Oleh: Norhidayah
Pendidik di Banjarbaru
Mengawali tahun 2020 pemerintah kembali memberikan kabar yang menyesakkan dada rakyatnya. Belum selesai sesak akibat kenaikan premi BPJS , pemerintah kembali menyatakan “ingin membatasi penyaluran dan penyesuaian harga elpiji 3 kg”
dikutip dari pernyataan Anggota Komisi VII DPR RI, Andre Rosiade (money.kompas.com, 02/02/2020)
Hal tersebut tentu saja mengarahkan kepada pelayanan pemerintah yang hanya memperuntukkan si melon hijau untuk masyarakat miskin, namun tidak untuk semua kalangan rakyatnya. Di Kalimantan Selatan sendiri melalui peraturan wali kota atau Perwali, hanya keluarga penerima manfaat (KPM) Program Keluarga Harapan (PKH) yang dapat membeli si melon hijau dengan harga normal yaitu Rp. 17.500,- sementara untuk keluarga non PKH akan membeli diatas harga tersebut. (https://apahabar.com/2020)
Tidak lain dan tidak bukan semua ini dilakukan agar pendistribusian si melon hijau sampai kepada yang memang berhak menggunakannya, namun demikian hal tersebut juga menggambarkan bahwa pemerintah pilih kasih terhadap rakyatnya. Jelas terlihat ada pembedaan status sosial di masyarakat, yaitu ada masyarakat miskin dan ada masyarakat kaya. Yang akan menerima bantuan hanya rakyat miskin saja.
Sementara yang terkategori kaya harus mendapatkan gas elpiji berbayar mahal. Inilah ciri khas kapitalisme yang nampak sekali ke permukaan. Pengabaian pada kebutuhan rakyat. Dan tak ada solusi lain kecuali dengan bayar. Bukan rahasia lagi jika pemerintah sekarang hanya melihat rakyatnya sebagai konsumen bukan sebagai rakyat yang sebenarnya harus pemerintah layani dan mengurusi urusan rakyatnya.
Masalahnya kategori miskin dan kaya menurut pemerintah saat ini tidak jelas. Bisa jadi yang terkategori kaya menurut pemerintah sejatinya hidupnya juga sulit, karena standar kemiskinan yang sangat rendah, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa, selain menerima dan terus berusaha bertahan ditengah himpitan sistem kapitalisme yang sangat zalim ini.
Jika pemerintah menginginkan solusi yang benar-benar solutif maka mengapa hanya melirik pada satu pandangan saja yakni pendistribusian, bukan kah semua hal didalam sebuah roda ekonomi bukan hanya masalah pendistribusian. Lagi pula pemerintah hanya mendistribusikan untuk masyarakat miskin, tentu itu bukanlah pendistribusian yang berkeadilan namun justru menciptakan ketimpangan.
Dalam sistem kapitalisme saat ini, memang semua keperluan pokok masyarakat disediakan, tapi semua adanya di pasar. Masalah bagaimana rakyatnya bisa membeli atau tidak, hal tersebut tidak menjadi perhatian pemerintah. Mau mendapatkannya dengan cara halal maupun haram tak juga diurus.
Sejatinya kemiskinan saat ini terjadi karena sistem kapitalisme, dimana akses ekonomi untuk masyarakat biasa sangat terbatas. Di sisi lain yang memiliki modal besar akan menguasai semua akses ekonomi, sehingga jurang kaya dan miskin menjadi dalam.
Berbicara mengenai sistem ekonomi maka sistem ekonomi dalam Islam lah yang jelas sekali mengatur bagaimana memenuhi kebutuhan rakyatnya. Termasuk pengelolaan SDA seperti gas alam yang akan memberikan manfaat besar bagi kebutuhan rakyat. Sistem ekonomi dalam Islam yang benar-benar memperhatikan pendistribusian hingga sampai dengan aman ke tangan rakyatnya tanpa memandang kaya dan miskinnya rakyat.
