(Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis)
Wacana pemindahan ibu kota kembali mencuat setelah tiba-tiba secara mengejutkan, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta yang juga Ketua DPD Partai Gerakan Indonesia Raya DKI Jakarta Muhammad Taufik mengeluarkan pernyataan berkaitan dengan status Jakarta sebagai ibu kota negara:
“Insya Allah bulan Juni Jakarta tamat sebagai ibu kota negara. Undang-undang (ibu kota baru) akan keluar bulan Juni,” katanya seperti dilansir detik.com, Senin (27/1/2020).
Padahal sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Kepala Bappenas) Bambang Brodjonegoro memastikan bahwa pemindahan ibu kota negara yang baru ke luar Pulau Jawa dimulai tahun 2024.
Pemerintah menyebutkan, anggaran yang dibutuhkan untuk membangun ibu kota baru mencapai Rp466 triliun. Sungguh biaya yang fantastis! Padahal utang luar negeri kita sudah sangat banyak. Bank Indonesia (BI) merilis Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia tembus US$400,6 miliar per Oktober 2019 atau setara dengan Rp5.608 triliun (kurs Rp14 ribu per dolar AS). Utang tersebut meroket 11,9 persen. (CNN Indonesia, 16/12/2019).
Presiden Jokowi mengungkapkan, kebutuhan investasi yang tak sedikit tersebut bakal menggunakan APBN seminimum mungkin. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memaparkan perkiraan kebutuhan pembiayaan untuk pembangunan ibu kota negara yang baru, dibagi menjadi 3 sumber yaitu Rp89,4 triliun (19,2%) melalui APBN, Rp253,4 triliun (54,4%) melalui Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) serta Rp123,2 Triliun (26,4%) dari pendanaan swasta. (kemenkeu.go.id, 26 September 2019)
Presiden memastikan pembangunan Ibu Kota Negara baru tidak akan menggunakan dana pinjaman atau utang sepeser pun. Ia menegaskan bahwa pemerintah telah menyiapkan berbagai skema. Mulai dari Kerja sama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) sampai dengan Pembiayaan Investasi Non-APBN (PINA). Hal ini pun menjadi salah satu alasan Jokowi menunjuk tiga figur asing untuk menjadi Dewan Pengarah Ibu Kota Negara. Putra Mahkota Uni Emirat Arab (UEA) Syekh Mohammed bin Zayed, CEO SoftBank CoRpMasayoshi Son, dan eks Perdana Menteri Inggris periode 1997-2007 Tony Blair. Kehadiran ketiga orang tersebut, diharapkan memberikan kepercayaan kepada investor asing. (CNBC Indonesia, 17/1/2020)
Ajakan investasi yang dibalut kata ‘kerja sama’ tentu saja disambut baik oleh para investor asing, yang faktanya mayoritas menerapkan sistem ekonomi kapitalisme sekuler. Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengungkapkan ada lima negara yang tertarik menjadi investor di ibu kota baru Indonesia.
Kelima negara tersebut, adalah Jepang, Uni Emirat Arab (UEA), Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman. Suharso mengatakan, investor Negeri Sakura yang tertarik yakni Softbank, investor dari UEA adalah putra mahkota Mohamed Bin Zayed. (katadata.co.id, 16/1/2020)
Belum lagi Saudi Arabia, sebagaimana disampaikan Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia Esam A. Abid Althagafi usai melakukan pertemuan dengan Wakil Presiden Indonesia Ma’ruf Amin. (Kontan.co.id, 27/1/2020)
Sepintas memang sepertinya tidak ada yang salah. Negeri asing menanamkan modalnya di negeri kita. Akan tetapi, jika kita mau mencermatinya secara mendalam, justru ada bahaya yang sangat besar mengancam negeri ini!
Ajakan kepada para investor asing –yang notabene adalah negara kapitalis sekuler– untuk menggerakkan roda perekonomian negeri ini, apalagi berkaitan dengan bidang yang strategis dan sangat vital sebagaimana terkait pembangunan ibu kota negara, justru sangat membahayakan.
Tidak ada makan siang gratis dalam sistem kapitalisme. Investasi yang disepakati oleh dua negara tentu akan menuntut imbalan yang menguntungkan. Sayangnya, keuntungan bukan berpihak pada negeri ini.
Bagaimana bisa menguntungkan, jika kekuatan politik dan kemandirian negeri ini telah tergadai oleh utang luar negeri yang menggunung? Mengemis-ngemis agar asing datang berinvestasi sejatinya menunjukkan, betapa lemahnya negeri kaya raya ini. Padahal negeri kita dikaruniai kekayaan alam yang luar biasa banyaknya. Tetapi sa
yangnya rakyat tidak bisa ikut menikmatinya.
Dalam islam, sekalipun Islam tidak melarang kerja sama dengan asing, akan tetapi ada syaratnya, di antaranya bukan negara yang memusuhi Islam, bukan dalam bidang strategis dan juga tidak menjadikan posisi negeri asing tersebut menjadi menguasai negara muslim.
Demikianlah ketika sistem pemerintahan kita diserahkan kepada aturan manusia. Banyak hal diputuskan hanya berdasarkan kepentingan pembuat kebijakan. Maka, belum saatnyakah kaum muslimin kembali membuka kitab – kitab fiqh nya. Menelaah lembaran sejarah kegemilangan islam. Sehingga menggelora kerinduannya kepada penerapan syari’at Allah, tidak hanya atas nama kesejahteraan. Namun juga atas nama mencari ridho Tuhan mereka.
Wallhu a’lam bi ash showab