Oleh: Nur Elmiati
Aktivis Dakwah Kampus dan Member Akademi Menulis Kreatif
Mahkamah Agung (MA) mengabulkan Judicial Review (JR) Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 24 Oktober 2019. Judicial review ini diajukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI) yang keberatan dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
MA membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang tertuang dalam pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres Nomor 75 tahun 2019. Pada aturan baru itu, iuran peserta mandiri terdiri dari kelas III mencapai Rp42.000,00 per orang per bulan, kelas II sebesar Rp110.000,00 per orang per bulan, dan kelas I Rp160.000,00 per orang per bulan. Sementara dalam aturan lama, yakni Perpres Nomor 82 Tahun 2018, iuran kelas III hanya Rp25.500,00 per orang per bulan, kelas II sebesar Rp51.000,00 per orang per bulan, dan kelas I Rp80.000,00 per orang per bulan. (CNN Indonesia.co, 10/03/20)
Dalam putusannya, MA menyatakan pasal 34 ayat (1) dan (2) bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28 H, dan pasal 34 Undang-undang Dasar 1945. Selain itu juga bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 4 huruf b, c, d, dan e, Pasal 17 ayat (3) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Kemudian juga bertentangan dengan Pasal 2, pasal 3, Pasal 4 huruf b, c, d, dan e, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, serta Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 171 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. (CNCBIndonesia.co, 10/03/20)
Rakyat Indonesia bagaikan simalakama yang dilema terhadap kebijakan pemerintah tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Bagaimana tidak? Pasalnya, BPJS naik 2 kali lipat, rakyat semakin sengsara dan BPJS batal naik pun rakyat tetap sengsara.
Namun, melihat keputusan MA yang membatalkan kenaikan iuran BPJS yang sudah mulai berlangsung sejak Januari lalu, ini merupakan suatu hal yang patut disyukuri bagi rakyat Indonesia karena iuran BPJS tidak naik 2 kali lipat. Akan tetapi bukan berarti beban BPJS yang ditanggung rakyat Indonesia hilang sepenuhnya.
Nampaknya eksistensi BPJS bukan sebagai pelayanan kesehatan bagi rakyat, tetapi sebagai komersialisasi yang menjadikan rakyat sebagai komoditi bisnis. Dan ini terbukti sekali bagaimana sistem pengelolaan dari BPJS. BPJS menggunakan sistem asuransi sosial (social insurance). Dimana rakyat sebagai nasabahnya. Peserta BPJS pun wajib membayar premi tiap bulan, baik dalam keadaan sehat maupun dalam keadaan sakit.
Padahal, sejatinya BPJS hadir sebagai bentuk kepedulian negara terhadap kebutuhan vital rakyat Indonesia. Akan tetapi nyatanya menjadi alat pemerintah untuk memalak rakyat. Hal ini bisa dilihat bagaimana kebijakan pemerintah yang menetapkan premi terhadap pengguna BPJS, dan mau tidak mau, suka tidak suka rakyat dalam pemenuhan kesehatanmya, harus membayar premi secara regular kepada badan yang ditetapkan undang-undang.
Ini membuktikan bahwa BPJS bukanlah jaminan layanan kesehatan bagi rakyat, karena sumber pemasukannya mengandalkan iuran dari rakyat. Dengan berkaca pada faktanya, secara substansi pemerintah memalak rakyat dan dengan sengajanya mengeksploitasi kebutuhan vital rakyat.
Keputusan MA mendapat tanggapan dari berbagai kalangan termasuk Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Jawa Timur, dr Dondo Anondo memastikan iuran BPJS batal naik tidak akan berdampak pada pelayanan rumah sakit. Melirik dari tanggapan dr. Dondo Anondo lantas pertayaannya, benarkah kesehatan rakyat masih terjamin? Jelas tanggapan ini mengalami kontradiksi dengan tanggapan Sri Mulyani selaku menteri keuangan yang mengatakan bahwa keputusan MA memiliki konsekuensi besar pada program Jaminan Kesehatan Nasional dan ketahanan BPJS Kesehatan terancam.