Secara umum, sistem ekonomi Islam menetapkan dua mekanisme distribusi kekayaan, yakni mekanisme pasar dan nonpasar. Akan tetapi di sini hanya akan dibahas mengenai mekanisme pasar. Mengambil pembahasan dari tulisan Ustadz Rokhmat S. Labib, M.E.I yang berjudul Metode Distribusi Kekayaan Menurut Islam. Maka penjabaran beliau sebagai berikut: mekanisme pasar, yakni mekanisme yang terjadi akibat tukar-menukar barang dan jasa dari para pemiliknya. Di antara dalil absahnya mekanisme ini adalah firman Allah Swt:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian" (QS al-Nisa’ [4]: 29).
Tidak sekadar diizinkan, Islam juga menggariskan berbagai hukum yang mengatur mekanisme ini. Di antaranya adalah larangan berbagai praktik yang merusak mekanisme pasar. Islam, misalnya, melarang praktik penimbunan barang (al-ihtikâr), sebuah praktik curang yang dapat menggelembungkan harga akibat langkanya barang di pasaran. Kelangkaan bukan karena fakta sesungguhnya, namun karena rekayasa pemilik barang. Demikian pula penimbunan emas dan perak (QS al-Taubah [9]: 34). Dalam mekanisme pasar, kedua logam mulia itu berfungsi sebagai alat tukar (medium of exchange). Sebagai alat tukar, uang memiliki kedudukan amat strategis. Karena itu, jika uang ditarik dari pasar, maka akan berakibat pada seretnya pertukaran barang dan jasa, atau bahkan terhenti.
Pematokan harga (al-tasy’îr) yang biasanya dilakukan pemerintah juga dilarang. Kebijakan itu jelas merusak prinsip ‘an tarâdh[in] (yang dilakukan secara sukarela) antara pelaku transaksi. Padahal merekalah yang paling tahu berapa seharusnya harga barang itu dibeli atau dijual. Karena tidak didasarkan pada kemaslahatan mereka, kebijakan ini sangat berpotensi merugikan salah satu atau kedua belah pihak.
Demikian pula praktik penipuan, baik penipuan pada komoditas dan alat pembayarnya (at-tadlîs) maupun penipuan pada harga (al-ghabn al-fâhisy). Praktik curang itu juga akan menciptakan deviasi harga. Pada umumnya, seseorang bersedia melakukan pertukaran barang dan jasa karena ada unsur kesetaraan. Karena itu, harga barang ditentukan oleh kualitas barang. Namun, akibat praktik at-tadlîs yakni menutupi keburukan atau cacat pada komoditas serta menampakkannya seolah-olah baik barang yang seharusnya berharga murah itu melonjak harganya.
Demikian pula al-ghabn al-fâhisy (penipuan harga). Pembeli atau penjual memanfatkan ketidaktahuan lawan transaksinya terhadap harga yang berkembang di pasar. Akibatnya, penjual atau pembeli mau melakukan transaksi dengan harga yang terlalu murah atau terlalu mahal. Semua praktik tersebut jelas dapat mengakibatkan deviasi harga.
Apabila berbagai hukum itu dipraktikkan, akan tercipta pasar yang benar-benar bersih dan fair. Para produsen yang menginginkan barangnya berharga mahal akan kreatif memproduksi barang yang benar-benar berkualitas. bukan dengan jalan menimbun, menipu, atau menutut pemerintah mematok tinggi harga barangnya; yang merugikan pihak lain.
Demikianlah sistem Islam, sebuah sistem yang berasal dari Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta serta segala isinya maka mustahil melahirkan kezaliman pada rakyat jika pemerintah menerapkannya. Saatnya kita kembali kepada sistem yang sudah diwariskan oleh Nabi Muhammad Saw, Khilafah ala minhajin nubuwwah . Kita harus terus menyuarakan kebenaran, apapun upaya untuk mencegah kembalinya Khilafah pasti akan berbuah kegagalan, karena Khilafah adalah janji Allah Swt.
Wallahu a'lam bishshawab