Oleh : Elfia Prihastuti
(Praktisi Pendidikan)
Dalam situs Republika CO.ID, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD menyatakan, agama melarang mendirikan negara seperti yang didirikan Nabi. Sebab negara yang didirikan Nabi memiliki tiga kekuasaan sekaligus yaitu Legislatif, Yudikatif dan Eksekutif. (republika.co.id, 25/1/2020)
Pernyataan tersebut jelas menuai kontroversi, sehingga menuai sorotan publik. Dalam sistem sekulerisme tentu opini semacam ini merupakan hal biasa. Karena para tokoh yang hidup di negeri sekuler, entah sadar atau tidak telah mengadopsi secara sukarela, mengambil solving dan menhadirkan pemikiran sekuler sebagai dosen-dosen pembimbing guna meneguhkan dirinya sebagai tokoh yang modern.
Namun bagi umat Islam hal tersebut akan menjadi sesuatu yang mampu mengguncang akidah, bahkan mencederai kokohnya pemikiran yang telah tertancap kuat.
Telah dinyatakan Al Qur'an yang artinya:
"Sungguh bagi kalian terdapat contoh tauladan yang baik pada pribadi (dan ajaran dalam segala hal) dari Rasulullah saw." (Qs. al-Ahzab: 21).
Dari sini tegas sekali, bahwa upaya mencontoh Rasulullah saw. tidak diharamkan bahkan diperintahkan, termasuk meniru dalam sistem pemerintahan.
Lebih lanjut Mahfud MD menyatakan bahwa Indonesia dan Malaysia memiliki kesamaan yaitu ingin membangun negara yang islami, yaitu negara yang menerapkan nilai-nilai islami. Bukan mendirikan negara seperti yang didirikan nabi saw. Hal tersebut menurutnya adalah sesuatu yang benar tidak bertentangan dengan syari'at.
Namun jika itu dianggap sudah benar, mengapa kedua negeri tersebut tak segera melesat dalam kemajuan? Justru kondisinya makin terpuruk dan cengkeraman negara penjajah semakin kuat? Hal ini disadari oleh Menteri Pertahanan Malaysia, Mohamad Sabu, yang menilai sejumlah negara dengan mayoritas umat Islam justru tertinggal karena hanya membaca Al-Qur'an dan Sunah, tidak menjalankannya.
Islam adalah agama sempurna, yang mengatur segenap aspek kehidupan, termasuk sistem pemerintahan. Sejak kelompok dari suku Aus dan Khazraj berbaiat pada Baitul Aqobah, kemudian disusul dengan Aqobah II , pada saat itulah Rasulullah benar-benar menjadi Ra'isud Daulah (Pemimpin Negara). Sungguh beliau telah menyusun perangkat daulah yang begitu sempurna. Ada pasukan, ada penaklukan, ada perjanjian, ada utusan-utusan duta besar dan lainnya, menjadi bukti bahwa nabi benar-benar menjalankan fungsi-fungsi sebagai suatu negara. Aktivitas-aktivitas tersebut terus berlangsung dan dilanjutkan oleh para khalifah-khalifah pengganti beliau. Dan berakhir hingga Mustafa Kemal Atarturk memproklamirkan Negara Republik Turki di tahun 1924. Jelas ini membuktikan bahwa pemerintahan Islam ala nabi dapat diterapkan oleh manusia yang bukan nabi.
Berbicara tentang sistem pemerintahan Islam, sistem ini merupakan suatu sistem yang unik, khas dan berbeda dengan sistem pemerintahan yang lain. Sistem Pemerintahan Islam tegak di atas empat pilar:
Pertama, kedaulatan di tangan Syara'. Dalil yang berkaitan dengan kondisi ini adalah Firman Allah yang artinya:
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan." (Qs. an-Nisa': 65).
Maka seorang khalifah tidak akan dibaiat oleh umat sebagai ajiir (pegawai, buruh atau pekerja) umat agar melakukan apa saja yang dikendalikan oleh umat sebagaimana yang terjadi dalam praktik sistem demokrasi. Melainkan khalifah dibaiat oleh umat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya agar melaksanakan hukum Syara'.
Kedua, kekuasaan di tangan umat. Syara' telah menjadikan pengangkatan khalifah oleh umat, dan seorang khalifah hanya memiliki kekuasaan melalui baiat. Imam Muslim telah meriwayatkan dari Ubadah Bin Shamit yang berkata:
"Kami telah membaiat Rasulullah saw untuk setia, mendengar, dan mentaati perintahnya, baik dalam keadaan susah maupun mudah, baik yang kami senangi ataupun tidak kami senangi."
Ketiga, mengangkat satu khalifah hukumnya fardhu bagi seluruh kaum muslimin. Jadi Pemerintahan Islam itu Universal State bukan Nation State.
Dalilnya:
"Apabila dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya" (HR. Muslim).
Keempat, hanya khalifah yang berhak melakukan tabanni (adopsi) terhadap hukum-hukum syara'. Pilar keempat ini ditetapkan berdasarkan dalil Ijma' sahabat. Berdasarkan ijma' ini diambil kaidah Ushul Fiqih yang sangat populer:
"Perintah Imam (khalifah) menghilangkan perselisihan (di kalangan Fuqaha)".
Maka argumen apalagi yang layak ditebarkan untuk memutarbalikan hukum bahwa mendirikan negara seperti yang didirikan Nabi Muhammad saw adalah haram? Padahal hukumnya adalah wajib.
Wallahu a'lam bhishshawab.