Fenomena Bullying yang Tak Kunjung Terselesaikan





Oleh: Kunthi Mandasari
Pemerhati Generasi, Member AMK


Bullying adalah tindakan di mana satu orang atau lebih mencoba untuk menyakiti atau mengontrol orang lain dengan cara kekerasan. Bullying memiliki beberapa jenis. Diataranya ialah bullying verbal, bullying non verbal, bullying sosial dan juga bullying melalui gadget atau medsos (cyber bullying).

Bullying verbal biasanya dilakukan dengan cara menghina, membentak, dan menggunakan kata-kata kasar. Sedangkan bullying non verbal dengan cara menyakiti fisik, seperti memukul, mendorong, dan sebagainya. Adapun bullying dalam bentuk sosial ialah seperti mengucilkan, dan mengabaikan orang. Adapula bullying melalui gadget atau media sosial (Cyber Bullying) adalah saat seseorang dihina-hina, diteror di media sosial, atau melalui SMS, email, dan telepon.

Fenomena bullying tak bisa dianggap sebelah mata. Dilansir dari Republika.com, 10/02/2020, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra mengatakan sepanjang 2011 hingga 2019, KPAI mencatat 37.381 pengaduan mengenai anak. Terkait dengan kasus perundungan, baik di media sosial maupun di dunia pendidikan, laporannya mencapai 2.473 laporan.

Padahal bisa jadi jumlah kasus bullying lebih banyak dari jumlah yang kini tercatat. Mengingat perilaku bullying amat mudah kita temui di sekitar kita. Bahkan dari bulan Januari sampai Februari 2020, setiap hari publik kerap disuguhi berita fenomena kekerasan anak. Seperti siswa yang jarinya harus diamputasi, kemudian siswa yang ditemukan meninggal di gorong gorong sekolah, serta siswa yang ditendang lalu meninggal (inilahkoran.com, 08/02/2020).

Masih dari sumber yang sama, menurut Jasra Putra, selaku Komisioner KPAI Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, pemicu kasus bullying sangat banyak. Seperti tontonan kekerasan, dampak negatif gawai, dan penghakiman media sosial. Jasra juga menambahkan, fenomena paparan kekerasan sangat represif masuk ke kehidupan anak dari berbagai media. Tentunya fenomena jaman ini, perlu menstimulasi sekolah untuk membaca kondisi kejiwaan setiap siswanya. Artinya sangat tidak cukup sekolah hanya memiliki 1 guru konseling.

Apalagi perilaku bullying memiliki sejumlah dampak negatif, baik untuk pelaku maupun korbannya. Diantaranya mengalami gangguan mental, seperti depresi, rendah diri, cemas, sulit tidur nyenyak, menyakiti diri sendiri atau bahkan berkeinginan untuk bunuh diri.

Tak jarang, mereka yang menjadi korban bullying memiliki dendam dan akhirnya turut serta menjadi pelaku bullying untuk membalas dendam yang tersimpan. Atau bagi mereka yang tak mampu mengatasinya akan melakukan pelarian dengan meminum minuman keras maupun narkoba. Bagi mereka yang sudah diambang batas putus asa, mereka akan melakukan tindakan bunuh diri. Seperti yang dilakukan oleh artis Korea, Go Hara dan Suli setahun silam.

Tingginya angka bullying menjadi indikasi kegagalan sistem kapitalis dalam membangun SDM. Pendidikan kapitalis sekuler hanya berfokus pada pencapaian angka saja. Alhasil, jumlah orang yang memiliki pendidikan tinggi tidak diikuti dengan tingginya budi pekerti. Sehingga terjadilah degradasi moral.

Degradasi moral terjadi akibat satu-satunya sumber moral yaitu agama dipisahkan dari kehidupan. Pemisahan agama dari kehidupan atau sekularisme dijadikan asas untuk membangun kehidupan, baik dalam ranah individu, masyarakat maupun dalam berbangsa dan bernegara. Termasuk dalam dunia pendidikan. Mata pelajaran dan mata kuliah agama hanya mengambil peran sebagai pelengkap kurikulum yang porsinya sangat kecil. Sehingga sulit diharapkan bisa memberi dampak positif dalam kehidupan individu, masyarakat, dan negara. Tak heran, jika akhirnya masyarakat sulit memahami bagaimana memunculkan nilai moralitas dalam kehidupan mereka. Sehingga dengan mudah melakukan aktivitas bullying yang merugikan orang lain.

Islam merupakan agama yang sempurna. Terpancar dari setiap aturan yang dimilikinya. Termasuk dalam kurikulum pendidikan yang diterapkannya, yaitu hanya berlandaskan pada akidah Islam. Penerapan kurikulum Islam bertujuan untuk membetuk kepribadian Islam (sakhsiyah Islamiyah). Sakhsiyah Islamiyah (kapribadian Islam) merupakan perpaduan antara pola pikir Islami serta pola sikap Islam.

Pola pikir Islami terbentuk dari tsaqofah-tsaqofah Islam yang diperoleh melalui pendidikan, kajian, buku maupun berbagai artikel yang bertebaran. Sedangkan pola sikap bisa dibentuk melalui pembiasaan untuk terikat dengan hukum syariat.

Individu yang terikat dengan hukum syariat akan berhati-hati sebelum melakukan aktivitas. Ketaatan individu bisa menjadi pencegah terhadap perilaku bullying. Sedangkan masyarakat akan berperan aktif melakukan amar ma'ruf nahyi munkar. Ketika ada aktivitas bullying akan segera diredam dengan aktivitas saling mengingatkan. Keberadaan negara yang menerapkan syariat Islam tak kalah pentingnya. Melalui kebijakan dan pengontrolan terhadap media cetak maupun media sosial. Memfilter berbagai aktivitas media yang menjurus pada aktivitas kekerasan.

“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Ia tidak boleh mendzaliminya, merendahkannya dan tidak pula meremehkannya. Cukuplah seseorang dikatakan buruk bila meremehkan saudaranya sesama muslim seorang muslim terhadap muslim lain, haram darahnya, kehormatannya, dan hartanya.” (HR. Muslim)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak