Wajah Sekuler Demokrasi, Mencederai Iman



           Oleh: Rani Imron

Praktisi Pendidikan Palembang


Menyoroti berita yang tidak kalah heboh dengan kemunculan virus Corona, publik juga dibuat heran dengan pernyataan Menkopolhukam yang mengatakan bahwa agama melarang untuk mendirikan negara seperti yang didirikan nabi. Sebab, negara yang didirikan nabi merupakan teokrasi di mana Nabi memiliki tiga kekuasaan sekaligus yaitu legislatif, yudikatif, dan eksekutif. (Republika.CO.ID, 26/1/2020).

Semakin parah pernyataan kontroversi tokoh  demokrasi ini yang melanjutkan dengan perkataan, "Ada masalah hukum minta ke nabi, nabi buat hukumnya. Yang menjalankan pemerintahan sehari-hari nabi. Kalau ada orang berperkara datang ke nabi juga. Sekarang tak bisa, haram kalau ada," katanya vulgar. "Saya tak mengatakan mendirikan negara Islam tapi nilai-nilai Islam. Sebab itu saya sering menggunakan istilah kita tak perlu negara Islam tapi perlu negara Islami," lanjutnya.

Di lain pihak, Wakil Ketua Komisi Hukum MUI Pusat Anton Tabah juga mengaku heran dengan Mahfud yang tidak dapat pernah jera keseleo lidah. Dia pun meminta mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu segera memperbanyak doa. “Mahfud MD sering sekali keseleo lidah,” ujar Anton Tabah. Purnawirawan jenderal bintang dua polisi itu lantas menyinggung pernyataan Mahfud yang pernah mengatakan perda syariah radikal. (RMOL.ID, 26/01/2020).

Sungguh ironis memang  jika negara dengan mayoritas muslim terbesar, melahirkan individu yang berpikiran sempit dan fobia terhadap Islam.  Dilahirkan sebagai seorang muslim dan berstatus kewarganegaraan Islam, tetapi malah bersikap dan pola  pikir jauh dari Islam bahkan mencoba menghadang bangkitnya peradaban  Islam itu sendiri.  Mengapa sedemikan rupa yang demikian bisa terjadi? tentunya ini merupakan masalah yang sangat krusial menimpa negeri ini, perlu perhatian khusus dari setiap elemen masyarakat untuk terlibat langsung ke masyarakat mengedukasi mereka tentang fakta yang ada, untuk  dianalisa, lalu diberikan solusi yang tuntas dalam mengatasi krisis moral sekularisme akut.



Demokrasi melahirkan wajah sekuler, dimana seseorang mengaku muslim tapi memisahkan  kehidupannya dari aturan Islam.  Islam yang diinginkan dimaknai sesukanya,  disesuaikan perkembangan zaman, mengikuti pola nafsu manusia, adat istiadat, kebiasaan, aturan penjajah, bukan berlandaskan wahyu.

Pernyataan Menkopolhukam tentang dirinya tak mengatakan mendirikan  negara Islam, tapi nilai-nilai Islam,  adalah sebuah pernyataan ambigu yang bias jauh dari esensi makna sebenarnya.  Dimana dalam suatu negara berperan mengatur kehidupan masyarakatnya, baik aturan berbangsa maupun aturan bernegara.  Negara, sistem dan nilai-nilai yang diemban, semuanya itu adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.  


Ketika yang diemban suatu negara adalah nilai-nilai yang diambil dari aturan komunisme misalnya, maka negara itupun disebut negara komunis seperti Cina.  Sebaliknya jika suatu negara yang diembannya adalah nilai-nilai Islam secara keseluruhan, maka negara tersebut disebut negara Islam.  Negara yang berideologi Islam adalah negara manusiawi bukan negara teokrasi.  Kemudian contoh lainnya, jika nilai-nilai yang diemban suatu negara mengadopsi ideologi kapitalisme, maka negara tersebut disebut negara kapitalis tentunya bukan disebut negara Islam, karena aturan yang diterapkan dalam mengatur masyarakatnya mengikuti aturan perundang-undangan para kapital/pemilik modal dalam hal ini penjajah barat bahkan ideologi ini  ingkar terhadap aturan syari'at, yang bisa jadi negara tersebut kufur, bahkan mengarah negara liberal karena mengusung kebebasan tanpa aturan agama  seperti Amerika.  Jadi, menyatakan bahwa  umat diperintahkan mendirikan Negara Islami bukan Negara Islam juga pandangan menyesatkan dan tidak memiliki landasan. 


Sistem sekuler derivat dari demokrasi inilah  menjerat setiap muslim untuk berfikir sekuler dan menentang ketaatan sempurna pada syariat.  Slogan demokrasi tentang kedaulatan berada ditangan rakyat sangat menyihir para pengusungnya,  seolah kado yang dibungkus rapi padahal isinya sampah peradaban.  Betapa tidak simbol demokrasi yang mendefinisikan dari rakyat, oleh rakyat , untuk rakyat, ternyata hanya tameng agar segala produknya merakyat padahal sebenarnya jauh dari apa yang diinginkan rakyat, bahkan parahnya menjadikan pemeluk demokrasi ini mengangkangi kedaulatan Tuhan, Rob semesta alam, Allah SWT.   Pengusung demokrasi sekehendak mengubah halal dan haram yang ditetapkan Allah Swt melalui  lisan, perbuatan bahkan melalui ketokan palu dalam menetapkan aturan atau undangan-undang negara berdasarkan kepentingan nafsu dengan tidak mendasar, main tabrak sesuai kepentingan pasar, pemodal dan penguasa.


Dari lisan pengusung demokrasi yang dengan mudahnya muncul pernyataan tentang haramnya mencontoh negara Rasulullah adalah suatu  pernyataan yang berbahaya yang bisa mencederai atau merusak iman seorang muslim, mengapa?  Karena mencontoh atau ittiba perilaku rasul yang diserukan oleh Allah termasuk dalam membentuk Negara islam adalah bukti  sempurnanya iman setiap muslim.


Sistem demokrasi yang melahirkan sekularisme- liberal menjadikan orang-orang yang ada didalamnya berpikir sempit terhadap agamanya sendiri bahkan mengidap fobia akut.  Bagaimana tidak, atas dalih toleransi, kebebasan dan hak asasi, ajaran Islam dimonsterisasi oleh para penguasanya, untuk menjauhkan rakyatnya mengenal, memahami, dan mengamalkan Islam dalam ranah negara, hanya boleh  sekedar pengetahuan semata sedangkan untuk pengamalan ajaran Islam dibatasi hanya pada ranah individu saja tidak  dalam ranah negara, Islam dilarang untuk mengatur urusan negara.  Inilah kenapa dikatakan sistem demokrasi dapat mencederai keimanan seorang muslim.


Keimanan Menuntut Ketaatan

Ketika seorang hamba sudah menyatakan diri beriman dalam Islam, artinya menuntut ketaatan penuh terhadap apa saja yang diturunkan Allah Swt dan apa saja yang dicontohkan Rasulullah sebagai suri tauladannya termasuk dalam urusan mengatur negara. Karena politik yang dimaksud dalam pengertian Islam adalah Ri' ayah Su'unil Ummah  yaitu mengatur urusan ummat.  Urusan negara dalam Islam tidak bisa dipisahkan dari urusan ummat/rakyat.  Dan menjadi hak setiap muslim untuk diatur urusannya sesuai dengan aturan Islam sebagai wujud dari keimanan.  Konsekuensi keimanan dalam berislam haruslah dijalankan secara keseluruhan atau kaffah ( lihat QS.Al-Baqoroh:208).

Sedangkan jabatan kenabian merupakan  jabatan ilahiyyaah; Allah memberikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki.  Dalam kenabian, nabi atau rasul menerima syariat dari Allah melalui wahyu.  Nabi menerima jabatan dua sekaligus, tidak lama setelah nabi diangkat menjadi Rasulullah dan dakwah nabi diterima,  nabi pun menerima jabatan basyariyyah/ jabatan duniawi sebagai pemimpin negara yang diberikan pemuka suku Aus dan Khozroj kepada nabi untuk diatur dalam aturan Islam.  


Tetapi ketika nabi sudah tidak ada lagi,  bukan berarti ketaatan dalam aturan bernegara yang sudah Rasulullah contohkan berhenti sampai disini, ada pengganti kepemimpinan umat yaitu para Kholifah dimuka bumi dan ini pun sudah dikabarkan Allah dan Rasul-Nya. Khulafaur Rasyidin memimpin berdasarkan kitabullah  dan sunnah.  Meskipun khalifah bukan jabatan ilahiyyah karena dipilih atau diberikan oleh manusia, tetapi Khalifah adalah pengganti kepemimpinan umum umat manusia  meneruskan risalah nabi memimpin dengan  hukum-hukum dan syariat yang Allah dan Rosul-Nya atur. 


 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah Khulafa`ur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. (HR.Tirmidzi 5/44, 2676).  Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pun juga telah memerintahkan kaum muslim agar senantiasa menaati Khalifah selama ia memerintah sesuai dengan Islam, tidak melakukan kekufuran secara terang-terangan dan tidak memerintahkan berbuat kemaksiatan.

 Kepemimpinan nabi dan para Khulafaur Rasyidin dalam bernegara, memutuskan perkara sesuai dengan aturan Islam adalah suri tauladan yang harus kita amalkan bukan haram.  Justru menerapkan aturan demokrasi kufran bawahan (kekufuran yang nyata) yang sanadnya bukan dari Rasulullah yang ma'shum (terpelihara dari dosa) melainkan sanad Plato, Arestoteles, Karl Marx dan lain-lain yang tidak luput dari Alfa dan dosa bahkan idenya bertentangan dengan ajaran Islam itulah yang haram kita ikuti karena menyelisihi syariat Allah.   

Rasulullah dan para Khulafaur Rasyidin sudah mencontohkan tentang   bagaimana sikap seorang muslim dengan ketaatan penuh yang di setiap perbuatannya merujuk pada syariat.  Baik pemimpin maupun rakyat bersinergi menjadi seorang negarawan yang baik, dimana standar baik-buruk, benar-salah, Haq atau pun batil  dalam setiap urusan atau perkara hendaknya diputuskan menurut apa yang Allah turunkan (bisa dilihat QS. Al-Maidah:49). 

 Wallahu a'lam bisshowab.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak