Oleh : Nasya Amaliah, S. Pd (Pemerhati Pendidikan)
Kasus pembunuhan yang menewaskan seorang bocah 6 tahun di Sawah Besar, Jakarta Pusat Kamis (5/3/2020) membuat gempar masyarakat. Lantaran aksi pembunuhan keji tersebut dilakukan oleh seorang siswi SMP berusia 15 tahun berinisial NF.
NF membunuh APA (6) dengan cara menenggelamkan kepada bocah tersebut ke dalam bak mandi. NF kemudian menyimpan jasad korban ke dalam lemari kamarnya. Yusri Yunus, menduga NF melakukan itu lantaran hobi menonton film horor dan kekerasan. Setelah satu hari berselang, tersangka sempat pergi sekolah pakai baju sekolah. Dia sempat ganti baju. Melaporkan dirinya ke Polsek Taman Sari,Jakarta (Tribunnews.com)
Kasus ini jelas mengerikan, pembunuhan dilakukan, bak sebuah adegan di dalam sebuah film horor yang jelas penayangannya bebas siapa saja menikmati setiap adegan kekerasan hingga pembunuhan di dalam film tersebut. Generasi peniru, bullying hingga psikopat menjangkit generasi kita ini sudah terlalu sering terjadi. Banyak kasus Pembunuhan, perudungan hingga pelecehan semuanya dilakukan oleh remaja belasan tahun bak adegan di dalam film yang mereka konsumsi. Generasi minim adab dan karakter seakan menimpa generasi ini, yang menjunjung nilai-nilai agama, adat, dan norma lainnya. Kasus pembunuhan mengerikan yang terjadi pada APA bukanlah korban yang pertama, dan bukan yang paling mengenaskan. Ada Yuyun, siswi SMP yang diperkosa beramai-ramai oleh segerombolan remaja lalu dibunuh dan jasadnya dibuang ke jurang. Remaja yang melakukan kekerasan di tanah air juga tak pernah surut dengan beragam kasus. Memukuli guru sampai menjadi anggota gang motor yang membegal korban. Indonesia darurat kekerasan remaja. Mereka adalah pelaku sekaligus korban. Remaja seakan diminta sendiri untuk mengekspresikan apa-apa yang menjadi inspirasi untuk hidupnya, tanpa diarahkan oleh negara dan keluarga. Mereka disibukkan dengan hal yang sia-sia, menonton tayangan yang tidak bermutu cenderung mengandung kekerasan, sensualitas, dan kebebasan dalam pergaulan. Banyak remaja kita yang lebih suka mengekpresikan dalam hal yang tidak bernilai norma apapun, seperti gemar memainkan aplikasi tiktok dan lainnya
Ada bebarapa faktor kenakalan dan kekerasan yang dilakukan oleh remaja ini, hal ini berawal dari disfungsi orangtua di rumah. Banyak orangtua tidak paham dan tidak fokus dalam mendidik anak. Banyak orangtua hanya berperan sebagai pabrik anak dan sibuk bekerja ataupun mengurus hal lainnya ketimbang sebagai pendidik pertama dan utama untuk anak.
Banyak orangtua hanya tahu melahirkan dan memberi makan anak ketimbang menjalankan fungsi tarbiyah/pendidikan pada anak. Banyak lelaki tidak paham kalau ia harus menjalankan fungsi ayah dan bukan hanya menjadi ayah. Para ‘ayah’ macam ini hanya mengandalkan uang atau kekerasan dalam membersamai anak. Minim peran sebagai pendidik. Kalaulah tidak memanjakan anak dengan fasilitas, mereka hanya bisa memarahi anak. Miskin solusi dan tidak menginspirasi.
Bagaimana dengan para ibu? Mohon maaf, tidak sedikit juga perempuan yang baru bisa menjadi ibu tapi belum menjalankan peran sebagai ibu. Mereka tahu cara melahirkan, tapi bingung atau cuek dalam pendidikan anak. Dari disfungsi orangtua, anak-anak tumbuh dengan jiwa antisosial; pemarah, tak mau kalah, dan miskin empati.
Remaja kita juga punya ‘pengasuh’ lain; lingkungan dan negara. Kedua pengasuh ini sekarang juga sedang krisis. Lingkungan sosial remaja penuh budaya hedonisme. Anak-anak kita jauh dari jiwa kepahlawanan, kesetiakawanan, karena digeser dengan figur-figur layaknya apa yang mereka konsumsi ketika mereka menikmati bebasnya akses tanpa filter di dalam karakter film. Tragisnya remaja kita tergesar untuk lebih menggemari gaya dan perilaku itu ketimbang jiwa kepahlawanan, jauh dari adab. Padahal banyak jiwa kepahlawanan yang bisa kita tunjukkan kepada para remaja kita, seperti di Bandung banyak tokoh panutan yang bisa dikenalkan pada generasi muda seperti Muhammad Thoha, Otto Iskandar Dinata atau Dewi Sartika.
Suka atau tidak suka, kita harus menuntut negara bertanggung jawab dalam persoalan ini. Negara adalah ‘orangtua terbesar’ bagi para pemuda. Negara memiliki daya lebih kuat untuk menuntut dan mengikat remaja. Dengan kekuatan dan kekuasaannya negara bisa mendisplinkan para remaja, termasuk membentuk karakter kasih sayang pada mereka. Namun seberapa besar negara sudah berperan? Ini sangat minim sekali.
Negara ini masih saja mengambil peran kuratif, ketimbang preventif. Tak kapok menjadi pemadam kebakaran daripada mencegah asal usul api. Penyelesaian yang diambil juga tak memberikan efek jera pada para pelaku. Beberapa kali kekerasan oleh remaja dimediasi untuk damai, atau pelaku dimasukkan rumah pembinaan dengan dalih pelakunya masih dibawah umur. Padahal apa yang dilakukannya kepada korban dilakukan secara sadar, dan pelakunya juga sudah dalam keadaan baligh (Sudah tau membedakan mana yang baik dan mana yang buruk) mereka, para pelaku itu, tau apa yang mereka lakukan adalah sebuah kesalahan seharusnya itu sudah menjadi alasan pemberian hukuman setimpal kepada mereka. Jadi apabila kasus serupa terjadi konsekuensi tersangkanya sudah paham dan ini akan berefek jera.
Jadi, hal kekerasan di dalam jiwa remaja harapan bangsa ini, bukanlah yang pertama dan amat kecil kemungkinan menjadi yang terakhir, selama negara belum berani tegas dan melindungi remaja dari paparan hedonisme, kebebasan, dan premanisme. Memperkuat peran orang tua dan pendidikan agama serta adab yang berkala serta Hukuman yang pantas dan membuat jera serta perlindungan yang terbaik bagi generasi penerus bangsa ini harus diterapkan oleh negara.