Oleh : Hj. Padliyati Siregar, ST Mubalighah Palembang
Jerman geram dengan tawaran Amerika Serikat yang berusaha untuk "membeli" hak eksklusif atas vaksin yang sedang dikembangkan oleh perusahaan biofarmasinya, CureVac. Dalam sebuah laporan surat kabar, Presiden AS Donald Trump dikabarkan telah menawar hak eksklusif atas vaksin tersebut sebesar 1 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 15 triliun. Merespons kabar tersebut, para menteri Jerman t langsung dirundung amarah.
"Jerman tidak untuk dijual," ujar Menteri Ekonomi Jerman, Peter Altmaier saat diwawancarai oleh penyiar ARD seperti dimuat The Guardian, Senin (16/3). (rmol.id 16/03/2020)
Pandemi covid 19 bisa menjadi bukti bahwa negara besar melakukan semua cara untuk mengkomersialisasi penyakit. Ancaman virus Corona ini digunakan oleh para borjuis untuk memperkuat pengaruhnya lewat ide-ide reaksioner, mistis, anti-keilmiahan serta rasis. Trump mengatakan Corona adalah “hoax” yang digunakan oleh lawan politik untuk menyerangnya. Menurutnya, orang dapat sembuh dengan duduk-duduk dan bahkan berangkat kerja. Trump kemudian mendeklarasikan Hari Berdoa Nasional setelah deklarasi darurat nasional pada 15 Maret.
Ekonomi dunia kemudian bergejolak karena serangan virus ini, sebelumnya terjadi perang dagang yang sengit antara Tiongkok dan Amerika. Kapitalisme global sedang menatap kehancuran pasar saham yang membuat Trump sangat kesal, karena kerugian triliunan Dolar AS dalam lima hari terakhir. Banyak bursa telah melihat bahwa semua keuntungan mereka pada tahun 2020 musnah.
Situasi ekonomi riil berpotensi jauh lebih buruk. Pariwisata adalah faktor utama dalam PDB global – sudah maskapai dunia memproyeksikan kerugian sebesar $ 30 miliar tahun ini dan akan terus berlanjut.
Pada kenyataannya, gangguan terhadap perdagangan global yang terjadi menempatkan jutaan pekerjaan dalam bahaya, tidak hanya di AS, tetapi di seluruh dunia. Seperti yang dikatakan Ketua Federal Reserve AS Jerome Powell: “Ekonomi Tiongkok sangat penting dalam ekonomi global sekarang, dan ketika ekonomi Tiongkok melambat, kami merasakannya.”
Ekonomi Tiongkok berada di urutan kedua setelah AS, dengan produk domestik bruto hampir $ 14,55 triliun pada 2019, yang merupakan 16,38 persen dari ekonomi global. Ekspor global Tiongkok bernilai $ 2,5 triliun pada tahun 2018, menurut Bank Dunia.
Michael Robert dalam It Was The Virus That Did It mengatakan pandemik Corona akan mengguncang ekonomi global lebih buruk dari yang sebelumnya pernah terjadi. Namun resesi yang akan terjadi bukanlah disebabkan oleh Corona, melainkan gerak kapitalisme itu sendiri. Pandemik Corona menjadi palu yang membongkar kebusukan kapitalisme.
Membongkar Kebusukan Kapitalisme
Beberapa negara seperti Inggris Raya dan Swedia menggunakan pendekatan kekebalan komunitas/ herd immunity yang berbeda dengan membiarkan virus menentukan nasib jutaan orang dengan harapan mereka yang terjangkiti virus akan mendapatkan kekebalan.
Penasehat ilmiah utama Inggris Raya, Sir Patrick Vallance, mengatakan sekitar 40 juta orang di Inggris harus terjangkiti Corona untuk mendapatkan kekebalan komunitas dan mencegah kembalinya penyakit tersebut di masa depan. Mereka percaya bahwa orang-orang yang sudah terlalu tua atau sakit akan mati karena Corona sehingga tidak ada gunanya menghabiskan sumber daya nasional merawat mereka.
Demikian pula dengan lockdown, dia anggap tidak ada gunanya karena akan mengganggu ekonomi (dan keuntungan), toh mereka akan mati juga. Sementara AS tidak memiliki pendekatan apapun, hanya menunggu hingga orang-orang menjadi sakit dan kemudian diurus kasus-kasus yang parah.
Ini bisa dikatakan pendekatan Malthusian, ekonomi klasik paling reaksioner pada awal abad 19. Pandangannya adalah terlalu banyak orang-orang “tidak produktif” di dunia ini jadi pandemik ataupun bencana reguler dibutuhkan untuk menyingkirkan mereka dan membuat ekonomi semakin produktif.
Alasan mengapa pemerintah AS dan Inggris Raya belum mengambil langkah-langkah tegas, adalah anggapan bahwa hal itu akan melemahkan ekonomi. Menerapkan lockdown serta social distancing membutuhkan penutupan sekolah, universitas dan produksi non-esensial serta meminta mayoritas rakyat pekerja untuk tinggal di rumah.
Ini akan mengganggu produktivitas dan pada analisa terakhir kebijakan kesehatan publik terbaik akan mengakibatkan ekonomi berhenti dan produksi serta perdagangan berhenti.
Diperkirakan lockdown selama satu bulan akan menurunkan 50 persen aktivitas ekonomi dan 25 persen untuk bulan berikutnya. Dalam situasi resesi beberapa tahun lalu, ekonomi AS kehilangan 800 ribu pekerjaan perbulan dan angka pengangguran sekitar 10 persen.
Corona bisa menciptakan situasi dimana dalam waktu singkat, 50 persen atau lebih rakyat pekerja tidak akan bekerja.
Pandemik Corona ini, bahkan bencana sekalipun, tidaklah menunjukan bahwa “uang tidak bisa dimakan”. Bencana justru menjadi ladang akumulasi modal bagi kelas borjuis. Mereka yang berkuasa dan kaya raya dapat meminimalisir segala resiko dan membebankan semuanya ke pundak kelas buruh dan rakyat pekerja.
Penasehat ekonomi Gedung Putih, Larry Kudlow mendorong investor untuk berebut keuntungan dari pasar saham yang tergoncang. Jurnalis Konservatif Inggris, Jeremy Warner, mengatakan bahwa Corona yang terutama membunuh lansia, dalam jangka panjang akan menguntungkan secara ekonomi.
Sementara Airlangga, Menteri Perdagangan, menghubungkan Corona yang belum masuk ke Indonesia dengan perijinan yang berbelit-belit.
AS dan Jerman sedang bertarung memperebutkan vaksin Corona yang sedang dikerjakan oleh perusahaan Jerman, CureVac. Trump menawarkan sejumlah besar uang agar mendapatkan hak eksklusif hanya untuk AS atas vaksin tersebut. Monopoli terhadap obat bagi pandemik yang dibutuhkan oleh ratusan juta orang tentunya sangat menguntungkan.
Pada 10 Maret, setelah bertemu dengan eksekutif Goldman Sachs, Bank of America, JP Morgan Chase, Wells Fargo dan Citigroup di Gedung Putih, Trump menawarkan ide memotong pajak untuk mereka sebesar 700 miliar USD. Ini tambahan dari triliunan dollar potongan pajak yang disahkan pada 2017.
Beberapa negara seperti Inggris, Australia, AS dan berbagai negara lainnya, termasuk Indonesia kewalahan dalam menangani pandemik Corona. Ini tidak terlepas dari bertahun-tahun kebijakan neoliberal, mengabaikan kesehatan publik serta fokus pada kepentingan akumulasi modal dan menjaganya.
Walaupun pandemik Corona terjadi, kelas berkuasa tidak menghentikan upaya eksploitasi dan penindasan terhadap kelas buruh dan rakyat pekerja.
Solusi Islam
Islam selalu menunjukkan keunggulannya sebagai agama sekaligus ideologi yang lengkap. Islam mengatur semua hal dan memberikan solusi atas segenap persoalan. Islam telah lebih dulu dari masyarakat modern membangun ide karantina untuk mengatasi wabah penyakit menular.
Dalam sejarah, wabah penyakit menular pernah terjadi pada masa Rasulullah saw. Wabah itu ialah kusta yang menular dan mematikan sebelum diketahui obatnya. Untuk mengatasi wabah tersebut, salah satu upaya Rasulullah saw. adalah menerapkan karantina atau isolasi terhadap penderita. Ketika itu Rasulullah saw. memerintahkan untuk tidak dekat-dekat atau melihat para penderita kusta tersebut. Beliau bersabda:
"Janganlah kalian terus-menerus melihat orang yang mengidap penyakit kusta" (HR al-Bukhari).
Dengan demikian, metode karantina sudah diterapkan sejak zaman Rasulullah saw. untuk mencegah wabah penyakit menular menjalar ke wilayah lain. Untuk memastikan perintah tersebut dilaksanakan, Rasul saw. membangun tembok di sekitar daerah yang terjangkit wabah. Peringatan kehati-hatian pada penyakit kusta juga dikenal luas pada masa hidup Rasulullah saw. Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Rasulullah bersabda, “Jauhilah orang yang terkena kusta, seperti kamu menjauhi singa.” (HR al-Bukhari).
Rasulullah saw juga pernah memperingatkan umatnya untuk tidak mendekati wilayah yang sedang terkena wabah. Sebaliknya, jika sedang berada di tempat yang terkena wabah, mereka dilarang untuk keluar. Beliau bersabda:
"Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian Meninggalkan tempat itu" (HR al-Bukhari).
Dikutip dalam buku berjudul, Rahasia Sehat Ala Rasulullah saw.: Belajar Hidup Melalui Hadis-hadis Nabi karya Nabil Thawil, pada zaman Rasulullah saw., jika ada sebuah daerah atau komunitas terjangkit penyakit Tha’un, beliau memerintahkan untuk mengisolasi atau mengkarantina para penderitanya di tempat isolasi khusus. Jauh dari pemukiman penduduk. Ketika diisolasi, penderita diperiksa secara detail. Lalu dilakukan langkah-langkah pengobatan dengan pantauan ketat. Para penderita baru boleh meninggalkan ruang isolasi ketika dinyatakan sudah sembuh total.
Pada masa Kekhalifahan Umar bin al-Khaththab juga pernah terjadi wabah penyakit menular. Diriwayatkan:
"Khalifah Umar pernah keluar untuk melakukan perjalanan menuju Syam. Saat sampai di wilayah bernama Sargh, beliau mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf kemudian mengabari Umar bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meningalkan tempat itu" (HR Bukhari).
Riwayat ini juga dinukil oleh Ibnu Katsir dalam kitab Al Hidayah wa Al Hinayah. Menurut Iman Al Waqidi saat terjadi Tha'un yang melanda negeri Syam, wabah ini telah memakan korban 25.000 jiwa lebih. bahkan di antara para sahabat ada yang terkena wabah ini. Mereka adalah Abu Ubaidiyah bin Jarrah, Al Harits bin Hisyam, Syarahbil bin Hasanah,Fadhl bin Abbas, Mu'adz bin Jabal, Yazid bin Abi Sufyan dan Abu Handal bin Suhail.
Sudah selayaknya kita melakukan usaha maksimal untuk mengatasi pendemi Covid-19 yang telah menelan banyak korban, dengan metode yang pernah di contohkan oleh Rasulullah dan telah terbukti berhasil. Bukan justru sibuk menghitung kerugian yang akan di tanggung, karena peran penguasa adalah untuk mengayomi rakyatnya bukan justru mengkomersialkan penderitaan rakyat untuk kepentingan segelintir orang.
Wallahu a'lam bishawab
Wallahu a'lam bishawab
Tags
Opini