Wajibnya Sistem Pemerintahan Rasulullah, Tidak Ada Ikhtilaf



Oleh: Heka Ummu Arin



Akhir-akhir ini, banyak pejabat mengeluarkan pernyataan yang membuat gaduh ditengah masyarakat. Misalnya saja, pernyataan MenKoPolHuKam, Mahfud MD, yang menegaskan bahwa meniru sistem pemerintahan nabi Muhammad SAW haram hukumnya. Hal ini disampaikan di acara Diskusi Panel Harapan Baru Dunia Islam bertajuk "Meneguhkan Hubungan Indonesia-Malaysia" di gedung PBNU Kramat Raya jakarta(25/1).(www.nu.or.id).

Pernyataan tersebut seolah olah benar, padahal hakikatnya salah. Terlebih lagi diutarakan oleh seseorang yang dikenal masyarakat umum sebagai tokoh intelektual, membuat umat semakin alergi terhadap ajaran islam, khususnya tentang pemerintahan islam.

Padahal Islam sebagai agama sempurna yang diturunkan oleh Alloh SWT kepada Muhammad Rasulullah untuk seluruh umat manusia. Sebagai teladan utama, Rasulullah telah mencontohkan metode dakwah rasul dengan mendirikan negara islam pertama di Madinah. Dengan bentuk yang jelas yakni menerapkan islam baik di dalam negeri  ataupun keluar negeri. Rasululloh mengirimkan utusannya ke wilayah di luar madinah untuk menyampaikan islam.

Setelah Rasululloh SAW. wafat,  pemerintahan islam dilanjutkan oleh para Khulafa Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali RA), berlanjut ke khilafahan Ummayah, Abbasyiah sampai Utsmaniah dengan total waktu hampir 13 abad.

Tidak ada pertentangan dari para 4  imam mazhab terkait wajibnya kepemimpinan islam  dalam bentuk sistem Khilafah.
Semisal pendapat Imam al Qurthubi, seorang ulama besar dari Mazhab Maliki,  ketika menjelaskan surat al Baqarah ayat 30, dalam kitab tafsirnya Al Jami Li Ahkam Al Qur'an menyatakan, "ayat ini merupakan dalil paling pokok mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang wajib ditaati dan didengar untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum khalifah. Tidak ada perselisihan pendapat tentang kewajiban tersebut dikalangan umat islam maupun kalangan ulama, kacuali apa yang diriwayatkan dari Al - A'sham.

Imam al Mawardi,  ulama bermazhab Syafii, dalam kitabnya Al Ahkam as-Sulthoniyyah juga berpendapat, "melakukan akad imamah (khilafah) bagi orang yang (mampu) melakukannya wajib berdasarkan ijmak meskipun Al-'Asham menyalahi mereka (ulama) (dengan menolak kewajiban khilafah)."

Begitupun Ibn Taimiyyah, ulama mazhab Hanbali, dalam Majmu'al -  fatawa menyatakan, "wajib diketahui bahwa kekuasaan atas manusia termasuk kewajiban agama terbesar,  bahkan agama tak akan tegak tanpa kekuasaan."

Imam 'Alaudin al - Kasani dalam kitab Bada'i ash - Shana'i fi Tartib asy Syarai menyatakan, "sesungguhnya mengangkat imam agung (khalifah) adalah fardhu.  Tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul haq mengenai masalah ini.  Penyelisihan oleh sebagian kelompok Qodariah mengenai masalah ini, sama sekali tidak bernilai karena persoalan ini telah ditetapkan berdasarkan ijmak Sahabat."

Jelaslah, tidak ada perbedaan di kalangan para ulama empat mazhab tentang kewajiban mengangkat seorang imamah (khalifah) dan adanya institusi Khilafah. Sehingga tidak ada alasan  bagi umat islam untuk tidak mengamalkan apa-apa yang dicontohkan oleh Rasululloh, termasuk bentuk pemerintahan. Di mana Khilafah adalah bentuk negara islam, tidak ada bentuk yang lain. Negara yang hanya sebatas menerapkan nilai-nilai islami tapi dalam wadah selain khilafah adalah bentuk pengingkaran yang nyata terhadap aturan Alloh beserta Rasul-Nya. Wallohu 'alam bishowab. []

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak