Ruli Ibadanah Nurfadillah
(Pegiat Literasi, Grup Ibu Cinta Quran)
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengusulkan ke DPR penerapan cukai/pajak minuman berpemanis (Jakarta, CNBC Indonesia), Produksi produk-produk yang akan dikenakan cukai—energy drink, kopi konsentrat, dan sejenisnya; teh berkemasan, minuman berkarbonasi—mencapai ratusan juta sampai miliar liter per tahun. Masing-masing jenis produk akan dikenakan cukai bervariasi: energy drink dan semacamnya Rp2.500 per liter, teh kemasan Rp1.500 per liter, dan minuman berkarbonasi Rp2.500 per liter.
Jadi, harga ketiga jenis produk itu, apa pun nama atau mereknya, kelak akan naik di kisaran Rp1.500 sampai Rp2.500 per liter. Harga yang lebih mahal diharapkan mengurangi konsumsi gula untuk menekan risiko penyakit mematikan seperti diabetes yang dapat menyebabkan stroke sampai gagal ginjal, papar Sri Mulyani di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (19/2/2020).
Ketua Umum Gabungan Industri Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman menyatakan Pada dasarnya belum ada data yg menunjukkan pengenaan cukai bisa menurunkan PTM (penyakit tidak menular) dan obesitas. Kalau tujuan adalah mengatasi PTM dan obesitas, yang ada Gapmmi pernah lakukan kajian bahwa pengenaan cukai akan menaikkan harga dan akhirnya menurunkan daya beli masyarakat.
Sehingga demi tujuan apa usulan ini ada, walau digadang gadang demi kebaikan rakyat, ironisnya rakyat yang menjadi korban, utamanya mereka yang hidupnya sudah kembang kempis karena berbagai kesulitan. Kantong rakyat, terus dirogoh sampai dalam. Tak hanya untuk urusan besar, urusan kecilpun tak luput dari upaya pemalakan.
Pemerintah beralasan, kas negara memang sudah tak sepadan dengan beban. Semua ikhtiar menambah pendapatan, tak juga membawa keberhasilan. Yang seolah realistis dilakukan hari ini selain pajak adalah berutang dan terus berutang. Sampai-sampai, indonesia nyaris tenggelam dalam kubangan utang yang mengancam kedaulatan.
Tampaknya yang dinyatakan tokoh besar Amerika Serikat era 1700an itu benar adanya. Benjamin Franklin mengenali betul karakteristik sistem ekonomi kapitalis yang pasti akan memajak rakyatnya. Dalam konteks Indonesia juga negara-negara secara umum, pajak adalah pos pendapatan yang pasti ada dan menduduki posisi teratas. Artinya pajak adalah sumber pendapatan utama negara. Dan tentu saja pajak ini dibebankan kepada rakyat. Target penerimaan dari pajak pun dari tahun ke tahun terus ditingkatkan. Sejak tahun 2002, Pemerintah meningkatkan sumber penerimaan pajak di atas 70%, bahkan tahun 2019 hampir 80%, sedangkan sisanya dari sumberdaya alam.
Adakah Pajak Dalam Islam?
Imam Taqiyuddin an-Nabhani menggariskan bahwa pajak hanya dapat ditarik oleh Khalifah ketika ada kewajiban finansial yang harus ditanggung bersama antara negara dan umat, misalnya menyantuni fakir miskin. Jika kewajiban finansial ini hanya menjadi kewajiban negara saja, misalnya membangun jalan atau rumah sakit tambahan yang tak mendesak, pajak tak boleh ditarik.
Pajak yang boleh ditarik dalam Khilafah harus memenuhi 4 (empat) syarat:
(1) diambil dalam rangka membiayai kewajiban bersama antara negara dan umat;
(2) hanya diambil dari kaum Muslim saja;
(3) hanya diambil dari Muslim yang mampu (kaya), yaitu yang mempunyai kelebihan setelah tercukupinya kebutuhan dasar yang tiga (sandang, pangan, dan papan) secara sempurna;
(4) hanya diambil pada saat tidak ada dana di Baitul Mal. (Muqaddimah Ad-Dustur, 2/108-110; Al-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 242)
Terdapat 4 (empat) pengeluaran yang dapat dipenuhi dengan pajak (dharibah) jika tak ada dana mencukupi di Baitul Mal, yaitu:
(1) untuk nafkah fuqara, masakin, ibnu sabil dan jihad fi sabilillah;
(2) untuk membayar gaji orang-orang yang memberikan jasa atau pelayanan kepada negara seperti pegawai negeri, para penguasa, tentara, dll;
(3) untuk membiayai kepentingan pokok yang mendesak (yakni yang menimbulkan bahaya jika tidak ada) seperti jalan utama, rumah sakit utama, jembatan satu-satunya, dll;
(4) untuk membiayai dampak peristiwa-peristiwa luar biasa, seperti menolong korban gempa bumi, banjir, angin topan, kelaparan, dll. (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/122)
Inilah ketentuan Islam yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala pemilik manusia dan alam semesta dan disampaikan serta dipraktikkan oleh Rasulullah Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam. Praktik ekonomi yang dilanjutkan oleh para Khalifahnya hingga 13 abad lamanya. Manusia tidak harus lagi bersusah payah membuat aturan dari akalnya yang terbatas. Cukup memahami tuntutan dari Allah subhanahu wa ta’ala, RasulNya serta para shahabatnya yang mulia. Tidakkah itu cukup bagi kita? Wallahu A’lam Bishshawwab.[]