Ummu Zhafran
(Pegiat Opini, Komunitas AMK)
Hal tersulit dipahami di dunia ini adalah pajak penghasilan_ Albert Einstein
Entah apa yang dikatakan Einstein jika ia masih hidup kini dan menyaksikan, bukan hanya penghasilan yang kena pajak. Kantong plastik, minuman ringan bahkan asap knalpot tak luput dari cukai. Hal yang amat sulit dimengerti publik saat ini.
Merilis dari laman CNBC, Menteri Keuangan, telah rapat dengan Komisi XI DPR. Tujuannya meminta persetujuan untuk pengenaan cukai baru pada tiga komponen, yaitu plastik, minuman bersoda atau berpemanis, dan emisi bahan bakar minyak (BBM). Cukai ini menurutnya berpotensi pada penerimaan negara sebesar Rp. 15,7 triliun. (cnbcnews, 19/2/2020)
Pemerintah berdalih, kebijakan diambil agar limbah plastik dapat dikurangi karena berefek pada lingkungan, menekan angka penderita diabetes dan polusi udara bisa diminimalkan.
Benarkah demikian? Sebagian khalayak prihatin meski beragam alasan telah dikemukakan. Sebab kantong plastik, minuman ringan selama ini jadi konsumsi publik dan sumber pendapatan para pedagang kecil. Begitu pula dengan asap knalpot mengingat suplai kebutuhan hasil bumi dan barang lainnya kerap diangkut menggunakan kendaraan dengan emisi cukup tinggi. Seluruhnya tentu berimbas pada harga jual barang pada konsumen. Ujungnya daya beli masyarakat rawan menurun.
Pajak Digenjot, Kapitalisme Penyebabnya?
Menarik alasan di balik berlakunya cukai terhadap plastik, minuman berpemanis, dan emisi bahan bakar, yaitu kecilnya pendapatan Indonesia yang diperoleh dari cukai dibanding negara lainnya.
"Kita hanya mengenakan tiga obyek cukai. Negara-negara lain memiliki 4 sampai 6 obyek cukai. Bahkan ada yang 7 sampai 10 obyek barang yang dikenakan cukai," kata Sri Mulyani. (CNNIndonesia, 19/2/2020)
Realita yang terjadi semakin menegaskan aroma kapitalisme yang tercium dari kebijakan ekonomi di negeri ini. Terbukti komoditi bebas pajak makin langka keberadaannya. Sementara sudah fitrah kapitalisme meniscayakan pajak sebagai sumber pemasukan bagi pundi-pundi negara. Prinsip no free lunch mendorong negara berlepas diri dari mengurus rakyat. Mengutip dari Wikipedia, kapitalisme menyerahkan semua pada mekanisme pasar dengan para pengusaha atau pemegang modal sebagai pemeran utama.
Dengan prinsip tersebut pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna memperoleh keuntungan bersama, tetapi intervensi pemerintah dapat dilakukan secara besar-besaran untuk melindungi kepentingan-kepentingan pribadi. Termasuk intervensi dalam hal ini, menarik pajak.
Layaknya peribahasa, untung tak dapat diraih malang tak kuasa ditolak. Ketika hajat hidup publik ramai dikenakan pajak, beberapa waktu yang lalu insentif justru akan diberikan bagi investor pasar modal. Baik yang berasal dari asing maupun aseng. Tak tanggung-tanggung, insentifnya berupa penurunan hingga pembebasan tarif pajak yang diatur dalam draf Omnibus Law perpajakan. (cnbcindonesia.com, 28/11/2019)
Dunia Tanpa Pajak, Mungkinkah?
Andai Islam yang jadi rujukan, pajak tak akan punya kesempatan. Bagaimana mungkin? Tentu mungkin. Sebab pajak dalam ekonomi Islam tak pernah jadi sumber pendapatan tetap. Bukan berarti tak ada namun sifatnya insidental. Berdasarkan definisi pajak,
“Apa yang ditetapkan sebagai kewajiban atas harta maupun orang di luar kewajiban syara’.” (Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, hal. 256)
Sehingga bila terdapat kebutuhan masyarakat yang mendesak, sedang kas negara tak mencukupi maka dapat diwajibkan pajak atas kaum muslim. Namun tidak semua kaum Muslim menjadi wajib pajak, apalagi non-Muslim. Pajak hanya diambil dari kaum Muslim yang mampu.
Indikatornya ialah saat seseorang memiliki kelebihan pendapatan setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional (ma’ruf), sesuai dengan standar hidup mereka di wilayah tersebut. Karena itu, jika ada kaum Muslim yang mempunyai kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya, maka dia menjadi wajib pajak. Pajak juga wajib diambil darinya. Tetapi, jika tak mempunyai kelebihan, maka dia tidak menjadi wajib pajak, dan pajak tidak akan diambil darinya.
Dalam hal ini, Nabi SAW bersabda,
“Mulailah dari dirimu, maka biayailah. Jika ada kelebihan, maka itu untuk keluargamu.” (HR An Nasaa'iy)
Bila kebutuhan di awal sudah terpenuhi, maka pajak wajib dihentikan. Karena itu, pajak di dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan, bukan menghalangi orang untuk kaya, atau menambah pendapatan negara.
Di sisi lain Islam mewajibkan negara untuk membebaskan pajak tidak langsung, termasuk pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual-beli, dan pajak macam-macam yang lain. Apalagi pajak untuk asap knalpot, selamanya tak pernah terwujud.
Negara juga tidak akan menetapkan biaya apa pun dalam pelayanan publik, seperti biaya kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semuanya diberikan dengan gratis, dan terbaik. Begitu juga negara tidak akan memungut biaya-biaya administrasi, termasuk denda layanan publik, seperti PLN, PDAM, Telkom, dan sebagainya. Termasuk, tidak memungut biaya pembuatan SIM, KTP, KK, surat-menyurat dan sebagainya. Karena semuanya itu sudah menjadi kewajiban negara kepada rakyatnya. Bandingkan dengan kini yang makin hari membuat rakyat gigit jari.
Demikianlah perlu upaya keras dan sungguh-sungguh untuk mengkaji Islam secara totalitas. Dengannya akan dipahami bahwa hidup sejahtera dengan gambaran di atas mustahil terwujud jika Islam tak kaffah diterapkan. Cukuplah peringatan Allah berikut,
“Apakah kamu beriman kepada sebagian Kitab dan ingkar kepada sebagian kepada sebagian (yang lainnya)? Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian itu di antara kalian selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Baqarah: 85)
Wallaahu a'lam.