Antara UU Ketahanan Keluarga dan Kenaikan Angka Keretakan Keluarga




Oleh: Tri S, S.Si
(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)

Tren perceraian di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya. Pada 2018, angka perceraian Indonesia mencapai 408.202 kasus, meningkat 9% dibandingkan tahun sebelumnya. Penyebab terbesar perceraian pada 2018 adalah perselisihan dan pertengkaran terus menerus dengan 183.085 kasus. Faktor ekonomi menempati urutan kedua sebanyak 110.909 kasus. Sementara masalah lainnya adalah suami/istri pergi (17,55%), KDRT (2,15%), dan mabuk (0,85%). Salah satu kriris keluarga yang tertuang dalam RUU Ketahanan Keluarga adalah perceraian sebagaimana dalam Pasal 74 ayat 3c. Pemerintah daerah juga wajib melaksanakan penanganan krisis keluara karena perceraian dalam Pasal 78 RUU Ketahanan. (kata data.co.id, 20/02/2020).

Apa sih tujuan sebuah pernikahan? Apa hanya untuk menyalurkan kepuasaan seksual ataupun hanya untuk melestarikan keturunan. Tentu saja itu pemikiran yang begitu dangkal, tidak ada salahnya dari tujuan tersebut.
Dari jawaban tersebut hanya menjawab untuk hal terkait duniawi. Sedangkan untuk jawaban akhirat tentu saja untuk menciptakan keluarga yang berintegritas Islami. Dengan begitu, seharusnya ada kesadaran bahwa pernikahan bukan hanya sekedar itu saja. Sebuah pernikahan guna membentuk keluarga yang sakinah mawaddah warahmah, darisini saja sudah jelas apa tujuannya.

Sebuah keluarga yang tercipta dari pernkahan yang sah, guna untuk memberikan ketenangan, kedamaian dan kenyamanan. Maka, perlu adanya aturan yang dapat membantu dalam mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Tentu saja berbagai upaya yang dilakukan, seperti melalui KUA dengan adanya pelatihan calon pengantin.

Sekarang ini terdapat sebuah usulan yang mengaitkan dalam pembentukan ketahanan keluarga dari beberapa individu DPR, namun hal itu mendapatkan berbagai kontra dari banyak pihak. Usulan tersebut, yaitu Rancangan Undang-undang tentang Ketahanan Keluarga yang isinya cukup mengejutkan mulai dari ancaman pidana bagi pendonor sperma dan ovum hingga praktik sewa rahim.

Mengatur urusan rumah tangga dengan serangkaian tugas dan kewajiban untuk suami istri, sampai wajib lapor buat orang-orang yang berperilaku seks menyimpang. Gagasan ini sebagaimana diungkapkan Netty Prasetiyani (anggota DPR), untuk melindungi keluarga-keluarga demi “mewujudkan peradaban Indonesia”.

Beberapa poin yang diperdebatkan pertama, mengenai penyuka sejenis wajib direhabilitasi Pasal 85 meliputi, rehabilitasi sosial, rehabilitasi psikologis dan rehabilitasi medis. Dimana sekarang ini sejak tahun 1993 Indonesia menyatakan bahwa pelaku penyuka sejenis bukan lagi termasuk dari penyakit kejiwaan.

Kedua, ketentuan tentang urusan rumah tangga serta relasi suami dengan istri karena dianggap sebagai bentuk pengukungan peran istri atau perempuan untuk selalu berada di dalam rumah.
Kemudian beberapa lembaga yang menolak dengan adanya RUU tentang Ketahanan Keluarga ini, mulai dari Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Ai Maryati Solihah, menganggap Pasal 25 itu sebagai bentuk bias gender, seolah ranah perempuan hanyalah seputar domestik rumah tangga.

Dimana sekarang ini sudah terjadi pergeseran nyata bahwa perempuan tak lagi hanya mengurus rumah tangga melainkan sudah menjangkau ranah-ranah publik. Selain itu juga dengan yang dikemukakan oleh Pawestri yang tidak sependapat bahwa LGBT bagian dari penyakit dalam bentuk penyimpangan seksual, melainkan salah satu orientasi seksual.

Penolakan dari Istana mengenai RUU tentang Ketahanan Keluarga, staf Khusus Presiden beranggapan bahwa ini sudah terlalu menyentuh ranah pribadi/privat. Penolakan ini, juga diikuti berbagai penolakan dari berbagai pihak, seperti KOMNAS HAM, FORMAPPI, Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Partai NASDEM, PPP serta Partai Gerindra.
Dimana untuk Partai Gerindra, menyatakan sebagian fraksi tidak mendukung RUU tentang Ketahanan Keluarga. Namun tidak mencabut dukungan karena sejak awal yang mengusulkan hanya anggota individu, Sodik Mujahid. Jadi dari pihak Partai Gerindra memutuskan untuk menginventarisir masalah dan juga akan meminta klarifikasi kepada Sodik Mujahid. (liputan6.com 21/02/2020).

Darisini sudah jelas bahwa hal ini dianggap sebagai bentuk kemunduran dan menggugat kemapanan (kesetaraan gender, peran publik, perlakuan terhadap LGBT) serta terlalu mencampuri ranah privat.
Hal ini sangat bertentang dalam Islam, bukan berarti Islam tidak menghargai seorang perempuan malah dalam Islam sangat menjunjung tinggi sekali sebuah kehormatan seorang perempuan, bukan sebuah kesetaraan dengan seorang laki-laki. Kemudian dalam mewujudkan ketahanan sebuah keluarga perlu adanya pengaturan individu anggota keluarga dan pendidikan di dalam rumah.

Dari adanya penolakan dalam mewujudkan sebuah ketahanan keluarga ini, membuktikan bahwa selain sistem Islam UU/regulasi tidak akan terwujud jika bukan berdasarkan Islam. Islam sendiri sudah menjadi aturan yang begitu lengkap dalam penyelesaian semua masalah kehidupan.

Penghapusan kekerasan dan penyimpangan seksual melalui dengan adanya penetapan hukum bagi orang yang berzina. Serta dengan melaui sebuah pernikahan yang sah untuk mewujudkan keluarga yang dapat melahirkan generasi umat berlandaskan Islam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak