Tren perceraian di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya. Nyaris setengah juta janda baru lahir di Indonesia sepanjang 2019. Dari jumlah itu, mayoritas perceraian terjadi atas gugatan istri.
Dari data Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, hakim telah memutus perceraian sebanyak 16.947 pasangan. Adapun di Pengadilan Agama sebanyak 347.234 perceraian berawal dari gugatan istri. Sedangkan 121.042 perceraian di Pengadilan Agama dilakukan atas permohonan talak suami. Sehingga total di seluruh Indonesia sebanyak 485.223 pasangan. (Detiknews 28/2)
Ya. Perceraian masih saja menjadi problem yang sulit untuk diatasi di negeri ini. Jika pepatah lama mengatakan banyak jalan menuju Roma, maka di era milenial sekarang ini pepatah tersebut nampaknya telah bergeser menjadi banyak jalan menuju perceraian. Bagaimana tidak? Sedikit problem internal saja, rumah tangga bisa terancam bubar. Bahkan di era digital sekarang ini, tak jarang sosial media berubah menjadi bilah pisau yang mematikan.
Dilansir oleh Databoks 20/2, dari 408.202 kasus perceraian pada 2018, perselisihan dan pertengkaran terus menerus menjadi faktor pemicu terbesar nya. Kemudian secara berurutan disusul oleh masalah ekonomi, suami/istri pergi, KDRT dan mabuk dengan prosentase 0.85%
Kasus perceraian yang terjadi sejatinya dilatarbelakangi oleh banyak hal. Minimnya pemahaman baik agama maupun pemahaman yang berhubungan dengan rumah tangga menjadi faktor yang tidak disadari, bahkan disepelekan. Padahal dengan bekal itu, masing masing pribadi akan menyadari hak dan kewajiban yang harus ditunaikan dan memahami tujuan pernikahan. Tindak kekerasan, mabuk, atau kasus suami/istri pergi pun tidak mungkin terjadi.
Dari segi sosial, paham liberal yang diadopsi menjadikan biduk rumah tangga kerap dihantui perselingkuhan. Hal ini bermula dari pola interaksi yang berlangsung ditengah tengah masyarakat yang cenderung bebas tanpa mengindahkan sekat antara laki laki dan perempuan.
Adapun dari segi ekonomi, maka hal tersebut tak lepas dari penerapan sistem ekonomi kapitalis di negeri ini yang sukses menjadikan angka kemiskinan makin meningkat dan lapangan kerja semakin minim. Sehingga secara otomatis, hal tersebut akan berpengaruh pada kemampuan sebuah keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Belum lagi beban biaya pendidikan dan kesehatan, makin komplekslah pemicu terjadinya pertengkaran dalam keluarga.
Kompleksnya faktor- faktor inilah yang menjadikan perceraian tidak bisa diselesaikan hanya dengan solusi parsial.
Solusi berupa regulasi-regulasi yang cenderung kontraproduktif seperti yang dilakukan oleh rezim sekuler saat ini.
Dalam pandangan Islam, keluarga adalah pilar pembentuk masyarakat ideal yang diharapkan dapat melahirkan generasi shalih. Di lingkup keluargalah pendidikan pertama anak diberikan sehingga hadirnya memiliki pengaruh besar bagi kesuksesan peradaban dunia di masa depan. Inilah mengapa sekalipun perceraian diperbolehkan, ia tetap saja menjadi jalan penyelesaian yang begitu dibenci oleh Allah.
Mengatasi darurat perceraian semacam ini sejatinya membutuhkan solusi sistemik yang melibatkan seluruh komponen baik individu, masyarakat maupun negara. Ketiganya harus bersinergi dengan mengacu pada bagaimana tata aturan Islam menyelesaikan problem ini.
Dari sisi individu, maka ketakwaan benar benar harus dibangun untuk menciptakan kesadaran bahwasanya ia terikat dengan hukum syariat. Yang dengan bekal itu, ia bisa menahan diri dari berbuat maksiat. Baik itu kekerasan terhadap pasangan maupun pengabaian terhadap kewajiban.
Dari sisi masyarakat, tentu harus dibangun sistem sosial yang sehat yang berlandaskan Islam. Dimana segala interaksi lawan jenis begitu dijaga secara total sehingga pintu munculnya PIL maupun WIL bisa ditutup sedini mungkin. Peran masyarakat juga dibutuhkan dalam menumbuhsuburkan aktivitas amar makruf nahi mungkar, sehingga tatanan sosial bisa berjalan dalam koridor nya.
Adapun dari sisi
negara, maka ia wajib membentengi negara nya dari nilai-nilai rusak yang bersumber dari kapitalisme seperti feminisme, emansipasi dan liberalisme. Tak hanya itu, negara juga harus menjamin kesejahteraan masyarakat dari sisi perekonomian dengan menciptakan lapangan pekerjaan yang luas bagi laki laki dan pelayanan publik yang berkualitas. Yang dengan itu, para perempuan/ibu bisa fokus menjalani peran utamanya sebagai ibu rumah tangga. Mereka pun tak dipusingkan masalah keuangan dan menjadikannya terpaksa terjun ke dunia kerja untuk mencukupi kebutuhan.
Namun, penerapan solusi secara sempurna ini hanya bisa terwujud melalui institusi Khilafah Islamiyyah. Sebuah institusi yang menjamin pelaksanaan syariah secara kaffah dan menjamin pula terselesaikan nya seluruh problematika kehidupan yang ada.