Corona: Wabah, Musibah, dan Riayah



Oleh : Puput Yulia Kartika, S.Tr.Rad
(Koordinator Smart Muslimah Comnunity)

Wabah virus Covid-19 nampaknya masih terus saja menghantui sejumlah negara di dunia, tak terkecuali Indonesia. Bagaimana tidak? Sejak kemunculannya di negara Indonesia pada 03 Maret 2020, presiden Jokowi mengumumkan bahwa ada dua orang warga negara Indonesia yang positif terkena Covid-19. Namun yang menjadi sangat menakutkan, bahwasanya virus Covid-19 ini memiliki penyebarannya yang begitu cepat. Hingga kini kasusnya terus mengalami kenaikan, tercatat per 27 Maret 2020, jumlah kasus pasien positif Covid-19 sebanyak 1046 kasus. 

Kekhawatiran tersebut lantaran bukan saja karena kasusnya yang terus mengalami kenaikan dan penyebarannya yang begitu cepat, tetapi juga virus Covid-19 bisa menyebabkan hilangnya nyawa. Telah tercatat sebanyak 87 orang meninggal dunia akibat wabah virus Covid-19 ini, dan 46 sembuh. (detikNews, 27/03/2020)

Melihat kondisi yang semakin terus bertambah jumlah pasien virus Covid-19, masyarakat dan juga para tim medis mendesak pemerintah untuk segera melakukan upaya lockdown. Bahkan Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI) di dalam surat pada 14 Maret 2020 lalu, PA PAPDI meminta Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merekomendasikan kepada pemerintah untuk melakukan karantina wilayah di daerah yang telah terjangkit Covid-19. Tindakan itu dinilai penting untuk meningkatkan kecepatan dalam membatasi penyebaran Covid-19. (Tirto.id, 20/03/2020)

Namun, ditengah maraknya kasus virus Covid-19 yang terus mengalami kenaikan jumlahnya dan desakan masyarakat pun juga tenaga medis untuk melakukan lockdown, sikap yang ditunjukkan oleh pemerintah justru terkesan seolah lamban dan santai. Terbukti bahwasannya pemerintah bersikeras untuk tidak melakukan lockdown dalam upaya pencegahan penyebaran virus Covid-19 ini. Keengganan pemerintah tersebut dengan dalih aspek ekonomi. Pemerintah menganggap bila lockdown dilakukan akan ada penurunan ekonomi yang sangat tajam. Dan untuk sementara langkah awal yang ditempuh pemerintah mengambil jalur diluar lockdown. (detikFinance, 22/03/2020)

Peran Negara Kapitalis

Di saat kondisi yang sudah genting seperti ini, bisa-bisanya pemerintah masih mementingkan aspek ekonomi. Padahal nyawa masyarakat bisa begitu terancam dengan cepatnya penyebaran virus Covid-19 ini. Pemerintah selaku penguasa yang bertanggung jawab atas rakyatnya, seharusnya bukan lagi mementingkan aspek ekonomi yang utama melainkan keselamatan nyawa masyarakatlah yang menjadi prioritas dalam wabah virus Covid-19 ini.

Bisa dibayangkan bila saja pemerintah lamban dan santai dalam mengambil langkah kebijakan, tidak menutup kemungkinan jumlah kasus postif Covid-19 ini akan terus mengalami kenaikan jumlahnya. Karenanya perlu langkah yang cepat dan juga tepat dari para penguasa dalam mencegah penyebaran kasus virus Covid-19.

Keputusan pemerintah yang enggan mengambil langkah lockdown tak terlepas dari sistem kapitalis-sekuler yang dianut negara hari ini. Sistem yang dimana menjadikan perhitungan materi sebagai pertimbangan yang dominan dalam mengambil keputusan berdasarkan pada asas manfaat. Negara menjadikan untung-rugi materi sebagai tolak ukurnya. Akibatnya negara kapitalis-sekuler hanya beretorika soal prioritas keselamatan rakyat. Sementara langkah kebijakan yang nyata dilakukan tidak memberikan jaminan keselamatan. Akhirnya masyarakat hanya bisa berupaya semaksimal mungkin untuk terhindar dari wabah Covid-19 ini pada tataran individu saja.

Disamping itu, jika upaya lockdown yang ditempuh maka bisa dipastikan bahwa pemerintah tidak siap. Mengingat dalam lockdown masyarakat sama sekali tidak diperkenankan untuk keluar rumah, karenanya pemerintah bertanggung jawab atas terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat pada saat lockdown. Sementara pemerintah sendiri masih memiliki problem ketergantungan impor termasuk pangan dan obat-obatan. Hal ini memang menguji kemandirian sebuah negara. 

Riayah Dalam Daulah Islam

Bicara mengenai wabah, sejatinya ini bukanlah hal yang baru di dunia. Lantaran sebelumnya pun pernah terjadi wabah, semisal SARS, MERS, dan sebagainya. Bahkan dunia Islam sendiri, pernah mencatat terjadinya wabah pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab ra.

Kala itu terjadi wabah pada saat tahun ke 18 H, tepatnya di negeri Syam. Masyakarat pada saat itu terkena wabah tha'un, yakni sebuah penyakit menular dengan benjolan di seluruh tubuh yang akhirnya pecah dan mengakibatkan pendarahan.

Umar yang awalnya melakukan perjalanan dari Madinah ke negeri Syam bersama para sahabat akhirnya terhenti sampai di daerah perbatasan sebelum memasuki negeri Syam, lantaran mendengar adanya wabah Tha'un tersebut. 

Abu Ubaidah bin Al Jarrah selaku sang Gubernur negeri Syam ketika itu datang ke perbatasan untuk menemui rombongan Umar tersebut. Akhirnya,  terjadi dialog hangat antar para sahabat, yang menyatakan apakah mereka tetap akan masuk ke negeri Syam atau pulang ke Madinah.

Umar yang cerdas meminta saran kaum muhajirin, anshar, dan orang-orang yang ikut pada Fathu Makkah. Mereka semua pun berbeda pendapat. Bahkan Abu Ubaidah ra menginginkan mereka masuk, dan berkata mengatakan kepada Umar bahwa mengapa engkau lari dari takdir Allah SWT.

Lalu Umar ra menyanggahnya dan bertanya. Jika kamu punya kambing dan ada 2 lahan yg subur dan yg kering, kemana akan engkau arahkan kambingmu? Jika ke lahan kering itu adalah takdir Allah, dan jika ke lahan subur itu juga takdir Allah. Sesungguhnya dengan kami pulang, kita hanya berpindah dari takdir satu ke takdir yang lain.

Akhirnya perbedaan itu berakhir ketika Abdurrahman bin Auf ra mengucapkan hadist Rasulullah SAW, "Jika kalian mendengar wabah melanda suatu negeri. Maka, jangan kalian memasukinya. Dan jika kalian berada didaerah itu janganlah kalian keluar untuk lari darinya." (HR. Bukhari & Muslim)

Dengan langkah kebijakan yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab ra. serta berdasarkan hadits Rasulullah Saw, maka tindakan Umar tersebut merupakan mengisolasi daerah yang terkena wabah. Konsep tersebut yang kita kenal hari ini dengan tindakan karantina (lockdown). Dimana tindakan itu menjelaskan larangan memasuki wilayah pandemi agar tidak tertular, begitu pun sebaliknya. Bagi yang berada di dalam, tidak boleh keluar agar tidak tertular kepada yang lain. 

Dengan adanya tindakan tegas yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab dalam mengkarantina wilayah negeri Syam, ini menunjukkan bahwasanya Khalifah serius dalam menahan penyebaran wabah penyakit tha'un pada saat itu.

Hal ini tak terlepas dari sistem pemerintahan islam yang diterapkan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra. Sistem yang dimana menjadikan Al-quran dan as-sunah dalam mengambil keputusan, dan sistem Islam telah terbukti menjamin setiap nyawa rakyatnya. 

Begitupun, dalam aspek ekonominya. Negara Islam sejak awal berdirinya memang membentuk dirinya sebagai negara yang mandiri. Sehingga ketika terjadi bencana atau musibah maupun wabah yang mengguncang perekonomian negara, maka negara Islam bisa mengatasinya.

Bukan seperti sistem kapitalis-sekuler hari ini, yang mementingkan aspek materi, sehingga nyawa manusia bisa saja terabaikan. Ini menjadikan bukti kepada kita bahwasannya sistem kapitalis-sekuler hari ini telah gagal dalam menjamin kehidupan. Sehingga sudah sepatutnya, kita beralih dari sistem kapitalis-sekuler yang di emban negara hari ini menjadi sistem pemerintahan Islam. Insyaa allah negeri akan barakah dan selamat.

Wallahu'alam bii ash-shawab 



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak