Oleh : Sitti Nurlyanti Sanwar
Penggiat Sosial Media
Komisi II DPR RI bersama Kementerian PAN-RB dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) sepakat untuk memastikan tidak ada lagi status pegawai yang bekerja di instansi pemerintah selain PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Arif Wibowo menambahkan bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) hanya mengenal dua jenis status kepegawaian secara nasional, yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Meskipun pelaksanaannya bertahap, namun harus dipastikan tidak ada lagi status pegawai di luar dari yang telah diatur oleh undang-undang. (https://www.cnbcindonesia.com, 20/01/2020)
Saat ini, tenaga honorer di lingkungan pemerintahan tersisa sekitar 438.590 orang. Sebelumnya, sekitar 1.072.090 honorer telah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil melalui berbagai jalur sejak tahun 2005 hingga 2014. Meski dari segi jumlah dapat dilihat bahwa tenaga honorer berkurang, namun nyatanya masih banyak honorer yang masih menunggu nasib baiknya. Adanya peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah menunjukkan kegagalan dalam mengatasi penyelesaian tenaga kerja.
Pada awalnya rekrutmen tenaga honorer adalah upaya mengurangi pengangguran sekaligus mendapatkan tenaga yang mau dibayar rendah (sesuai budget negara) karena belum berpengalaman. Pemerintah pun abai dengan nasib tenaga honorer yang sudah lama mengabdi pada tugasnya. Pemerintah hanya melihat untung rugi dalam pengangkatan tenaga honorer sebagai ASN sebab membutuhkan biaya yang cukup besar dibandingkan dengan menggunakan tenaga robot.
Mc Kinsey & Company merilis hasil laporan mengenai otomatisasi dan masa pekerjaan di Indonesia yang menunjukkan sebanyak 23 juta lapangan pekerjaan dalam kurun waktu 10 tahun ke depan digantikan robot (detik.com, 26/09/2019). Senada dengan itu, Direktur Bina Pemagangan Kementerian pun mengatakan hal yang sama. Hal ini dilakukan karena besarnya adopsi otomatisasi dan kecerdasan buatan yang dapat mengubah dunia termasuk Indonesia.
Pengalihan dari tenaga manusia ke robot adalah kemajuan. Namun, dalam sistem kapitalis hal ini adalah harta karun emas yang sangat menggiurkan. Sistem kapitalis memandang segala solusi dengan asas manfaat untuk individu ataupun kelompok, tidak mengingat atau memedulikan nasib tenaga honor yang menanti kepastian. Bahkan mengganggap mereka sebagai beban negara. Perekrutan tenaga honorer pun dipersulit dengan berbagai syarat dan harus mengikuti deretan tes penerimaan.
Tak jarang oknum tak bertanggung jawab mengambil kesempatan dengan memberikan tawaran calon ASN harus membayar puluhan atau ratusan juta rupiah agar lulus menjadi ASN. Tidak melihat kemampuan, keterampilan, kedisiplinan dan amanah dalam menjalankan tugas yang diembannya.
Berbeda dengan sistem kapitalis, sistem Islam dalam melakukan rekrutmen jabatan kepegawaian pada awal perkembangan Islam tidak membutuhkan ujian bagi calon pegawai, tetapi hanya memakai pendapat dari para sahabat. Namun berbeda dengan saat ini. Perekrutan pegawai dilakukan melalui ujian dengan pengembang dan penyempurnaan prinsip-prinsip seleksi pengetahuan dan kemampuan teknisnya sesuai dengan beban dan tanggung jawab pekerjaan.
Rekrutmen ASN wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Dalam istilah Islam, mereka yang menjadi aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria kifayah (kapabilitas) dan berkepribadian Islam (syakhshiyah islamiyah). Nabi saw. pernah bersabda, “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat.” (HR Bukhari). Umar bin Khaththab pernah berkata, “Barang siapa mempekerjakan seseorang hanya karena faktor suka atau karena hubungan kerabat, berarti dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin.” Ketika melakukan kecurangan, perbuatan tersebut adalah dosa dan merupakan bentuk pengkhinatan kepada Allah dan Rasul.
Negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Sabda Nabi saw, ”Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya istri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad). Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar, ”Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.”
Gaji tersebut tidak hanya diberikan kepada ASN saja tetapi tiap warga negara yang bekerja sesuai kemampuan dan keahliannya. Dalam Islam, penggajian menggunakan akad ijarah, meliputi upah atas pemanfaatan suatu benda atau imbalan atas suatu kegiatan atau upah karena melakukan aktivitas. Ijarah terdiri dari dua bagian, pertama ijarah al-ain yaitu pemberian imbalan karena mengambil manfaat dari suatu ‘ain seperti rumah, pakaian dan lain-lain. Kedua, ijarah al-amal yaitu pengambilan tenaga pekerja atau buruh untuk melaksanakan pekerjaan yang nantinya pihak yang menyewa harus memberikan upah.
Taqiyudin an- Nabhani memberikan pengertian bahwa ijrah al-amal adalah pemilik jasa dari seorang ‘ajir (orang yang dikontrak tenaganya) oleh musta’jir (orang yang mengontrak tenaga) serta, pemilikan harta dari pihak musta’jir oleh seorang ‘ajir, dimana ijarah merupakan transaksi terhadap jasa tertentu dengan disertai kompensasi.
Wallaahu a'lam bi ash-shawaab