Oleh: Eqhalifha Murad
Kali ini saya akan menyoroti tentang tragedi anak-anak pramuka yang baru-baru ini terjadi. Ratusan luka-luka dan beberapa meninggal dunia, ketika mengikuti kegiatan susur sungai di Kali Sempor, Sleman, Jogjakarta, jum'at 21 Februari lalu. Hujan deras di hulu sungai mendatangkan aliran air sungai yang dahsyat sehingga menghanyutkan dan menenggelamkan mereka, Jogja.tribunnews.com 22/02/2020.
Sebagai orang yang dalam istilah pramuka "Sudah banyak terminum air kacu (dasi/pita leher) pramuka", dari tingkat siaga sampai pandega, tentunya tragedi tersebut sangat menyentakkan hati. Beberapa pelajaran bisa diambil dari kejadian ini. Pertama, apapun usaha kita untuk lari dari kematian namun apabila sudah waktunya ajal itu datang, maka kematian tidak bisa dihindarkan. Jika ajal belum datang menjemput, biar dihantam tsunamipun tidak akan meninggal saat itu tetap selamat lantaran belum ajalnya atau belum waktunya meninggal.
Kedua, tanggung jawab pembina pramuka yang tertuang didalam Tri Satya dan Dasa Dharma Pramuka, tentu dipegang oleh mereka. Namun sayang kejadian tersebut diluar kekuasaan para pembina selaku manusia biasa. Kalaulah ada ikhtiar untuk mencegahnya karena dari keterangan saksi bahwa sebelumnya sudah turun hujan gerimis, tetap kematian tidak bisa dicegah. Pun jika tidak ada ikhtiar pencegahan, tidak bisa dikatakan bahwa itu adalah faktor kesengajaan. Ini murni faktor kecerobohan yang fatal.
Ketiga, Pasal 359 dan 360 KUHP yang dikenakan kepada para pembina yang tak lain adalah para guru, memungkinkan aparat polisi untuk melakukan tindakan yang bisa dikatakan sangat mencolok perhatian publik. Para guru tersebut digunduli kepalanya dan digelandang bagaikan residivis kelas kakap. Lucunya perlakuan ini tidak diberlakukan terhadap para koruptor, yang telah merugikan negara dan rakyat.
Masyarakat bisa menyaksikan di layar kaca bagaimana ekspresi mereka yang seolah-olah tidak merasa bersalah dan tidak tahu malu. Aparat dalam hal ini membuat perlakuan yang berbeda terhadap tersangka. Kalaupun akhirnya ada klarifikasi dari pihak kepolisian setempat dan tersangka sendiri mengaku meminta untuk digunduli kepalanya. Dengan alasan agar tidak terlalu dikenali masyarakat lantaran malu. Ini lebih menggelikan, seandainya para koruptor juga mempunyai rasa malu dengan perbuatannya yang disengaja, itu mungkin lebih baik. Dibanding rasa malu para guru terhadap perbuatan yang tidak sengaja dilakukan.
Islam mempunyai sistem sanksi yang berkeadilan, tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Hukuman terhadap orang yang melakukan kelalaian sehingga menghilangkan nyawa orang lain tetap di kenakan sanksi dan tergantung dari keridaan keluarga korban. Jika keluarga korban tetap menuntut, hakim akan memutuskan sanksi sesuai kadar pelanggaran yang dilakukan.
Jika keluarga korban memaafkan maka membayar Diyat, QS. An-Nisa 92: "...Dan barang siapa membunuh seorang mu'min dengan tidak sengaja (hendaklah) ia memerdekakan seorang budak yang beriman serta membayar Diyat yang diserahkan kepada keluarganya kecuali jika mereka bersedekah (tidak mengambilnya)..."
Keempat, pramuka adalah kegiatan yang memandu dan mengasah karakter kepemimpinan, intelijensi, penyelidikan, kemandirian, ketangkasan, keterampilan, petualangan dan pengembaraan di alam terbuka. Pelopornya Lord Robert Baden Powell dari Inggris sebagai Bapak Pandu Sedunia. Praktek Kepanduan ini masuk ke Indonesia sekitar era 50 an. Bahkan organisasi Kepanduan Indonesia diklaim ikut berpartisipasi membela perjuangan Indonesia sesudah masa kemerdekaan dari rongrongan luar dan dalam negeri.
Ketika organisasi Kepanduan Indonesia masuk dalam partai politik, Presiden Soekarno membubarkan semua organisasi Kepanduan. Karena dianggap telah keluar dari tujuan Kepanduan. Kemudian dibentuklah Pramuka (Praja Muda Karana), artinya pemuda terdepan berkarya. Pramuka dikembalikan ke masyarakat menjadi organisasi yang diakui pemerintah. Seragam pramuka dijadikan salah satu seragam resmi sekolah.
Menjadi anggota pramuka memungkinkan anggotanya merasakan nasionalisme yang cukup tinggi. Tapi karena berasal dari konsep barat, spirit kerohaniannya kurang ditonjolkan. Islam sendiri dalam membina kader kepemimpinan juga mempunyai sistem yang khas. Rasulullah bersabda:" Ajarkanlah anak-anakmu berenang, berkuda dan memanah." Mentadaburi alam dan menghidupkan malam dengan ibadah sunah serta merenungi penciptaan alam semesta.
Kepanduan yang menggambarkan suasana berkemah, petualangan dan pengembaraan telah dicontohkan juga dalam safarnya para musafir dan mujahid. Rasa keterikatan kepada spirit Islam inilah yang tidak ditemukan diagenda kepanduan selama ini. Seorang muslim yang baik akan meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat untuknya. Saya tidak mengatakan bahwa kegiatan pramuka tidak bermanfaat, karena saya sendiri sampai sekarang masih merasakan hasil dari digembleng di sini.
Saya ingin menyampaikan terutama kepada sekolah-sekolah Islam yang mengadopsi kepanduan disekolahnya agar menambahkan spirit agama (Islam) dalam kegiatannya. Agar dihitung ibadah, sehingga apabila terjadi peristiwa yang tidak diinginkan semua pihak bisa menerimanya dengan kesabaran. Pemisahan anggota pramuka putra dan putri agar tidak terjadi ikhtilat (campur baur) dipahami sebagai suatu hal yang wajib dilakukan bagi muslim. Bukan sekedar pemisahan kelompok gender saja.
Kelima, pendidikan kepemimpinan sejatinya adalah tanggung jawab negara. Negara wajib mencetak generasi pemimpin yang tidak sekuler, memisahkan agama dari kehidupan. Karena pemuda adalah pewaris negara. Sedangkan agama dan negara ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Wallahu'alam.
*(Eks aktivis dan pembina pramuka, peserta Comunity Development Camp / COMDECA Internasional di Malang)
Tags
Opini