Oleh : Ida Nurchayati, STP*
KPAI mencatat dalam kurun waktu 9 tahun dari 2011-2019, ada 37.381 pengaduan. Untuk bullying baik di pendidikan maupun sosmed mencapai 2.473 laporan. Menurut Komisioner KPAI bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra, Pengaduan anak kepada KPAI tersebut bagaikan fenomena gunung es. Artinya, masih sedikit yang dilaporkan, sementara dibawahnya masih tersimpan kasus-kasus lain yang besar namun tidak dilaporkan (Republika.co.id, 10/2)
Bahkan Januari sampai Februari 2020, setiap hari publik kerap disuguhi berita fenomena kekerasan anak. TRIBUNNEWS.COM melansir, (13/1) seorang pelajar SMK di Surabaya bunuh diri didapur rumahnya. Seorang siswi SMP di daerah Cibubur, SN meninggal setelah melompat dari lantai 4 di sekolahnya. Inilah.com (8/2) memberitakan bahwa kekerasan pada pelajar semakin marak. Ada siswa yang jarinya harus diamputasi, ada siswa yang ditemukan meninggal di gorong-gorong sekolah, serta siswa yang ditendang sampai meninggal.
Dirjen PAUD, Pendidkan Dasar dan Menegah, Haris Iskandar di Kemendikbud menyatakan, kasus-kasus yang terjadi sudah ditangani. Hanya saja, untuk antisipasi belum ada _come up_ dengan ide baru. Walau sudah diatur dalam Permenmendikbud No 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan, kasus kekerasan pelajar masih menjadi persoalan.
Mendikbud sudah mencanangkan program revolusi mental untuk memperbaiki moralitas, budi pekerti dan akhlak para pelajar. Senyatanya program ini belum membuahkan hasil, bahkan kekerasan dikalangan remaja semakin beragam dan mengerikan. Apa yang salah dengan kurikulum kita?
Pendidikan sejatinya berkaitan dengan banyak aspek, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Pendidikan agama yang diberikan 2 jam perminggu ternyata belum bisa membentuk karakter anak. Terlebih, kekerasan dikalangan pelajar bisa dipicu karena adegan kekerasan dari games, video atau tayangan lain yang mudah diakses melalui perangkat digital.
Pendidikan yang diterapkan selama ini masih sekedar mengejar materi pembelajaran. Guru ditarget bagaimana target kurikulum tercapai. Anak didik masih dibebani, bagaimana mendapatkan angka yang tinggi demi mengejar sekolah atau kampus favorit. Kejujuran dan integritas kadang dikesampingkan demi mengejar materi dan angka. Tanpa disadari agama hanya sebagai pelengkap kurikulum, bukan untuk pemahaman yang membentuk karakter anak. Pendidikan sekuler inilah yang menghasilkan generasi yang rapuh baik mental maupun akidah.
*Islam solusi tuntas*
Peradaban Islam banyak melahirkan pemuda yang kuat kepribadiannya sekaligus ilmuwan. Muhammad al Fatih, diusia belia sudah mampu menaklukkan konstantinopel. Ahli agama juga ahli strategi perang, menguasai tujuh bahasa. Terbukti, sistem pendidikan Islam yang berbasis akidah Islam akan membentuk muslim sejati yang selalu memakai ilmu pengetahuannya dalam setiap sendi kehidupan.
Islam menegaskan tujuan pendidikan untuk membekali akal dengan pemikiran dan ide-ide yang sehat baik akidah maupun hukum. Pendidikan dalam Islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram dan sistematis dalam rangka membentuk manusia yang utuh. Manusia yang berkepribadian Islam, menguasai pemikiran Islam dan ilmu terapan (iptek), serta memiliki ketrampilan yang tepat guna dan berdaya guna.
Pembentukan kepribadian Islam harus dilakukan pada semua jenjang pendidikan secara proporsional. Usia TK sampai SD anak dibekali dengan materi dasar kepribadian Islam, karena usia mereka menuju baligh. Artinya mereka lebih banyak diberikan materi pengenalan keimanan. Saat baligh, yaitu SMP, SMA dan PT diberikan materi lanjutan, yaitu pembentukan, peningkatan dan pematangan keimanan. Indikatornya anak didik mampu melaksanakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan kemaksiatan.
Kurikulum pendidikan Islam akan berhasil bila berbasis tiga komponen, yaitu pembentukan kepribadian Islam, penguasaan tsaqofah Islam dan penguasaan ilmu kehidupan (Iptek, keahlian dan ketrampilan)
Sistem pendidikan Islam ini harus tegak diatas tiga pilar, yaitu individu yang berakidah kuat, masyarakat yang peduli dengan amar ma'ruf nahi munkar serta negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah.
(*) Pemerhati masalah sosial dan pendidikan
Tags
Opini