Oleh: Sri Mariana, S.Pd
Maraknya kasus perundungan di berbagai daerah semakin meresahkan. Seperti diketahui, kasus dugaan perundungan berupa penganiayaan terhadap salah seorang siswa SMP di Purworejo menjadi viral di media sosial. Kasus yang saat ini ditangani oleh Polres Purworejo, terungkap setelah beredar video aksi kekerasan yang menimpa seorang siswi.
Dari hasil penyelidikan, aksi kekerasan tersebut diduga dipicu rasa sakit hati karena mereka dilaporkan korban ke guru soal meminta uang(regional.kompas.com/read/2020/02/13).
Selain itu Kasus perundungan yang sama juga terjadi. Seperti yang menyebabkan MS (13), seorang siswa di SMPN 16 Malang, hingga dirawat di rumah sakit hingga berbuntut panjang(regional.kompas.com/read/2020/02/10)
Pengaduan anak kepada KPAI terkait perudungan seperti gunng es. Artinya, masih sedikit yang terlihat di permukaan karena dilaporkan, sementara di bawahnya masih tersimpan kasus-kasus lain yang besar namun tidak dilaporkan. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia(KPAI) Bidang Hak sipil dan Partisipasi Anak, Jasra putra mengatakan sepanjang 2011 hingga 2019, KPAI mencatat 37.381 pengaduan mengenai anak.
Terkait kasus perundungan, baik di media sosial maupun di duia pendidikan, laporannya mencapai 2.473 laporan. Jastra juga mengatakan, semakin maraknya fenomena perundungan menunjukkan gangguan pertumbuhan dan konsentrasi anak berada pada tahap yang mengkhawatirkan(m.republika.co.id/10/2/2020).
Bahkan hampir setengah dari seluruh siswa di Indonesia mengaku pernah mengalami bullying/perundungan. Hasil ini didapat dari Penilaian Siswa Internasional atau OECD’s Programme for International Student Assessment (PISA) 2018.
Salah satu penyebab terjadinya perundungan menurut National Youth Violence Prevention Resource Center (2002) adalah suasana sekolah yang tidak kondusif. Kurangnya pengawasan orang dewasa atau guru pada saat jam istirahat, ketidakpedulian guru dan siswa terhadap perilaku bullying, serta penerapan peraturan anti-bullying yang tidak konsisten merupakan kondisi-kondisi yang menumbuhsuburkan terjadinya bullying di sekolah.
Anak atau remaja pelaku bullying cenderung terlibat dalam kekerasan, perilaku itu berisiko saat ia beranjak dewasa, bentuknya bisa jadi sering terlibat perkelahian, melakukan aksi vandalisme, merusak fasilitas umum, kecanduan alkohol dan narkoba, terlibat kegiatan kriminal dan keluar masuk penjara ketika beranjak dewasa, melakukan kekerasan pada anak, keluarga, atau orang di sekitarnya setelah dewasa((https://www.muslimahnews.com/2020/02/14)
Lantas yang menjadi pertanyaan publik, mengapa kasus ini semakin marak tanpa ada pencegahan yang berarti? Bahkan negara memastikan dirinya untuk mengambil peran kuratif ketimbang preventif. Sudah terjadi, lalu baru sibuk memikirkan langkah menyelesaikannya. Hal itu pun jika mereka mendapatkan ide baru. Jika tidak, justru akan muncul kasus baru yang sama setiap harinya.
Kalaupun pemerintah mengambil langkah lewat peningkatan prestasi akademik siswa di sekolah untuk menghadapi masalah bullying. Hal tersebut tidak menjadi jaminan bagi siswa untuk mengatasi masalah pribadi dan interaksi mereka dengan lingkungan.
Inilah salah satu bahaya menjadikan sekularisme sebagai landasan dalam kehidupan di negara ini. Pemisahan nilai-nilai agama dari kehidupan memberi pengaruh buruk bagi kehidupan masyarakat. Kehidupan yang sekularistik telah menjauhkan setiap individu masyarakat dari rasa kemanusiaan, cenderung hedonis, dan tak takut akan dosa apalagi Tuhan.
Orang tua pun tidak berperan dengan baik dalam mendidik dan menanamkan nilai-nilai agama pada anak. Akhirnya tumbuh dengan jiwa antisosial, pemarah, tak mau kalah, dan miskin empati. Negara juga ‘mandul’ untuk menghadapi lingkungan sosial remaja yang hedonis.
Negara justru menakut-nakuti remaja dan orang tua mereka dengan ide radikalisme, hingga merangkul mereka untuk melawan radikalisme di sekolah dan di tengah masyarakat. Tapi tidak membangun kepedulian untuk mencegah tawuran, pergaulan bebas, dan kekerasan serta bullying.
Maka wajar jika kerusakan pada remaja juga terus terjadi secara sistemis. Hal ini karena sistem yang ada baik sistem pendidikan, sistem pergaulan, sistem hukum, dan sistem informasi tidak mendukung untuk penjagaan remaja dari kerusakan. Hal tersebut menunjukkan bahwa perundungan(bullying) sebagai problem massif bangsa ini yang belum bisa terselesaikan secara tuntas.
Sistem pendidikan yang dijalankan oleh negara sangat penting dalam pembentukan karakter dan kepribadian remaja. Sistem pendidikan tersebut haruslah terintegrasi sejak pendidikan di sekolah dasar. Jika kita melihat saat ini, pendidikan di negara ini nyata hanya melihat keberhasilan prestasi siswa didik dari nilai di atas kertas.
Prestasi demi prestasi dibanggakan namun jauh dari pembentukan kepribadian dan akhlak terpuji. Hal ini adalah buah dari sistem pendidikan sekuler. Maka berharap lahirnya generasi terbaik serta unggul pada sistem sekuler-demokrasi sungguh mustahil.
Terbukti, tata kehidupan tersebut telah gagal membangun sistem pendidikan yang ada, menjadikan orang tua abai terhadap kebutuhan dan perkembangan anak, dan membentuk masyarakat yang cenderung permisif dan individualis.
Sudah seharusnya kita menjadikan Islam sebagai satu-satunya solusi atas setiap problem kehidupan. Islam memberikan perhatian besar kepada generasi, bahkan sejak dini. Pada masa Islam berjaya, keluarga kaum Muslim menjadi madrasah pertama bagi putra-putrinya. Sejak sebelum lahir dan saat balita, orang tuanya telah membiasakan putra-putrinya yang masih kecil untuk menghafal Alquran dengan cara memperdengarkan bacaannya.
Peran negara, masyarakat dan keluarga begitu luar biasa dalam membentuk karakter dan kepribadian mereka. Selain kesadaran individunya sendiri. Karena itu, tradisi seperti ini terus berlangsung dan bertahan hingga ribuan tahun. Bahkan, tradisi seperti masih dipertahankan di beberapa negeri kaum Muslim, meski Khilafah yang menaunginya telah tiada.
Penjagaan Khilafah lewat media pada warga negaranya pun luar biasa. Khilafah melarang semua konten media yang merusak, baik dalam buku, majalah, surat kabar, media elektronik, dan virtual. Sebagai perisai umat, Khilafah berkewajiban menutup semua pintu-pintu kemaksiatan.
Oleh karena itu, untuk menghilangkan bullying pada remaja. Selain dibutuhkan kerja sama antara keluarga, masyarakat, dan peran negara. Maka remaja harus disibukkan dengan ketaatan. Baik membaca, mendengar atau menghafal Alquran, hadis, kitab-kitab tsaqafah para ulama, atau berdakwah di tengah-tengah umat, dan sebagainya.
Hanya dengan cara seperti itu, mereka tidak akan sibuk melakukan maksiat. Dengan menyibukkan diri dalam ketaatan, waktu, umur, ilmu, harta, dan apa pun yang mereka miliki insya Allah menjadi berkah.
Tags
Opini