Omnibus Law Melanggengkan Kepentingan Kapitalis



Oleh : Ghoziyah Almustanirah
Member AMK dan Pemerhati Kebijakan Publik


Pemerintah kalap. Demi memuluskan kepentingan kaum kapitalis, pemerintah rela mengorbankan rakyatnya sendiri. 

Pemerintah menganggap aturan yang selama ini ada belum mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Menghambat investasi. Maka, butuh aturan baru agar para investor nyaman berinvestasi.

Omnibus Law adalah strategi busuk kaum kapitalis yang memakai tangan pemerintah yang gagal total mencapai pertumbuhan ekonomi pada periode lalu. Omnibus Law mengamandemen beberapa undang-undang sekaligus. Dalam draf yang berjumlah 1.028 halaman,  ada 79 UU dan 1.244 pasal yang akan direvisi sekaligus. DPR mulai membahas ini pada akhir Januari dan ditarget tuntas dalam 100 hari. Mampukah DPR membahas ini secara rinci dan teliti? Rasanya sulit.

Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya 20 Oktober 2019 lalu menyebut bahwa Omnibus Law ini akan menyederhanakan kendala regulasi yang kerap berbelit-belit dan panjang. (Katadata.com, 27/12/2019). Surat presiden (supres) dan draf Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja atau Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) ini telah diserahkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto, kepada pimpinan DPR RI Puan Maharani pada tanggal 12 Februari 2020 yang berisi 15 bab dengan 174 pasal. (CNNIndonesia.com, 12/02/2020)

Dalam draf RUU Omnibus Law ini, pemerintah akan merevisi 51 pasal dalam undang-undang Ketenagakerjaan. Diantaranya tentang pemutusan hubungan kerja, pengurangan pesangon, pekerja kontrak untuk semua jenis pekerjaan, penetapan jam kerja, rekrutmen tenaga kerja asing, pasal pidana sengketa ketenagakerjaan, pengupahan, penghapusan UMR, upah sektoral, dan lainnya.

Setali tiga uang dengan presiden, Wakil Presiden Ma'ruf Amin juga menyatakan bahwa, Omnibus Law Cilaka ini akan memudahkan pengusaha berinvestasi di Indonesia. (Kompas.com, 13/02/2020)

Menyikapi hal ini, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menggelar demonstrasi di Jakarta pada 16 Januari 2019. Mereka menyoroti lima hal yaitu penghilangan upah minimum, pesangon, fleksibilitas pasar kerja/penggunaan outsourcing diperluas, lapangan kerja yang tersedia berpotensi diisi oleh tenga kerja asing yang unskill, serta jaminan sosial yang terancam hilang.

Omnibus Law ini akan menjadi payung besar bagi kebijakan pemerintah. Ia bisa menggabungkan beberapa aturan yang substansinya berbeda. Jadi semacam jalan pintas memangkas panjangnya proses regulasi hukum atau aturan di negeri ini. Para kapitalis tidak sabar harus menunggu lama demi memuluskan kepentingan mereka. Butuh waktu hingga 50 tahun hanya untuk satu undang-undang jika menempuh jalur konvensional.
Omnibus Law juga bisa menjadi jalan keluar jika terjadi konflik di antara penyelenggara pemerintahan.

Tidak hanya buruh yang menjadi korban dari Omnibus Law ini. Para pengusaha lokal juga dibuat resah. Pasalnya jika RUU ini disahkan maka, jenis usaha yang dapat dimasuki investor asing akan semakin banyak. Ini akan merugikan pengusaha lokal apalagi yang terkendala modal. 

Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sepanjang tahun 2019, Indonesia berhasil menyerap investasi senilai Rp.809,6 triliun. Namun, sayangnya investasi yang besar ini hanya mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 1.033.835 orang. Apalagi di era Revolusi Industri 4.0. yang serba digital ini, maka lapangan pekerjaan bagi rakyat Indonesia akan semakin sempit.

Pakar hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menilai RUU Cilaka ini berpotensi menciptakan kroni-kroni baru di pemerintahan Jokowi persis seperti era Soeharto dulu. Terlihat sekali RUU Omnibus Law ini akan melanggengkan oligarki.

Dalam RUU Omnibus Law juga diatur tentang perubahan Zona Ekonomi Eksklusif. Ini akan menimbulkan polemik dan sengketa seperti kasus Natuna saat ini. 

Dalam RUU Omnibus Law  juga menyebut perubahan UU Jaminan Produk Halal (JPH) yang tertuang dalam pasal 49. Kewajiban sertifikat halal bagi seluruh produk yang beredar di Indonesia (pasal 4 UU No.33 Tahun 2014 UU JPH) yang semula dipegang oleh MUI dialihkan pada Ormas Islam yang berbadan hukum. Sedangkan kehalalan produk dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal.

Omnibus Law juga melarang perda syariah. Perda syariah dianggap mendiskriminasi penganut keyakinan lain karena merujuk atas dasar agama tertentu. Perda syariah dianggap mengganggu kepentingan umum termasuk ekonomi. Dalam pandangan kapitalis produksi barang dan jasa tergantung dari permintaan. Sedangkan permintaan konsumen berdasarkan kebutuhannya. Namun, saat ini kebutuhan bergandengan dengan keinginan. Naasnya, keinginan ini tidak memiliki standar. Tidak peduli baik atau buruk, haram atau halal bermanfaat atau tidak. Inilah yang dimanfaatkan oleh kaum kapitalis.

Adanya sistem gaji per jam bagi pekerja yang ditulis dalam RUU Omnibus Law ini sangat zalim. Pekerja sangat dirugikan karena saat mereka sakit, cuti hamil, melahirkan dan kepentingan lain sehingga tidak masuk kerja maka tidak akan menerima upah. Begitu juga nasib guru honorer, pendapatan rendah jika hanya mengajar beberapa jam saja. Pemilik modal diuntungkan karena bisa mendapatkan pekerja yang sangat murah. Akhirnya pekerja bak sapi perah yang dipaksa bekerja lebih tanpa jeda agar mendapat upah tinggi.

Akan terjadi persaingan antara pekerja pribumi dengan tenaga kerja asing. Mudahnya WNA masuk dan bekerja di dalam negeri akan berdampak pada asimilasi budaya. WNI dengan budaya timur yang ramah, sopan, dan religius akan berbenturan dengan WNA yang budayanya bertolak belakang. Ini juga berdampak pada kesenjangan ekonomi. Belum lagi dampak kebijakan yang pro kapitalis.  

Kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok, mahalnya biaya kesehatan, pendidikan, serta dicabutnya berbagai subsidi barang dan jasa  akan semakin menyulitkan rakyat. Mereka ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Ada juga kebijakan pajak yang akan semakin mencekik rakyat. Saat ini, sumber pendapatan negara kita bertumpu pada pajak dan utang luar negeri.

Rencana pemindahan ibu kota baru juga dibahas dalam RUU Omnibus Law. Seperti yang kita ketahui pemindahan ibu kota ini membutuhkan lahan dan dana yang tidak sedikit. Sementara Indonesia tidak memiliki dana. Maka ini akan membuka peluang besar bagi para investor atau pemilik modal. Tidak ada makan siang gratis. Ada kepentingan para kapitalis yang harus dipastikan aman oleh penguasa meski harus mengorbankan rakyat sendiri.

Omnibus Law ini menimbulkan kontroversi saat terjadi beda pendapat antar menteri dalam kabinet Indonesia Maju. Dalam RUU Omnibus Law pasal 170 menyebut undang-undang bisa diubah melalui Peraturan Pemerintah dengan "hanya" berkonsultasi kepada pimpinan DPR. Padahal selama ini, UU hanya bisa diubah oleh UU atau PERPU yang telah disetujui DPR.

Semua ini menunjukkan bahwa pembahasan RUU Omnibus Law ini terkesan dipaksakan. Isu pertumbuhan ekonomi dijadikan kambing hitam.

Inilah praktik korporasi. Yaitu, saat penguasa disetir agar membuat kebijakan yang sesuai dengan kemauan pemilik modal. Sistem demokrasi yang memberikan kedaulatan di tangan rakyat membuka celah untuk membuat undang-undang sesuai kepentingan elit tertentu. Tak ada lagi jargon dari, oleh, dan untuk rakyat. Semua demi kepentingan kapitalis. Maka, RUU Omnibus Law ini harus kita tolak. Pemerintah dipilih untuk mengurusi rakyat, mementingkan rakyat dari pada yang lain. Bukan jadi kaki tangan pemilik modal. Wallaahu a'lam bishashawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak