Corona makin Mencekam, Pemimpin masih Santuy



                            Oleh : Ummu Aziz

Tagar #IndonesiaNeedLeader menjadi trending topic twitter akhir pekan ini. Gara-garanya adalah langkah pemerintah dalam menangani Covid-19 yang dinilai  santuy. Bahkan beberapa pejabat publik melontarkan pernyataan yang terkesan meremehkan bahaya virus corona.

Pemerintah terlihat sangat lamban, tidak serius dan terlalu santai dalam menangani penyebaran virus corona yang saat ini sudah dinyatakan sebagai pandemi dunia. Pemerintah bahkan lebih sibuk mengurusi sektor pariwisata. Bukan malah sibuk mengurusi nyawa rakyatnya sendiri,  yang jumlah  korbannya terus bertambah secara signifikan. Ketika Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi positif corona, barulah pemerintah terhenyak.

Data terbaru dari TVOne (20/3/2020) mengabarkan jumlah korban yang meninggal berjumlah 32 dan positif corona  369 orang. Ini sungguh angka yang fantastis. Dalam sehari jumlah orang yang terjangkit virus ini bertambah menjadi 50 orang. Bagaimana nasib rakyat +62 untuk beberapa hari bahkan seminggu mendatang jika pemerintah masih belum ektra serius memberantas virus ini? Berapa nyawa lagi yang akan dikorbankan jika negeri ini seperti kekosongan pemimpin yang mengurusi rakyat?

Mungkin saking geregetannya dengan pemerintah, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menyurati Presiden Joko Widodo. WHO meminta Jokowi untuk segera mengumumkan darurat nasional Corona.
Plt juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah membenarkan surat dari WHO yang dikirim per 10 Maret 2020 tersebut. Dalam suratnya, Tedros mengatakan WHO telah bekerja maksimal untuk menganalisis dan menyebarluaskan informasi tentang COVID-19. Untuk mengalahkan virus ini, setiap negara perlu mengambil langkah-langkah kuat yang dirancang untuk memperlambat penularan dan mencegah penyebaran.
Direktur WHO (World Health Organization), Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan bahwa penanganan Covid-19 harus dilakukan secara komprehensif oleh setiap negara. Menurut dia, penerapan pembatasan sosial (social distancing) tidak cukup untuk mengatasi penularan penyakit yang disebabkan Covid-19. Cara paling efektif untuk mencegah infeksi dan menyelamatkan jiwa adalah memutus rantai penularan melalui pemeriksaan dan karantina.

Dengan sombongnya pula Menteri Kesehatan mengatakan bahwa menghadapi difteri saja Indonesia tidak takut, apalagi menghadapi corona. Dan ketika kasus positif corona pertama sudah terdeteksi, Menteri Kesehatan mengatakan masyarakat tak perlu panik karena corona tak lebih mematikan dibandingkan influenza.
Di luar berbagai pernyataan meremehkan yang dikeluarkan pemerintah, tindakan penanganan terhadap warga yang suspect maupun sudah positif terinfeksi virus corona juga asal-asalan. Bagaimana mungkin tim kesehatan RSUD dr. Slamet menggunakan jas hujan saat merujuk Pasien Dalam Pengawasan (PDP) menuju RSHS Bandung?
Saat negara lain sibuk memerangi corona. Pemerintah malah sempat sempatnya mengundang influencer dan mengundang orang dari negara lain untuk masuk ke negara kita. Salut...!

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengatakan kedatangan 49 Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Cina melalui Kendari, Sulawesi Tenggara, tidak melanggar aturan.(tempo.com/18/3/202)
Untuk menangani corona, pemerintah menyerukan untuk melakukan social distancing, yaitu menjaga jarak. Rakyat diminta menghindari kerumunan dan bepergian. Tetap tinggal di rumah, belajar dan beribadah di rumah.
Namun, banyak pihak menilai anjuran ini tak cukup. Harus ada langkah tegas, yaitu isolasi atau lock down terhadap wilayah yang terdeteksi ada pasien corona. Jika hanya meliburkan sekolah, tanpa menutup fasilitas Umum, ternyata masih banyak orang yang kesadarannya rendah yang justru jalan-jalan di mall dan tempat wisata.

Butuh Satu Komando
Penanganan corona memang bukan hanya beban pemerintah. Semua komponen masyarakat harus ikut andil menjadi bagian dari solusi. Namun, masyarakat tak boleh dibiarkan bertindak sendiri, mengingat beragamnya pengetahuan masyarakat.
Pemerintah harus bersikap sebagai raa’in (pengurus) dan mas’ul (penanggung jawab) untuk menyelesaikan masalah corona. Negara tak boleh menjadi autopilot, di mana rakyat dibiarkan mencari solusi sendiri-sendiri. Fenomena panic buying akhir-akhir ini membuktikan bahwa masyarakat bergerak sendiri mencari solusi.
Hasilnya adalah kekacauan. Hoaks bertebaran di mana-mana, berita simpang siur mengenai corona ditransmisikan via media sosial. Rakyat makin bingung. Sikap pemerintah pusat yang tak segera melakukan lock down akhirnya membuat para kepala daerah menetapkan lock down lokal.
Itu pun tidak total. Beberapa gubernur dan bupati/walikota meliburkan sekolah selama 14 hari, menutup tempat wisata, dan membatalkan aneka kegiatan di luar ruangan. Sayangnya, masing-masing kepala daerah seolah bekerja sendiri-sendiri. Pemerintah pusat justru menyerahkan keputusan pada daerah.
Padahal penanganan corona tak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Butuh kerja sama semua pihak di bawah satu komando kepemimpinan. Sehingga penetapan hari libur sekolah dan lock down bisa berjalan efektif. Namun penguasa yang bisa memimpin dengan benar haruslah yang bermental negarawan, bukan sekadar politisi karbitan, apalagi petugas partai.
Dalam kondisi darurat, lebih-lebih lagi. Pemimpin harus optimal dalam mengurusi rakyat, bekerja siang malam demi mencukupi kebutuhan rakyat.
Pemimpin tak boleh bersikap sebagai pedagang yang selalu menggunakan hitung-hitungan untung rugi materi ketika mengurusi rakyatnya.
Khalifah Umar bin Khaththab ra adalah seorang pemimpin yang membaktikan seluruh waktunya untuk rakyat. Tiap malam beliau patroli hingga pelosok kampung untuk memastikan semua rakyatnya hangat dan kenyang sehingga biasa tidur nyenyak. Sang khalifah sendiri jarang tidur. Saking lelahnya beliau kadang tertidur di bawah pohon kurma dekat Masjid Nabawi.

Itulah sebagian gambaran sosok pemimpin negarawan. Rakyat bisa menilai sendiri, sudahkah para pemimpin Indonesia bermental negarawan? Sudahkah mereka mencurahkan segenap daya upaya untuk mengatasi corona? Ataukah justru menjadikan corona bahan guyonan dan lebih mementingkan pariwisata?
Maka jelas, untuk mengatasi corona, selain butuh pemimpin negarawan, Indonesia juga butuh sistem yang benar. Yakni sistem politik yang menempatkan syariat Islam kafah sebagai solusi atas semua masalah, termasuk corona.

Wallahua’lam bi shawab.







Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak