Oleh : Ummul Asminingrum
Fenomena bullying atau perundungan kini telah ramai diperbincangkan dan menjadi sorotan beberapa kalangan. Betapa tidak akibat dari kasus ini tidak main-main, banyak yang mengalami depresi, cacat fisik, hingga berujung pada kematian.
Seperti kasus yang dialami oleh seorang gadis SMP berinisial DS (13) Tasikmalaya, yang ditemukan tewas di gorong-gorong depan sekolahnya. Kasus ini masih dalam penyelidikan kepolisisan namun kuat dugaan ia telah menjadi korban perundungan. (tribunstyle.com/05/02/2020)
Kasus lain dialami oleh MS berusia 13 tahun pelajar kelas VII SMPN 16 Kota Malang. Ia dibully oleh tujuh teman sekolahnya hingga jari tengahnya harus diamputasi. (cnnindonesia.com/11/02/2020)
Tak hanya dialami oleh siswa SMP kasus bullying atau perundungan juga dilakukan oleh siswa SD. Seperti yang dialami oleh RS 12 tahun seorang pelajar kelas 6 SD Negeri di wilayah Kecamatan Wonosari, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Ia mengalami depresi berat selama 2 tahun. RS dibully oleh teman-taman sekelasnya sejak kelas 4 SD. Ia pernah disekap di dalam kelas, dijambak rambutnya, diludahi, disiram air dan kekerasan lain. Hingga ia tak mau sekolah lagi. (kompas.com 08/10/2019)
KPAI mencatat dalam kurun waktu sembilan tahun dari 2011 sampai 2019, ada 37.381 pengaduan. Untuk kasus Bullying baik di dunia pendidikan maupun di sosial media mencapai 2.473 laporan.
Melihat banyaknya kasus, dan akibat negatif yang ditimbulkan patut dikatakan bahwa fenomena bullying saat ini telah menjadi problem masif bangsa ini. Bisa dikatakan problem ini bagaikan gunung es. Artinya, masih sedikit yang terlihat di permukaan karena dilaporkan, sementara di bawahnya masih tersimpan kasus-kasus lain yang besar tetapi tidak dilaporkan.
Kondisi seperti ini semestinya menyadarkan kita bahwa pembangunan Sumber Daya Manusia dengan landasan pendidikan sekuler pasti menuai kegagalan.
Sebab dalam sistem pendidikan sekuler, anak hanya dibekali dengan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan sains dan teknologi saja, tanpa mengaitkan semua itu dengan agama.
Sekularisasi pendidikan di Indonesia dimulai sejak adanya dua kurikulum pendidikan yang dikeluarkan oleh dua departemen yang berbeda, yaitu Departemen Agama (Depag) dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud).
Dalam kurikulum tersebut terdapat kesan yang sangat kuat bahwa ilmu-ilmu kehidupan (iptek) adalah sesuatu yang bebas nilai, sehingga sama sekali tidak berdasarkan nilai agama. Kalaupun ada hanyalah sekedar etika. Sementara pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan, justru kurang digarap secara serius dalam praktik dunia pendidikan kita.
Sejarah Sekularisasi pendidikan ini dimulai di dunia Barat sejak abad ke 15 dan 16. Yaitu ketika terjadi pemisahan cabang-cabang ilmu sekuler dengan cabang-cabang ilmu yang bersumber dari agama. Cabang-cabang ilmu tersebut dikatakan terputus sama sekali dan tidak ada kaitannya dengan persoalan Illahiyah. Dan hanya bersumber dari akal manusia semata, tanpa ada kaitan dengan agama.
Sekularisasi pendidikan ini terus berproses, hingga akhirnya mendorong munculnya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang dikategorisasikan pada tahun 1957 oleh para rektor universitas yang ada di Amerika Serikat. Cabang-cabang ilmu tersebut saat ini yang kita kenal dengan ilmu-ilmu sastra, Ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam. Penggolongan ini kemudian menjadi populer tidak hanya di Amerika Serikat dan Eropa tetapi terus berkembang merambah ke negeri-negeri muslim termasuk Indonesia.
Sedangkan peningkatan prestasi akademik siswa di sekolah, tidak akan bisa menjadi jaminan kemampuan mereka mengatasi masalah pribadi dan interaksi dengan lingkungan. Sebab prestasi itu hanya dinilai dari angka-angka yang minim penanaman budi pekerti. Begitu pula mental mereka tidak terbentuk menjadi mental juara, melainkan mental para pecundang yang asal main tendang. Jiwa mereka juga rapuh dan goyah sebab tak terisi dengan nilai ruhani dari sang Illahi.
Selain akibat dari Sekularisasi pendidikan, fenomena bullying ini terjadi akibat pendidikan keluarga yang kurang memadai. Ditambah media sosial yang kian liberal, memberikan tontonan abnormal dan kadang diluar nalar.
Untuk memperbaiki kondisi ini diperlukan pembenahan secara revolusioner. Artinya, tidak hanya perbaikan yang tambal sulam. Namun menyeluruh dari hal yang paling mendasar. Kehadiran negara yang memiliki seperangkat aturan komplit dan solutif sangat dibutuhkan. Islam dan syariatnyalah yang mampu menyelesaikan semua problem yang ada. Semua itu bisa diatasi dengan kebijakan sistemik negara yang membangun kepribadian utuh generasi melalui sistem pendidikan, penataan media dan pendidikan keluarga.
1. Sistem Pendidikan Islam.
Secara paradigmatik, pendidikan harus dikembalikan pada asas Islam. Dalam pendidikan Islam, akidah Islam menjadi dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan. Penyusunan kurikulum dan standar nilai ilmu pengetahuan. Proses belajar mengajar, termasuk penentuan kualifikasi guru. Budaya sekolah yang akan dikembangkan, meskipun pengaruhnya tidak sebesar unsur pendidikan yang lain. Serta penyediaan sarana dan prasarana yang mengacu pada asas Islam.
Pendidikan yang berdasarkan akidah Islam harus berlangsung secara berkesinambungan pada seluruh jenjang pendidikan yang ada, mulai dari TK hingga perguruan tinggi. Sementara orientasi atau hasil output anak didik dari pendidikan Islam, akan mencerminkan tiga hal berikut:
a). Syakhsiyah Islamiyah atau Kepribadian.
Kepribadian itu terbentuk dari pola sikap (nafsiyah) dan pola pikir (aqliyah). Nafsiyah adalah cara yang digunakan seseorang untuk memenuhi tuntutan (gharizah) naluri dan (hajatul udhawiyah) kebutuhan jasmani.
Sedangkan aqliyah adalah cara yang digunakan untuk memikirkan sesuatu. Yaitu cara mengeluarkan keputusan hukum tentang sesuatu apakah itu halal, haram, mandub atau yang lainnya. Keduanya harus berasaskan Islam.
b). Penguasaan Tsaqofah Islam.
Tsaqofah Islam adalah pengetahuan-pengetahuan yang menjadikan akidah Islam sebagai sebab dalam pembahasannya. Pengetahuan tersebut bisa mengandung akidah Islam dan membahas tentang akidah, seperti ilmu tauhid. Bisa juga pengetahuan yang bertumpu pada akidah Islam seperti fikih, tafsir dan hadis. Juga pengetahuan yang terkait dengan pemahaman yang terpancar dari akidah Islam berupa hukum-hukum Islam. Seperti pengetahuan yang mengharuskan ijtihad dalam Islam, seperti ilmu bahasa Arab, musthalah hadis, dan ilmu ushul. Semuanya termasuk tsaqofah Islam. Karena akidah Islam menjadi sebab dan pembahasannya.
c). Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Keterampilan.
Dalam sistem pendidikan Islam anak didik tetap dibekali dengan ilmu-ilmu pengetahuan seperti Ilmu hitung atau matematika, Berbagai macam ilmu bahasa. Ilmu -ilmu alam dan ilmu sosial. Namun semua tidak bebas nilai, harus tetap dikaitkan dengan agama.
Mengenai teknologi Islam juga sangat menganjurkan umatnya untuk mempelajari dan menguasai teknologi. Namun, tetap semua itu harus dalam koridor dan batas-batas yang tidak melanggar aturan syariat. Kemajuan sains dan teknologi sangat dianjurkan untuk memudahkan dakwah dan membantu berbagai kegiatan manusia.
Begitu halnya dengan keterampilan. Anak didik tetap dibekali dengan keterampilan baik itu yang berkaitan dengan sastra ataupun yang lainnya. Seperti mengembangkan potensi dalam hal seni tulis, kaligrafi, fotografi, bahkan seni peran asal tidak terjadi ikhtilat boleh dalam Islam.
2. Penataan Media
Dalam negara Islam penataan media ini diatur oleh Direktorat Penerangan (Daa'irat I'lamy) yang merupakan instansi negara yang diberi kewenangan khusus oleh Khalifah untuk mengkomunukasikan program dan agenda pemerintahan kepada seluruh rakyat serta sebagai lembaga dakwah Islam oleh negara kepada umat manusia di dunia secara mandiri.
Negara khilafah mengeluarkan UU tentang garis-garis umum politik negara dalam mengatur media informasi seauai dengan ketentuan hukum-hukum syariah. Didalam negara Islam tidak ada tempat bagi pemikiran -pemikiran rusak atau menyesatkan.
Media Islam memberikan suguhan yang menyehatkan bagi pembentykan kepribdian generasi Islam. Mendorong pembentukan fisik mereka menjadi generasi yang kuat. Media Islam juga menghadirkan gambaran keteladanan generasi-generasi sukses dalam peradaban.
Karenanya tidak ada tontonan yang melenakan berupa film atau games yang membuat kecanduan. Juga terlarang muncul di media konten-konten porno dan kekerasan baik dengan pelaku manusia atau kartun/animasi. Tidak ada tokoh-tokoh khayalan dengan kekuatan super yang merusak akidah. Demikian peran media massa dalam Islam. Keberadaannya benar-benar mewujudkan fungsinya sebagai sarana informasi, edukasi, persuasi dan hak berekspresi publik dalam rangka amar ma'ruf nahi munkar.
3. Pendidikan Keluarga
Keluarga adalah tempat pertama bagi setiap manusia untuk memahami makna hidup. Keluarga menjadi tempat pembinaan generasi. Sehingga peran orang tua menjadi sangat penting dan menjadi kuci kesuksesan kekuarga, masyarakat hingga bangsa. Tidak hanya itu kesuksesan keluarga keluarga membina generasi akan membawa pengaruh pada pembentukan oeradaban dunia. Sebab dalam keluarga anak mendapat pendidikan pertamanya.
Dalam pembentukan sebuah keluarga yakni sejak pernikahan, akidah Islam harus menjadi asasnya. Selanjutnya menentukan visi dan misi setiap anggota keluarga dalam mengarungi kehidupan. Tiap anggota keluarga harus menjadikan Islam dan syariatnya sebagai solusi terhadap seluruh permasalahan yang terjadi dalam kehidupan keluarga. Halal dan haram dijadikan sebagai landasan dalam berbuat bukan hawa nafsu.
Bila Islam dan syariatnya diterapkan dalam naungan negara insyallah semua masalah akan mampu terselesaikan tanpa menambah masalah berikutnya. Termasuk fenomena bullying yang menyasar remaja akan terselesaikan dengan kehadiran negara yang menerapkan aturanNya.
Wallahu'alam bishawab.
Tags
Opini