Atasi Korupsi dengan Syariah


Oleh: Ummu Razzan

(Pemerhati Sosial dan Politik)



Pada Kamis, 20 Februari 2020, sejumlah pejabat di kantor Kejari Kabupaten Jawa Barat menandatangani  fakta integritas dalam perencanaan Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM). Harapan dari kebijakan ini agar para staf dan pegawai di lingkungan kejari Kabupaten Bandung tidak melakukan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme/KKN (kejari-bandungkab.go.id, 24/02/20).

Kebijakan ini muncul bukan tanpa alasan. Transparency International Indonesia (TII) mengumumkan hasil penelitian mereka tentang Indeks Persepsi Korupsi (IKP) yang menyatakan Indonesia berada di peringkat empat di antara negara-negara Asia Tenggara. Poin terendah ada pada penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat eksekutif, yudikatif, legislatif, militer, dan kepolisian (tempo.co, 23/1/2020).

Terjeratnya pihak-pihak dari tiga pilar demokrasi yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif tak lepas dari sistem politik demokrasi. Sistem ini berbiaya tinggi. Ketika seseorang akan menjadi pemimpin, maka ia harus menyiapkan modal yang tidak sedikit. Mendagri, Tito Karnavian menyebutkan bahwa seorang calon bupati harus menyiapkan modal paling sedikit sebesar 30 miliar rupiah (wartakota.tribunnews.com, 7/11/2019). Sedangkan gaji seorang bupati berkisar 6 juta rupiah per bulan. Pertanyaannya, dari mana modal itu?

Indonesian Corruption Watch (ICW) pernah menyebut, munculnya kasus-kasus korupsi sangat terkait dengan keberadaan para investor yang bermain dalam setiap momentum pemilihan para pejabat negara, termasuk anggota dewan. ICW mencatat sebanyak 254 anggota dan mantan anggota DPR dan DPRD periode 2014-2019, terjerat kasus korupsi. Sementara pada  kepala daerah tercatat 104 orang terjerat kasus korupsi sejak 2004–2018 (tribunnews.com, 19/12/2020).

Pemberantasan korupsi dengan perancangan WBK dan WBBM tidak bisa menjadi solusi penanganan korupsi. Hampir semua koruptor adalah orang–orang berkecukupan. Mungkin tidak ada koruptor yang miskin. Termasuk juga para staf dan pegawai lingkungan pemerintah yang notabene memiliki penghasilan yang lebih dari cukup. Tetapi mengapa masih saja mau korupsi?

Ternyata sistem kapitalis sekuler sebagai ibu kandung sistem politik demokrasi adalah sumber masalahnya. Sistem demokrasi telah mengesampingkan pertanggungjawaban kepada Allah SWT. Rasa takut para aparatur negara kepada Allah telah luntur dengan semboyan “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Tidak melibatkan Tuhan di dalamnya. 

Wajar jika gratifikasi dan penyalahgunaan kekuasaan menjadi pemandangan ‘lazim’ sehari-hari. Dalam perkembangannya, administrasi negara dimodifikasi sedemikian rupa agar korupsi menjadi tampak sah. Di samping itu hukum pun dibuat untuk melindungi aparatur negara dan bisa menghasilkan pundi-pundi uang. Sehingga efek jera pun tak terasa dalam sanksi yang diputuskan di pengadilan. Dengan harga tertentu, para koruptor terpidana bisa mendapatkan fasilitas AC di dalam sel dengan kulkas, kasur pegas untuk terapi serta TV berlayar lebar. Banyak koruptor terpidana yang masih memegang posisi tinggi saat ditahan dan memiliki pengaruh politik yang sangat besar meski sedang berada di balik jeruji penjara (the convention, 27/7/2018).

Jika kita menilik pada Islam,  dien ini adalah  satu-satunya yang memberikan rincian keharaman hukum seputar harta yang didapat dengan kecurangan. Khusus untuk para pejabat, Islam telah menetapkan sejumlah aturan yang melarang mereka mendapatkan harta di luar pendapatan mereka dari negara. 

Pertama: Islam mengharamkan segala bentuk risywah (suap), apapun tujuannya. Sesuai arahan dari as-Sunnah:

Rasulullah saw. telah melaknat penyuap dan pemberi suap (HR at-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Kedua: Dalam Islam, pejabat negara juga dilarang menerima gratifikasi (hadiah). Nabi saw. pernah menegur seorang amil zakat yang beliau angkat karena terbukti menerima hadiah saat bertugas. 

Ketiga: Termasuk dalam kategori kekayaan gelap dalam Islam adalah yang didapatkan dari komisi dengan kedudukan sebagai pejabat negara. Sayangnya, dalam dunia bisnis kapitalis sudah menjadi kemestian jika pengusaha harus memberikan komisi kepada para pejabat agar mereka mendapatkan proyek. 

Keempat: Islam menetapkan bahwa korupsi adalah salah satu cara kepemilikan harta haram. Korupsi termasuk tindakan kha’in (pengkhianatan). 

Atas yang demikian, Islam memberikan sejumlah hukuman berat kepada pelaku korupsi, suap, dan penerima komisi haram. Dalam sistem pidana Islam, pelaku suap, korupsi atau penerima gratifikasi juga bisa diberi sanksi penjara hingga hukuman mati. Pada masa Rasulullah saw. pelaku kecurangan seperti korupsi, selain harta curangnya disita, pelaku diumumkan kepada khalayak. 

Pemberantasan korupsi dalam Islam menjadi lebih mudah dan tegas karena dibingkai dalam institusi dan masyarakat yang dibangun atas dasar ketakwaan. Hukumnya pun berasal dari wahyu, bukan dari hawa nafsu manusia seperti yang diterapkan dalam sistem saat ini. Dalam sistem demokrasi, hukuman untuk koruptor bisa diubah sesuai kepentingan. Karena itu, sudah saatnya umat kembali ke pangkuan syariah Islam yang datang dari Allah, sang Pemilik Alam Semesta. 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak