Oleh : Sunarti
“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih).
Bermunculan persoalan di negeri ini bak tumbuhnya jamur di musim penghujan. Mulai dari persoalan pergaulan, persoalan pendidikan hingga persoalan ekonomi. Persoalan buruh dengan pengusaha baru-baru ini juga muncul. Negeri muslim terbesar yang menerapkan sistem ekonomi kapitalistik akan sangat rentan bermunculan persoalan yang menimpa pekerja selaku buruh, hingga rakyat jelata.
Personal tidak hanya melanda di pemerintahan pusat saja, tapi juga menyentuh pemerintah daerah. Sebut saja salah satu kabupaten di Jawa Timur, Magetan. Baru-baru ini muncul kasus buruh dengan pengusaha. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Magetan, Jawa Timur, telah menangani belasan kasus buruh pabrik yang terjadi di wilayahnya selama 2019.
"Belasan kasus buruh tersebut kami selesaikan dengan cara mediasi. Tidak ada yang sampai ke ranah hukum," ujar Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Transmigrasi, Disnakertrans Magetan, Singgih Mujoko di Magetan.
Menurut dia, dari sejumlah kasus tersebut di antaranya berupa masalah tunggakan gaji, tunggakan honor lembur, hingga penahanan ijazah oleh perusahaan tempat bekerja. Sesuai aturan, buruh diperbolehkan memberikan aduan terkait kasus ketenagakerjaan yang dihadapinya ke Dinas Tenaga Kerja setempat.
Sesuai data, jumlah buruh pabrik yang ada di Kabupaten Magetan mencapai sebayak 8 ribu orang. Mereka tersebar di wilayah yang memiliki pabrik, di antaranya di Kecamatan Barat, Kawedanan, dan Sukomoro (jatim.abtaranews.com).
Sengketa buruh dan pengusaha menunjukkan betapa sistem ekonomi kapitalistik yang berpihak pada para pemilik modal/pengusaha sangat kentara. Mulai dari kontrak kerja sepihak, gaji yang rendah, gaji lemur yang tidak dibayar hingga penahanan ijazah demi tenaga kerja/buruh menetap. Termarginalkannya para buruh, sungguh fenomena yang memprihatinkan. Kondisi perekonomian yang sulit menambah sulit kondisi para buruh.
Indonesia sebagai negara dengan sumber daya manusia yang tinggi, dijadikan lahan basah oleh para investor dimanfaatkan sebagai sumber tenaga kerja yang murah. Juga merupakan bahan baku murah. Bahan baku murah dan upah buruh yg rendah dimanfaatkan oleh pihak investor untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Terutama untuk daerah-daerah yang memiliki nilai UMR rendah, seperti Magetan dan beberapa daerah di Jawa Timur.
Solusi yang ditempuh sebenarnya cukup memberi harapan. Namun ternyata, undang-undang perburuhan dan RUU Omnibus law, yang digadang-gadang oleh pemerintah sebagai solusi akan permasalah buruh, justru berpihak kepada pengusaha dan menindas buruh. Ternyata banyak pasal yang dimanfaatkan pengusaha sebagai tameng pelegalan penindasan upah buruh.
Sejatinya banyak yang melakukan protes terhadap RUU omnibus law l, namun terasa sia-sia belaka, karena munculnya ruu tersebut berasal dari dorongan pengusaha kepada DPR.
Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi sistem kapitalis, yang siap menghisab rakyat kecil, sungguh inilah bukti mengerikan dari kenyataan jahatnya penerapan sistem ini. Sangat jelas bahwa negara tidak berpihak kepada kepentingan rakyat namun berpihak kepada kepentingan pemilik modal.
Keadaan seperti ini, bertolak belakang dengan sistem perekonomian di dalam Islam. Tenaga buruh sangat diperhartikan. Bahkan, Rasulullah memperingatkan atas nasib para pekerja/buruh. Sebagai pemilik/pengusaha harus menggaji mereka sebelum keringat mereka kering. Di dalam Islam pengusaha berhak mengambil keuntungan. Namun bukan dengan cara yang buruk dengan menzhalimi pihak yang lemah.
“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih).
Sistem ekonomi Islam hanya bisa bisa diterapkan secara sempurna, jika ada naungan sistem Islam yang sempurna pula. Dalam sistem Islam, tidak ada pengusaha yang mengambil keuntungan dan manfaat saja. Akan tetapi, tetap memperhatikan bagaimana mereka taat kepada aturan Allah SWT yang diterapkan oleh negara.
Wallahu alam bisawab
Ngawi, 19 Februari 2020