(Oleh : Rantika Nur Asyifa)
Berbicara tentang toleransi, Presiden RI Joko Widodo, menyetujui pembangunan terowongan yang menghubungkan antara masjid Istiqlal dan gereja Katedral. Terowongan penghubung kedua tempat itu berada di bawah tanah. Jokowi menyebutnya dengan istilah terowongan silaturahmi.
“ Sudah saya setujui sekalian, sehingga ini menjadi sebuah terowongan silaturahmi, “ kata Jokowi seusai meninjau proyek renovasi masjid istiqlal, Jakarta Pusat, (Tempo.com, 7/2/2020).
Rencana pembangunan terowongan Istiqlal-Katedral, disambut baik oleh kedua pembesar agama yang mengelola kedua tempat tersebut. Terowongan silaturahmi ini, akan memasuki tahap kajian detail. Nantinya, terowongan tersebut diproyeksi bakal menjadi ikon toleransi dan kerukunan umat beragama di Indonesia.
“ Terowongan itu nanti bisa jadi ikon toleransi di Indonesia, “ kata Abu Hurairah, Wakil Kepala Humas Masjid Istiqlal, (REPUBLIKA.co.id, 7/2/2020)
Rencana pembangunan terowongan ini, muncul karena adanya proyek renovasi masjid istiqlal. Pelaksanaan renovasi masjid istiqlal memang telah dimulai sejak 6 Mei 2019 lalu, namun untuk pembangunan proyek terowongan silaturahmi masih dalam tahap kajian. Rencana ini justru memperlihatkan ketidakmampuan pemerintah memahami persoalan intoleransi dan hanya sebagai upaya basa-basi untuk menjaga kerukunan umat beragama.
Dalam permasalahan anggaran, untuk proyek renovasi saja mencapai Rp 475 miliar dan jika ditambah dengan pembangunan terowongan bawah tanah, maka bisa semakin membengkak. Apalagi revitalisasi ini juga menambah fasilitas parkir dan menata kawasan masjid agar lebih nyaman dan indah. Maka dari itu, membuat terowongan silaturahmi antar Istiqlal dan Katedral merupakan langkah yang sia-sia dan menghamburkan uang Negara.
Maraknya kasus tentang intoleransi baru-baru ini, tidak bisa dijadikan sebagai alasan dibuatnya terowongan silaturahmi antar ummat beragama dan tidak mampu menyelesaikan permasalahan tersebut. Semua upaya sudah dilakukan oleh Negara, namun pada kenyataannya tak ada yang berhasil. Pembangunan terowongan ini dianggap sebagai simbol toleransi beragama yang pada kenyataannya adalah wujud keberpihakan pemerintah kepada liberalisasi beragama.
Kebijakan yang menuntun pada moderasi beragama, nantinya akan memunculkan kebijakan lain yang sama dan semakin memperkuat pluralisme agama yang sudah jelas bertentangan dengan Islam. Menganggap semua agama sama adalah opini untuk menyesatkan umat Islam dan mencampur adukan antara haq dan batil.
Jika Negara menganggap bahwa membuat terowongnan silaturahmi merupakan salah satu simbol toleransi, lain hal nya dengan Islam. Berbicara tentang toleransi umat beragama, dari sejak masa Rasulullah Muhammad SAW sampai sepanjang sejarah kekhalifahan Islam, Negara Islam dan kaum Muslimin dikenal sangat toleran.
Nasrani, Yahudi, dan pemeluk agama lainnya, hidup berdampingan dengan Kaum Muslimin. Mereka mendapatkan hak-hak yang sama dengan kaum Muslim sebagai warga Negara, mereka memperoleh jaminan keamanan dan mereka juga bebas melakukan peribadatan sesuai dengan keyakinan.
Jadi sudah jelas, sejak abad 15 yang lalu, ummat Islam telah mempraktikan toleransi sehingga kerukunan dan kesejahteraan bisa dirasakan oleh semua ummat tanpa diskriminasi. Maka dari itu, cukuplah sistem Islam yang diterapkan dan dijadikan pegangan hidup masyarakat dan Negara, agar bisa membawa rahmat bagi seluruh alam.
Karenanya, perlukah terowongan silaturahmi dibuat ?. jawabannya sudah pasti tidak, menyelesaikan persoalan intoleransi bukanlah dengan membuat simbol ataupun slogan melainkan mengganti sistem sekular ini menjadi sistem Islam yang sudah terbukti keberhasilannya. Wallahu a’lam
Bogor, 14 Februari 2020