Artinya, dampak dari defisit BPJS akan berimbas pada pelayanan kesehatan rakyat. Hal ini bisa dilihat bagaimana kinerja BPJS, dimana metode pembiyaan yang diadopsi BPJS adalah metode proaktif. Jenis tindakan, obat, dan bahan habis pakai untuk penyakit telah ditetapkan tarifnya dalam bentuk paket. Paket-paket tersebut dikompilasi dalam perangkat lunak yang disebut Indonesian Case Base Groups (INA-CBG’s). Implementasi INA-CBG’s sendiri didanai oleh Australian Agency For International Development (AusAID).(sumber, Al-Wa’ie)
Di tengah defisitnya BPJS, otomatis pelayanan kesehatan akan semakin minim dan terbatas. Seperti halnya layanan kesehatan dan obat disesuaikan dengan paket yang telah ditetapkan software. Kemudian tidak memberikan obat yang dibutuhkan, membatasi fasilitas, dan waktu pelayanan kesehatan bagi pasien. Pasien akan mengeluarkan biaya tambahan untuk menebus obat yang dibutuhkan karena tidak tertera dalam paket yang ditetapkan INA-CBG’s dan sebagainya. Dan rakyat akan tetap mengalami hal yang serupa sejak BPJS digadang-gadangkan sebagai pelayanan kesehatan ala pemerintah. BPJS yang dianggap sebagai bentuk kepedulian negara terhadap kebutuhan vital rakyat Indonesia tapi nyatanya menjadi mimpi buruk bagi rakyat Indoneisa, bak minum susu tapi rasa ketuba.
Dengan berbagai pelik persoalan rakyat terhadap pelayanan publik yaitu kesehatan, maka sesungguhnya BPJS bukanlah solusi pelayanan kesehatan bagi rakyat, tetapi bentuk pengekploitasian terhadap layanan kesehatan. Lantas layanan kesehatan seperti apa yang dibutuhkan?
Islam menjadi solusi atas berbagai peliknya pelayanan kesehatan yang sedang membelit rakyat. Islam hadir memberikan fasilitas yang mumpuni serta pelayanan kesehatan yang sangat efesien. Dalam hal ini, Islam memandang bahwa kesehatan merupakan salah satu kebutuhan vital masyarakat yang pelayanannya dijamin oleh negara. Layanan kesehatan masyarakat adalah layanan yang sifatnya darurat, eksistensinya wajib untuk disediakan negara.
Jaminan pelayanan kesehatan rakyat memungkinkan setiap individu rakyat bisa mengakses layanan kesehatan terbaik secara gratis, membutuhkan sistem pemerintahan dan kebijakan yang benar. Dan sistem pemerintahan yang sahih adalah sistem pemerintahan Islam dalam bingkai daulah khilafah, dengan penerapan kebijakan yang benar yaitu berstandar pada Islam. Khilafah menjamin dan bertanggung jawab sepenuhnya dalam penyediaan fasilitas kesehatan yang memadai. Khilafah juga akan mengerahkan dokter dan tenaga medis yang profesional untuk memberikan layanan kesehatan yang maksimal.
Khilafah juga akan membentuk badan-badan riset untuk mengidentifikasi berbagai macam penyakit-penyakit beserta penangkalnya. Ini menandakan bahwa khilafah mengerahkan pelayanan terbaik dalam layanan kesehatan.
Ini bisa dilihat pada masa keemasan Islam, Bani ibn Thulun di Mesir memiliki masjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat mencuci tangan, lemari tempat penyimpanan minuman, obat-obatan, dan dilengkapi dengan tenaga ahli medis (dokter) untuk memberikan pengobatan gratis.
Pada masa Khalifah Bani Ummayah banyak membangun rumah sakit yang disediakan untuk orang yang terkena lepra dan tuna netra. Dan pada masa Khalifah Bani Abbasyiah banyak mendirikan rumah sakit di Bagdad, Kairo, Damaskus, dan mempepolurkan rumah sakit keliling.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Tags
Opini
Mantap
BalasHapus