Oleh : Tati Sunarti, S.S
(Aktivis Muslimah Karawang)
Darah kaum muslim saat ini tidaklah memiliki harga. Terutama jika kaum muslim menjadi warga minoritas dalam sebuah negara. Seolah menjadi muslim adalah sebuah kesalahan fatal. Seperti kisruh berdarah yang terjadi di jantung ibu kota India, New Delhi, beberapa waktu lalu (merdeka.com 23/02).
Setelah disahkannya amandemen UU kewarganegaraan di India akhir Desember 2019 memicu protes dari kalangan warga muslim yang menetap di India. Pasalnya, UU tersebut menyatakan bahwa setiap warga imigran yang berasal dari Pakistan, Bangladesh dan Afganistan berhak mendapat kewarganegaraan kecuali jika meraka adalah muslim.
Walaupun beberapa partai oposisi menyatakan UU tersebut dinilai inkonstitusional serta menimbulkan polemik. Tapi tidak lantas menyurutkan Perdana Menteri India, Narendra Modi beserta jajaran pemerintahnya untuk mensahkan.
Warga India yang notabene bergama Islam pun menggelar aksi protes terhadap pemerintah India pada tanggal 23 Februari lalu. Aksi ini tentu saja mendapat reaksi keras dari warga Hindu. Bentrok berdarah pun terjadi.
Peristiwa ini menewaskan sedikitnya 42 orang muslim, 300 orang lainnya luka-luka. Dikutip dari India Today (cnnindonesia.com 28/02) terdapat 79 unit rumah rusak, 52 toko dan 500 kendaraan dala kondisi yang sama.
Sungguh UU ini menunjukkan fasisme pemerintah India dalam menjalankan roda kekuasaannya. Bagaimana mungkin warga muslim India tidak mendapat perhatian, padahal secara populasi bahkan mencapai angka 200 juta jiwa, sekitar 14 % dari jumlah populasi warga negara India.
Jumlah populasi muslim India yang tidak sedikit seharusnya diakomodir hak-hak kewarganegaraannya. Kondisi yang bertolak belakang justru yang diterima.
Muslim Selalu Termaginalkan
Perlakuan terhadap warga minoritas yang semena-mena tidak hanya terjadi di India. Di belahan bumi lainnya pun terjadi, seperti Uighur (China), Rohyngia (Myanmar), dan lainnya. Menjadi minoritas dalam sebuah negara tentu memiliki resiko dan tantangan yang besar. Tak tanggung, intimidasi fisik bisa jadi resiko paling banyak dialami.
Menjadi muslim di negara Mayoritas kafir sering kali membuat mereka (red: muslim) dianaktirikan. Hak-hak muslim akan diabaikan contoh konkritnya seperti UU kewarganegaraan yang disahkan oleh pemerintah India di atas. Bahkan untuk urusan pemenuhan beribadah pun seringkali dikriminalisasi. Pembatasan waktu shalat, penggunaan hijab dan lain sebagainya.
Semua peristiwa ini seharusnya menjadi perhatian muslim dunia. Bagaimana menentukan sikap atas apa yang dialami saudara muslim kita. Sikap yang menunjukkan langkah ril untuk membela, tidak hanya sekedar mengecam atau mengutuk semata apalagi mempererat kerjasama antar negara.
Nation-State, Dinding Pemisah Muslim Dunia
Sejak runtuhnya Daulah Khilafah tahun 1924, negeri-negeri muslim terpecah menjadi 54 negara kebangsaan (Nation-State). Hal ini membuat kaum muslim tidak mampu saling menjangkau untuk membela pada saat saudaranya teraniaya. Sehingga kaum muslimin lemah dan tak berwibawa di mata dunia.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan lemahnya kaum muslim di dunia. Pertama, terpecahbelahnya negeri-negeri muslim menjadi beberapa negara bangsa (nation-state) merenggangkan ikatan sesama muslim.
Nation-state menjadi dinding pemisah yang menjulang tinggi, yang tidak mampu diruntuhkan saat ini. Kondisi ini bertolak belakang dengan kondisi yang seharusnya mengikat kaum muslim. Rosulullah SAW bersabda:
“Janganlah kalian saling mendengki, jangan saling memata-matai, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi. Janganlah sebagian kalian membeli barang yang sedang ditawar orang lain, dan hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allâh yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka ia tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, dan menghinakannya. Takwa itu di sini, beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali. Cukuplah keburukan bagi seseorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim. Setiap orang Muslim, haram darahnya, hartanya dan kehormatannya atas muslim lainnya”. (HR Muslim).
Hadits ini seharusnya menjadi landasan kuat untuk menuntun kaum muslim dunia dalam menyikapi intimidasi fisik terhadap saudara-saudara seiman. Namun kembali lagi, kaum muslim saat ini yang tersekat-sekat menjadikan mereka layaknya buih tak berarti dan tak berdaya.
Kedua, sistem kehidupan yang menguasai dunia yaitu ideologi Kapitalisme. Ideologi yang berasaskan sekuler, memisahkan aturan agama dengan kehidupan, menjadi pangkal masalah yang dialami umat manusia saat ini terutama umat Islam.
Asas sekuler menjadikan akal manusia mengatur kehidupan mereka sendiri. Membuahkan aturan sesuai selera akal masing-masing. Sedang karakteristik akal yang lemah dan terbatas tidak mampu menentukan benar salah dengan tepat.
Aturan yang dilahirkan dari rahim Kapitalisme-sekuler ini memunculkan pertentangan dan perselisihan, UU kewarganegaraan yang disahkan pemerintah India ini sebagai contoh. Kemudian, asas ini pun tidak sesuai dengan fitrah manusia yaitu terikat dengan aturan Al-khaliq Al-mudabbir, Allah Azza Wajalla, berupa risalah Islam.
Darah Umat Terjaga dengan Islam
Lain ideologi Kapitalisme-sekuler, lain pula ideologi Islam dengan asas Akidah Islamiyah dalam mengatur kehidupan. Akidah Islamiyah menjadikan manusia tunduk pada aturan Sang Khaliq. Aturan ini terdapat dalam risalah RosulNya yaitu alquran, sunnah, ijma' sahabat dan qiyas.
Manifestasi ideologi Islam akan terwujud dalam 5 aspek kehidupan. Aspek-aspek ini diataranya adalah pendidikan, sosial, pemerintahan, ekonomi dan politik luar negeri Islam. Semua aspek ini akan terlaksana dengan benar saat Islam diterapkan secara kaffah. Negara inilah yang disebut dengan Khilafah Islamiyah.
Khilafah Islamiyah yang berasaskan akidah Islamiyah akan menjaga 8 hal yaitu harta, agama, kehormatan, akal, keturunan, kehormatan, keamanan, negara, dan jiwa. Maka untuk menyudahi konflik dan intimidasi fisik yang dialami kaum muslim di mana saja dengan jihad fisabilillah di bawah komando Khalifah.
Hal ini sudah terbukti secara empiris, Khilafah menjaga jiwa umat baik muslim atau kafir dzimmi yang berada di bawah naungannya. Pengamat sejarah T. W Arnold, dalam bukunya The Preaching of Islam, menuliskan bagaimana perlakuan yang diterima oleh non-Muslim yang hidup di bawah pemerintahan Daulah Utsmaniyah.
Arnold menyatakan, “Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan pada mereka, dan perlindungan jiwa dan harta yang mereka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen”.
Maka, penegakkam Khilafah Islamiyah yang sudah kosong sejak 97 tahun lalu bukan hanya kebutuhan yang harus segera ditegakkan, tapi merupakan kewajiban agung atas seluruh pundak kaum muslimin. Sehingga, tidak akan tumpah lagi darah muslim India, Rohyngia, Uighur, dan muslim lainnya.
Allah SWT berfirman:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (TQS An Nuur : 55)
Wallahu'alam
Tags
Opini