Program Kampus Merdeka, Benarkah "Merdeka?"





Ulfa Fadhliya
(Pegiat Literasi, Komunitas Muslimah Cinta Quran)

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim meluncurkan empat program kebijakan untuk perguruan tinggi. Program yang bertajuk "Kampus Merdeka" ini merupakan kelanjutan dari konsep "Merdeka Belajar" yang diluncurkan sebelumnya. "Perguruan tinggi di Indonesia harus menjadi ujung tombak yang bergerak tercepat, karena dia begitu dekat dengan dunia pekerjaan. Dia harus yang berinovasi tercepat dari semua unit pendidikan," ujar Nadiem di Gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (tempo.co, 25/01/2020).

Liberalisasi Perguruan Tinggi

Jika kita melihat secara jeli program “kampus merdeka” yang diluncurkan tersebut maka kita akan melihat beberapa hal. 

Pertama, kampus akan diarahkan untuk memiliki tujuan utama untuk bisa mencetak “pekerja” sesuai dengan keinginan industri. Dengan demikian, kampus yang sejatinya sebagai pencetak intelektual berubah menjadi sekedar pencetak tenaga terampil bagi kepentingan korporasi. Tak ada lagi motto pengabdian masyarakat, yang ada justru insan penghamba kapitalis. Kedua, dengan adanya kemudahan perubahan bentuk perguruan tinggi untuk berstatus badan hukum maka jelas pemerintah akan semakin lepas tangan terhadap penyelenggaraan pendidikan. Ketiga, kampus bisa bekerja sama dengan bermacam-macam lembaga untuk membuka program studi (prodi) baru.
Dengan kebijakan 'Kampus Merdeka', kampus bisa bekerjasama dengan bermacam-macam lembaga untuk membuka prodi baru. 

Perusahaan multinasional, startup, BUMN, sampai organisasi dunia seperti PBB pun ikut menyusun kurikulum untuk prodi baru tersebut. 
Kebijakan tersebut semakin menyempurnakan liberalisasi perguruan tinggi. Dan menjadi bukti bahwa negara berlepas tangan dari pembiayaan perguruan tinggi dan sekaligus menyesatkan arah orientasi perguruan tinggi. Perguruan tinggi hanya menjadi mesin pencetak tenaga terampil bagi kepentingan industri atau kapitalis. 

Maka slogan Tri Dharma perguruan tinggi untuk melakukan pengabdian masyarakat telah berganti wajah menjadi pengabdian bagi kaum kapitalis dan industri. Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh wakil presiden Ma’ruf Amin, tujuan utama bukan lagi membentuk para intelektual-intelektual kampus yang dapat memajukan negeri ini. Namun, mengikuti perkembangan RI 4.0 agar tak kalah bersaing dalam mendapatkan pekerjaan. Hal ini menandakan adanya pergeseran tujuan pendidikan. 

Hal ini tentu sangat berbahaya. Sebab, tujuan utama pendidikan seharusnya memperhatikan aspek identitas atau kepribadian keislaman, termasuk pembentukan perilaku yang luhur, bukan semata berorientasi ekonomi. Tidak cukupkah kasus Reynhard Sinaga menjadi pelajaran?
Frasa 'merdeka' mengesankan upaya melepaskan diri dari berbagai kekangan dan hambatan dalam proses pendidikan. Akankah kebebasan tersebut mengantarkan pada tujuan pendidikan yang sahih?

Dari dari program ini seharusnya kita bisa mengambil pelajaran. apakah komersialisasi pendidikan ini yang kita inginkan? Apakah output perguruan tinggi sebagai budak kapitalisme yang kita dambakan? Apakah kita rela jika para sarjana hanya akan dijadikan budak perusahaan yang hanya memikirkan urusan pribadi mereka dan abai terhadap permasalahan umat? Maka sungguh program “kampus merdeka” ini sejatinya bukanlah merdeka, namun justru kampus telah dijajah oleh korporasi. Dijajah dan dituntut agar arah pendidikan sesuai dengan keinginan mereka. 
Program “Kampus Merdeka” sejatinya akan menjadikan pengarusutamaan Perguruan Tinggi di tangan korporasi semakin deras. Bukan hanya dibuka, tetapi program ini akan menjadikan semakin lebar kran liberalisasi. Padahal pendidikan di Indonesia selama ini sudah menyisakan berbagai macam problematika. Pergantian kurikulum yang terus berubah mengikuti perkembangan ekonomi politik sejatinya sudah cukup menjadi stressor bagi mahasiswa. 

Belum lagi, pembiayaan perguruan tinggi yang semakin lama semakin besar menjadikan rakyat semakin berat dan tidak mampu mengenyam pendidikan tinggi. Layaklah slogan, “orang miskin dilarang kuliah”.
Kondisi ini membuktikan bahwa negara lepas tangan dari kewajibannya memberikan fasilitas pembiayaan pendidikan. Kalaupun ada, hanya beberapa persen saja, sisanya PT harus berjuang sendiri untuk mempertahankan hidupnya. Sungguh ironis!

Islam, Mencetak Intelektual Sejati

Kaum intelektual memiliki posisi yang berbeda dengan orang yang tidak berilmu. Kedudukan mereka sebagai ‘ulul albab’ yang disebutkan di dalam Alquran bisa bersama dengan para Nabi di surga, tidak lain karena keilmuan mereka dilandasi dengan keimanan dan akidah Islam. Islam menyatukan iman, ilmu, dan amal sebagai ruh dalam membangun peradaban. Ilmu yang dimiliki para intelektual bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan dan mewujudkan kemaslahatan umat. Hal inilah yang ikut mewujudkan "Rahmatan Lil’alamin".

“Allah mengangkat orang-orang yang beriman diantara kalian dan mereka yang diberi ilmu dengan beberapa derajat” (QS. al-Mujadalah : 11).

Patutlah Indonesia belajar bagaimana di abad pertengahan dunia Islam telah mencetak para ilmuwan yang berpengaruh di dunia. Ilmuwan tersebut antara lain Al-Khawarizmi (780-846 M) ahli matematika, Ibnu al-Haitham (965-1040 M) ahli astronomi dan matematika, Jabir ibnu Hayyan (721M – 815 M) peletak dasar ilmu kimia modern, Ar-Razi (865-925 M) ahli pengobatan, serta sederet lainnya menguasai sains dan juga memiliki basis ilmu agama atau keislaman yang amat kuat. Contoh lain adalah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani bukan hanya seorang ulama besar, beliau juga menguasai 13 bidang ilmu sains mulai dari astronomi hingga kedokteran. Juga Ibnu Sina (980-1037 M), sebagai Bapak Pengobatan Modern yang oleh sejarawan George Sarton disebutkan sebagai ilmuwan paling terkenal dari Islam juga seorang ilmuwan multidisipliner. 

Para ilmuwan tersebut adalah hasil dari tata kelola pendidikan tinggi di era kehilafahan. Saat itu, tata kelola pendidikan dilaksankan selaras dengan sistem politik-ekonomi yang berlaku di negara tersebut. Pengaturannya didasarkan kepada seperangkat prinsip yang bersumber dari aturan Allah SWT. Diterapkan melalui sistem pemerintahan yakni khilafah yang telah didesain Allah SWT sehingga selaras bagi keniscayaan terlaksanakannya sejumlah prinsip pendidikan Islam. Prinsip-prinsip tata kelola tersebut antara lain sebagai berikut:

Pertama, pelayanan pendidikan harus steril dari unsur komersil. 
Kedua, negara bertanggung jawab penuh dalam peran pelayanan pendidikan.
 Ketiga, strategi pelayanan harus mengacu pada tiga aspek yakni kesederhanaan aturan, kecepatan pemberian layanan, dan dilaksanakan oleh individu yang profesional. 
Keempat,  negara berkewajiban mengalokasikan anggaran dengan jumlah yang memadai untuk pengadaan pendidikan gratis yang berkualitas bagi setiap anggota masyarakat.
 Kelima, pengelolaan keuangan yang amanah (anti korupsi dan tidak boros). 
Keenam, peran individu/swasta dalam pengelolan pendidikan tinggi tidak dibenarkan menjadikan kelalaian tanggung jawab dan fungsi negara, apalagi sampai mempengaruhi kurikulum pendidikan tinggi.

Saatnya meninggalkan sistem kapitalisme yang telah nyata menjadikan pendidikan hanya sebagai pabrik pencetak budak korporasi. 
Selanjutnya kita berjuang mewujudkan generasi unggul yang bermanfaat bagi umat. Sistem pengaturannya didasarkan pada prinsip yang bersumber dari Allah SWT. Dialah sistem Islam sebagai satu-satunya sistem yang akan bisa mewujudkan manusia yang memiliki intelektualitas unggul dan peduli pada kondisi umat. 
Wallahualam.



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak