Oleh: Ummu Diar
Apa yang berkaitan dengan Islam selalu menjadi hal seru untuk dibicarakan. Tak terkecuali dalam hal busana muslimah. Belakangan busana muslimah kembali dipersoalkan di dunia maya. Entah terpicu hembusan angin darimana, bertengger hasthag yang intinya mengajak mereka yang biasa menutup aurat untuk melepaskannya dan memposting foto terbuka di hari itu. Kampanye ini adalah puncak dari keresahan kelompok tertentu akan banyaknya wanita berhijrah kemudian berhijab secara sempurna.
Belakangan dunia maya juga sempat dihebohkan dengan aksi public figure berinisial TB yang memposting foto tanpa busana, sebagai salah satu reaksinya atas penolakan terhadap body shaming. Beragam komentar muncul setelahnya, dan tentu berbeda pendapat. Yang memahami aksi demikian sebagai bentuk kebebasan berekspresi akan mendukung dengan alasan bagian dari seni. Yang sebagian lagi tentu akan menolak sebab masuk ke ruang porno yang tidak dibenarkan.
Keanehannya adalah dukungan terhadap aksi porno ramai sedangkan dukungan terhadap aksi menutup diri dengan busana muslimah justru mendapat tanggapan bernuansa penolakan. Keanehan ini membuktikan bahwa cengkeraman liberalisasi pemikiran telah mengakar kuat. Kebebasan telah menjadi standar dalam menilai baik buruknya perbuatan. Semuanya dikarenakan dalam ruang publik aturan Allah telah disisihkan, sehingga tidak dipakai sebagai tolak ukur perbuatan.
Atas nama kebebasan mereka mengopinikan bahwa badan wanita adalah keindahan, tak layak ditutupi dan disembunyikan. Kemudian mereka menentukan standar idealnya, mereka buat aneka kontes untuk mendapatkan yang terbaik. Nasib yang kondisinya diluar dari standar itu menjadi sasaran empuk untuk dibincangkan, body shaming pun terjadi. Yang tidak sepaham dengan semua ini kemudian membuat aksi tandingan, namun lagi-lagi karena tidak menjadikan standar Islam sebagai paramaternya, solusinya tidaklah menuntaskan.
Kungkungan atas batasan ideal itu sejatinya diciptakan sendiri, namun tak jarang yang kena getahnya tetap Islam. Padahal Islam justru membebaskan peluang body shaming dan sejenisnya dengan adanya aturan berbusana, menutup aurat. Dengan mematuhi aturan Allah dalam menjaga badan, tak akan ada mata yang bebas menilai setiap inci badan berdasarkan standar ideal ala manusia. Setiap orang akan dimuliakan, bukan sebaliknya.
Maka tak ada jalan lain bagi muslimah untuk terus dan terus menguatkan barisan agar tetap taat. Harus saling menguatkan satu sama lain bahwa menutup aurat adalah kewajiban yang tak perlu didebat. Dalam ajaran Islam berlaku kewajiban menutup aurat bagi pria dan wanita. Batasan aurat pada tubuh pria dan wanita menurut Islam di antaranya dijelaskan oleh Muhammad bin Ahmad asy-Syasyiy, “Aurat laki-laki adalah antara pusat (pusar) dan lutut. Lutut dan pusar bukanlah termasuk aurat. Pendapat semacam ini dipegang oleh Imam Malik dalam sebuah riwayat dari Ahmad. Sebagian golongan dari kami berpendapat, pusar dan lutut termasuk aurat. Adapun aurat wanita adalah seluruh badan, kecuali muka dan kedua telapak tangan.” (Asy-Syasyiy, Haliyat al-‘Ulama, 2/53).
Wanita Muslimah wajib berjilbab dan berkerudung berlaku manakala keluar dari rumah menuju kehidupan umum. Jilbab berbeda dengan kerudung (khimar). Kewajiban mengenakan khimar didasarkan pada QS an-Nur [24] ayat 31. Menurut Imam Ibnu Mandzur di dalam kitab Lisan al-‘Arab: Al-Khimar li al-mar’ah: an-nashif (khimar bagi perempuan adalah an-nashif [penutup kepala]). Menurut Imam Ali ash-Shabuni, khimar (kerudung) adalah ghitha’ ar-ra’si ‘ala shudur (penutup kepala hingga mencapai dada) agar leher dan dadanya tidak tampak.
Adapun kewajiban berjilbab bagi Muslimah ditetapkan berdasarkan firman Allah SWT pada QS al-Ahzab [33] ayat 59. Di dalam Kamus Al-Muhith dinyatakan, jilbab itu seperti sirdab (terowongan) atau sinmar (lorong), yakni baju atau pakaian longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutup pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung. Dalam Kamus Ash-Shahhah, al-Jauhari mengatakan, “Jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut dengan mula’ah (baju kurung/gamis).”
Kewajiban ini diperkuat oleh riwayat Ummu ‘Athiyyah yang berkata: Pada dua hari raya kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haid dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum Muslim dan doa mereka. Namun, wanita-wanita haid harus menjauhi tempat shalat mereka. Seorang wanita bertanya, “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar)?” Lalu Rasul saw. bersabda, “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.” (HR Muslim).
Demikianlah aturan berbusana yang Islam standarkan. Menjalani kehidupan sehari-hari dengan balutan busana syar’i adalah bentuk ketundukan muslimah pada Allah dan RasulNya. Wujud kepatuhan agama yang menutup celah body shaming. Maka, hanya dengan taat kemuliaan dan harga diri wanita didapat.[]