Oleh: R. Bening Sukma
"Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman...". Siapa yang tak kenal dengan penggalan lirik lagu Kolam Susu dari Koes Plus itu, lirik tersebut menggambarkan betapa subur dan melimpahnya sumber daya alam Indonesia. Namun kata ‘tanah surga’ tak menjamin hidup rakyat menjadi sejahtera.
Isu kemiskinan terus menjadi hal menarik yang ramai dibicarakan hingga saat ini. Mulai dari kebijakan yang diambil pemerintah terkait kemiskinan, hingga data kemiskinan yang ada. Dilansir Detik.com, 29/01/2020 Jakarta - Angka kemiskinan nasional September 2019 yang baru saja dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 15 Januari lalu telah mencapai angka 9,22%. Persentase ini menurun sebesar 0,19 persen poin dari kondisi Maret 2019 dan 0,44 persen poin dari kondisi September 2018. Jika dilihat dari jumlahnya, pada September 2019 masih terdapat 24,79 juta orang miskin di Indonesia. Sementara itu, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan turun menjadi 6,56% dan menjadi 12,60% untuk daerah perdesaan.
Sekilas terlihat berita baik, namun jika ditelaah lagi kabar seperti ini tak memberi efek terhadap apa yang terjadi di lapangan. Faktanya yang terjadi sebenarnya beban masyarakat bukan berkurang, kesejahteraan mereka pun masih ilusi dalam bayang-bayang ‘janji manis’ sang penguasa. Terlebih lagi data BPS belum mewakili kenyataan kemiskinan riil di masyarakat.
Miris memang tatkala negeri yang berkelimpangan sumber daya alam harus merasakan pahitnya kemiskinan yang tak bisa ditangani oleh sistem negara yang berlandaskan sistem kapitalisme yang hanya menguntungkan pemegang modal tertinggi bukan rakyat yang menjadi pengabdi pada negeri ini. Penguasa saat ini tak butuh rakyat, benar bukan? Mereka hanya memanfaatkan suara rakyat pada pemilihan saja setelah itu biarlah mereka menikmati indahnya kursi kekuasaan.
Harus diakui, demokrasi dan saudaranya, kapitalisme akan selalu gagal menyelesaikan problem kemiskinan. Alih-alih dapat menyelesaikan, yang terjadi justru menciptakan kemiskinan. Karena paradigma kekuasaan bukan melayani masyarakat, tapi justru kekuasaan diraih dan dimanfaatkan oleh segelintir pemilik modal (pengusaha) untuk memperkaya diri. Dan ditambah beberapa faktor kesalahan dibawah ini:
Faktor pertama, pengelolaan sumber daya alam yang potensial tidak untuk kesejahteraan seluruh rakyatnya. Tambang emas freeport dikeruk bukan untuk rakyat tapi lebih banyak menguntungkan perusahaan asing dan para konglomerat. Banyak perusahaan asing-aseng mengambil banyak keuntungan dari pengelolaan sumber daya alam yang terkandung di lautan, hutan dan apa saja yang terhampar di permukaan bumi dan perut bumi Indonesia.
Rakyat hanya boleh puas sebagai buruh kasar di negeri mereka sendiri. Harusnya rakyat bisa mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis dengan pengelolaan sumber daya alam yang benar bukan diserahkan kepada asing-aseng. Malah rakyat harus menanggung segala kerugian negara karena kesalahan dalam pengelolaan negeri yang harusnya kaya raya dan membuat rakyatnya hidup sejahtera . Penjaminan pelayanan kesehatan diserahkan pada perusahaan asuransi yang berbisnis dengan rakyatnya. Liberalisasi dunia pendidikan membuat biaya pendidikan membumbung tinggi sehingga tidak terjangkau oleh rakyat miskin. Mereka akan terus miskin karena tidak mempunyai kesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Sungguh ironis, banyak penduduk miskin tinggal di negeri yang kaya raya dengan sumber daya alamnya.
Faktor kedua, Sekularisme dan kapitalisme mendorong banyak pejabat korupsi, menggarong uang rakyat dan seolah tidak bisa dihentikan. Mereka tidak merasa bersalah saat melakukan korupsi karena kesadaran hubungan dengan Tuhan mereka hanya sebatas ditempat ibadah. Sementara, kapitalisme telah membentuk orang-orang yang tamak akan harta dan kekuasaan. Cara haram pun dilakukan untuk meraih hasrat untuk menjadi orang kaya dan berkuasa. Kecurangan dan korupsi menjadi biasa dan terus menginspirasi yang lain untuk berbuat hal yang sama. Rakyat yang dikorbankan dan banyak dirugikan. Mereka yang harusnya sejahtera, menderita dan miskin di negeri yang kaya raya karena uang mereka digarong oleh orang-orang yang terpapar virus jahat sekularisme. Mereka meninggalkan keyakinannya saat melakukan korupsi bahkan korupsi dianggap alternatif untuk mencari rezeki.
Faktor ketiga, biaya politik yang sangat tinggi dalam sistem demokrasi. Begitu besar dana dialokasikan untuk pesta demokrasi sedangkan pemimpin yang dihasilkan tidak seperti yang diharapkan. Beban semakin berat ditanggung oleh rakyat. Namun, setelah mereka terpilih menjadi wakil rakyat atau pemimpin yang harusnya mengurusi rakyat, mereka tidak melakukan tugasnya dengan baik karena dalam pikirannya hanyalah bagaimana mempertahankan kekuasaannya. Belum lagi mereka harus berfikir untuk mengembalikan dana pribadi yang sudah dipergunakan untuk menarik simpati rakyat. Tidak sedikit yang didukung para pemilik modal sehingga setelah terpilih mereka bekerja bukan untuk rakyat tapi para konglomerat yang sudah membiayai ongkos politik mereka agar terpilih lagi menjadi pemimpin dalam sistem demokrasi.
Faktor keempat, utang luar negeri yang berbasis riba harus segera diselesaikan, jika tidak negeri ini akan terus terbebani oleh bunga utang sehingga rakyat yang menjadi korban. Rakyat yang harusnya diurusi, bukan menanggung beban riba dari utang luar negeri yang tidak pernah terselesaikan. Negeri kaya raya tapi hidup tidak berkah karena dibangun diatas sistem ekonomi berbasis riba yang diharamkan oleh sang pemilik alam dan hidup. Praktik riba yang dilakukan oleh negara telah mengundang banjir dan bencana alam lainnya hampir di seluruh negeri. Bencana bertubi-tubi karena tidak diterapkannya syariat Allah sehingga banyak rakyat sengsara dan terancam hidup dibawah garis kemiskinan karena riba, dosa besar dihalalkan. Hutang luar negeri yang menggunung juga dijadikan alat imperalisme barat untuk terus menancapkan hegemoninya di negeri yang kaya raya untuk mengeruk kekayaan alamnya tapi membiarkan rakyatnya menderita dibawah garis kemiskinan.
Cara Islam Tuntaskan kemiskinan.
Islam memiliki solusi konkret mengatasi kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan hakiki. Dikutip dari Buletin Kaffah edisi 049 Juli 2018, berikut cara Islam mengatasi kemiskinan:
Pertama: Secara individual, Allah Swt memerintahkan setiap Muslim yang mampu untuk bekerja mencari nafkah untuk dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 233).
Kedua: Secara jama’i (kolektif) Allah Swt memerintahkan kaum Muslim untuk saling memperhatikan saudaranya yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan. Rasulullah Saw bersabda,
"Penduduk negeri mana saja yang di tengah-tengah mereka ada seseorang yang kelaparan (yang mereka biarkan) maka jaminan (perlindungan) Allah terlepas dari diri mereka (HR Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah).
Ketiga: Allah Swt memerintahkan penguasa untuk bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya, termasuk tentu menjamin kebutuhan pokok mereka. Rasulullah Saw bersabda,
"Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus" (HR al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Pendidikan dan kesehatan merupakan kebutuhan pokok yang dijamin pemenuhannya oleh khilafah secara gratis. Dananya berasal dari baitul mal yang salah satunya adalah dari hasil pengelolaan kekayaan alam. Rasulullah Saw dan para khalifah mencontohkan hal ini.
Dulu, sebagai kepala negara di Madinah, Rasulullah Saw menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya dan menjamin kehidupan mereka. Pada zaman beliau ada ahlus-shuffah. Mereka adalah para sahabat tergolong duafa. Mereka diizinkan tinggal di Masjid Nabawi dengan mendapatkan santunan dari kas negara.
Saat menjadi khalifah, Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab biasa memberikan insentif untuk setiap bayi yang lahir demi menjaga dan melindungi anak-anak. Beliau juga membangun “rumah tepung” (dar ad-daqiq) bagi para musafir yang kehabisan bekal.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz membuat kebijakan pemberian insentif untuk membiayai pernikahan para pemuda yang kekurangan uang. Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah dibangun rumah sakit-rumah sakit lengkap dan canggih pada masanya yang melayani rakyat dengan cuma-cuma.
Hal di atas hanyalah sekelumit gambaran kesejahteraan yang diwujudkan khilafah. Indonesia bisa mengatasi kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan hakiki dengan beralih dari sistem sekular neolib saat ini dan menegakkan sistem Islam, yakni khilafah rasyidah yang telah terbukti menghasilkan peradaban emas berabad-abad silam.
Wallahu a'alam bishawab