif dan berkelanjutan di Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Namun diakuinya ada sejumlah tantangan di Indonesia, antara lain meningkatnya Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup, semakin lajunya penyebaran HIV/AIDS di kalangan perempuan, terus meningkatnya jumlah laporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta masih rendahnya persentase keterwakilan perempuan dalam badan legislatif, eksekutif dan judikatif.
Isu ekonomi juga tidak pernah berhenti menyasar kaum perempuan seperti pada pertemuan IMF yang tak kalah mencengangkan perempuan pun digiring untuk ikut andil meningkatkan perekonomian. Sebagaimana Managing Director International Monetary Fund (IMF) Christine Lagarde mengatakan “peran wanita dalam ekonomi sudah mulai tinggi. Hal itu juga bagus untuk mendorong perekonomian negara. Dia menyebutkan keterlibatan wanita dalam sektor tenaga kerja mampu meningkatkan PDB sebesar 9% di Jepang, 10% di Korea, dan 27% di India”.
Isu menggiring perempuan mengembangkan ekonomi seperti di atas ternyata bukan saat-saat sekarang saja. Tapi jauh-jauh hari isu ini sudah mulai di boomingkan.
Lalu BBC Indonesia menurunkan artikel “Hari Ibu: ekonomi Idonesia bisa lebih makmur jika para ibu tidak berhenti bekerja” mengutip riset Australia Indonesia Partnership for Economic Governance (AIPEG) yang mengukur pengorbanan ibu yang berhenti bekerja demi mengurusi anak dan rumah tangga secara ekonomi mencapai USD 123 miliar (Rp. 1600 triliun).
Mereka menyimpulkan, pernikahan dan punya anak bakal menghambat pertumbuhan ekonomi karena pada 2016 ada 1,7 juta perempuan dari 11 juta perempuan usia 20-24 tahun, keluar dari angkatan kerja karena dua sebab itu. Ibu dianggap kurang produktif karena pekerjaan mengurusi anak ‘tidak mengahasilkan materi’.
Di zaman sekarang perempuan digiring menjadi pemutar roda industri ekonomi sekaligus target pasar. Keuletan perempuan sebagai pekerja dimanfaatkan oleh kelompok kapitalis (pemilik modal) untuk meraih keuntungan pantastis. Seperti kebijakan beresiko, pengiriman perempuan sebagai tenaga kerja migran yang kian meningkat. Sesungguhnya ini adalah kezaliman luar biasa bagi keluarga dan masyarakat.
Memasuki Maret ini pun, perempuan di seluruh dunia bersiap untuk kembali mengampanyekan pentingnya kesetaraan gender di HPI pada setiap 8 Maret. Salah satunya yakni lewat make-up. Dimana, make-up merupakan item yang identik dengan kaum hawa. Menurut Beauty Influencer, Soraya Hylmi, make-up dapat menjadi sebuah senjata bagi perempuan agar lebih vokal dalam memperjuangkan kesetaraan gender
Padahal masalah utama merebaknya kemiskinan di negara-negara berkembang bukan terjadi karena tidak dimanfaatkannya potensi perempuan. Tapi karena sistem ekonomi kapitalislah yang memiskinkan rakyat dan memakmurkan para kapitalis (si miskin semakin melarat, dan si kaya semakin berkuasa).
Pemerintah dunia seperti Indonesia rupanya terus latah berkiblat pada Barat termasuk ide sekuler (pemisahan agama dari kehidupan) dan mengenai isu kesetaraan gender untuk menyelesaikan tumpukan persoalan yang dihadapi oleh jutaan perempuan Indonesia.
Padahal kesetaraan gender bukanlah sebuah nilai yang universal terkait perempuan. Ide ini sejatinya muncul dari sejarah Barat dan problem peradaban Barat yang memandang perempuan lebih rendah dari laki-laki secara intelektualitas dan spiritualitas. Sikap politik Indonesia yang terus mengikatkan diri pada forum dan perjanjian internasional yang mempromosikan kesetaraan gender, membuktikan bahwa negeri Muslim ini jelas terbutakan oleh solusi sekuler yang dipromosikan Barat sebagai solusi bagi kaum perempuan.
Pemerintah sejatinya perlu menyadari bahwa solusi gender di negeri ini tidak membawa perbaikan buat jutaan perempuan. Bahkan problem kekerasan dan eksploitasi kian menumpuk untuk menjadi PR kita bersama dari tahun ke tahun.
Jika kita berbicara Islam saat era keemasan nyaris tidak pernah terdengar praktek eksploitasi dan perbudakan kaum perempuan, kecuali saat kolonialisme Barat mulai memasuki negeri ini hingga hari ini. Peradaban Islam tidak pernah mengalami sejarah penindasan perempuan seperti di Barat karena Islam memandang perempuan memiliki status, intelektualitas, dan sifat manusia yang sama dengan laki-laki.
Islam justru memiliki seperangkat solusi yang mengakar dan komprehensif (bukan solusi tambal sulam) tidak hanya bagi kaum perempuan juga terhadap masyarakat dan juga pengaturan negara.