Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Muslimah Penulis Sidoarjo
Selama masa sosial distacing, rakyat sangat menunggu pemerintah mau mengeluarkan kebijakan Lockdown. Namun ternyata, harapan tinggal harapan, tak pernah jadi kenyataan. Malah kemudian berganti dengan ditetapkan menjadi status darurat sipil, selang beberapa saat kemudian menjadi status darurat kesehatan.
"Pemerintah telah menetapkan COVID-19 sebagai jenis penyakit dengan faktor risiko yang menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Dan oleh karenanya pemerintah menetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat," ujar Jokowi dalam konferensi pers di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (31/3/2020).
Jokowi sudah memutuskan opsi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) terkait pandemi virus corona di Indonesia. PSBB ditetapkan Menkes yang berkoordinasi dengan Gugus Tugas Penanganan COVID-19. Landasan hukumnya UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (detikNews,31/3/2020).
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang menjelaskan soal karantina wilayah, juga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yang mengatur tentang darurat sipil. Maka ada perbedaan antara karantina dan darurat sipil.
Karantina wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah Pintu Masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Sedangkan darurat sipil adalah keadaan bahaya selain keadaan darurat militer dan keadaan perang, terjadi manakala alat-alat perlengkapan negara dikhawatirkan tidak dapat mengatasi kondisi keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah negara. Kondisi itu terjadi apabila negara terancam pemberontakan, kerusuhan, bencana alam, perang, perkosaan wilayah, atau negara dalam bahaya.
Ahli hukum dari UGM Yogyakarta, Oce Madril, tidak habis pikir atas rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerapkan darurat sipil sebagai langkah terakhir mengatasi penyebaran Corona. Padahal, Jokowi menandatangani UU Kekarantinaan Kesehatan sebagai payung hukum menanggulangi wabah penyakit.
"Syarat-syarat keadaan bahaya dengan berbagai tingkatan Darurat itu ada dalam Pasal 1 Perppu. Semua mengarah pada terancamnya keamanan/ketertiban oleh pemberontak, kerusuhan, bencana, perang, membahayakan negara, tidak dapat diatasi oleh alat perlengkapan negara secara biasa," ujar Oce ( detikNews.com,31/3/2020).
Lantas apa alasan sebenarnya Presiden Jokowi mengambil keputusan ini? Padahal jika dianalisa secara mendalam, Indonesia masih mampu mengatasi segala kendala jikapun harus Lockdown.
Dan kita sedang berperang dengan virus, bukan dengan organisasi atau sekelompok orang yang hendak bughat atau berontak kepada negara, mengingat inilah salah satu syarat situasi bisa dikatakan darurat sipil.
Inilah watak penguasa dalam sistem kapitalis, berusaha sesegera mungkin melepaskan tangan dari tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Dalam pandangan mereka, Lockdown justru akan memakan banyak korban ekonomi. Aspek-aspek perekonomian terpaksa harus dihentikan. Kelumpuhan ekonomi membuat kapitalisme tak bisa bergerak. Maka apapun yang menghalangi manusia untuk mengakses ekonomi secara wajar dihadapkan kepada otoriter negara.
Bayangkan betapa makin menderitanya rakyat kecil. Tanpa Lockdown saja, rakyat sudah menderita. Padahal Lockdown yang dipilih Indonesia hanyalah kebijakan gerakan jauhi manusia lain dalam kerumunan. Apalagi sekarang dengan status darurat sipil atau kesehatan.
Makin jelas pemerintah memang sengaja berada pada posisi melepaskan tangan. Ganti istilah hanyalah kampanye kosong namun makna sama, tak ada kesanggupan menampakan muka mampu menyelesaikan persoalan ini dengan semestinya.
Banyak pihak yang menolak darurat sipil ini, sebab artinya rakyat berhadapan dengan pemerintah. Siapa yang memiliki semua sarana dan prasarana bahkan militer? Negara! Jelas, rakyat akan makin hancur, selama ini sudah berusaha mengatasi sendiri lepas dari ancaman maut virus Corona, kini makin papa sebab negara justru akan menindak secara militer bagi warga negara yang melawan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
Berbagai proyek Mega raksasa masih dijalankan meskipun menghabiskan rupiah yang jumlahnya fantastis, hati seakan mati , dilanjutkan dengan membuka rekening donasi bagi siapa saja warganya yang ingin berbagi harta dan simpati dengan korban Corona. Kemana negara hingga harus meminta kepada rakyat?
Saat pemilu harta begitu banyak beredar membiayai ini itu, namun lepas kampanye hanya teronggok data utang membukit kepada bank dunia ( world bank) dan IMF. Dan dengan jasad mata bisa dilihat dana yang dianggarkan guna pembangunan ibukota baru.
Kapitalisme memang tak manusiawi, sistem ini membuat manusia mampu menjadi srigala bagi manusia lain. Sebab kapitalis memandang kebahagiaan dan yang menjadi tujuan tertinggi adalah terpenuhinya kebutuhan jasmani. Tanpa membahas bagaimana caranya, halal haram dan kesadaran bahwa setiap amal dihitung oleh Sang Pencipta, kapitalisme menguasai dunia dengan ideologi sampahnya namun kaum muslim membebek tanpa ada niat untuk tabbayun.
Islam jelas lebih masuk akal sekaligus sesuai fitrah dan menentramkan hati sebagai solusi paripurna persoalan Corona ini. Belumlah saatnya kita berbalik kepada Rahmah dan kasih sayang Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ar -Rum : 41 yang artinya:
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)".
Virus Corona selain menimbulkan kekacauan, namun nyatanya bisa membawa kepada kearifan berpikir jernih. Menunjukkan siapa dibalik topeng kesederhanaan pemimpin nyatanya mampu menjadi srigala bagi umatnya.
Dalam sistem kapitalis tak ada harta yang lebih berharga daripada materi itu sendiri. Butuh berapa lama lagi kita kembali kepada Allah SWT? Tak ada yang tak mungkin di dunia ini, sebab Allah-lah sang pengatur. Wallahu a'lam bish showab.
Tags
Opini