Oleh: Silvi Indah Sari
Lagi dan lagi Hijab menuai perbincangan di kalangan dunia khususnya Indonesia seakan akan hijab merupakan suatu virus yang harus ditakuti dan di cegah dari dini.
Masih ingat pernyataan Menteri Agama, Fachrul Razi, berkukuh melarang pemakaian cadar dan celana cingkrang bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), dihujani kritik oleh mayoritas anggota Komisi VIII DPR yang membidangi agama dalam rapat perdana di gedung parlemen. Pernyataan Sinta Nuriyah tentang “jilbab tidak wajib” yang menuai kontroversi.
Dan Kini muncul kampanye ‘No Hijab Day‘ ala kaum feminis-liberal. Kampanye yang diserukan di jejaring sosial, khususnya Facebook ini pun gencar menuai kritik.
Aksi No Hijab Day pertama kali digagas oleh Yasmine Mohammed di Iran pada Februari 2018. Aksi ini bertujuan untuk melawan aturan-aturan yang memaksa perempuan untuk mengenakan hijab. Aksi ini diduga sebagai aksi kontra World Hijab Day yang diperingati pada 1 Februari. Mirisnya, aksi tersebut dijadikan agenda kampanye global untuk ramai-ramai melepas hijab.
Ajakan untuk melepas hijab disebut sebagai upaya kontra hijabisasi yang patah akhir akhir ini
Padahal Terdapat perbedaan pendapat tentang batasan aurat dan hijab di kalangan para ulama, tarekat dan sarjana keislaman.
Didalam KBBI, hijab (kata benda) adalah kain yang digunakan untuk menutupi muka dan tubuh wanita Muslim sehingga bagian tubuhnya tidak terlihat. Dalam hal ini yang dimaksud dengan hijab jelas merujuk pada jilbab dan khimar (kerudung) sebagai pakaian syar’i Muslimah.
Jilbab dan khimar dipakai Muslimah untuk menutup auratnya. Karena dalam ajaran Islam wajib bagi laki-laki dan perempuan untuk menutup auratnya. Kewajiban menutup aurat dan tidak melihat aurat orang lain diperintahkan Rasulullah SAW., sebagaimana dalam hadis dijelaskan, “Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lainnya. Jangan pula seorang wanita melihat aurat wanita lainnya.” (HR. Muslim).
Sedangkan batasan aurat perempuan berdasarkan pada firman Allah Ta’ala dalam Surat An-Nur [24] : 31, “Janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) tampak pada diri mereka…” Menurut Ibnu Abbas ra. yang dimaksud dengan frasa illa maa zhahara minha dalam ayat tersebut adalah muka dan telapak tangan.
Batasan aurat perempuan juga berdasarkan pada hadis Nabi Saw., dari ‘Aisyah ra. bahwa Asma’ binti Abu Bakar pernah menemui Rasulullah Saw. dengan memakai pakaian yang tipis. Rasulullah Saw. pun berpaling dari dia dan bersabda, “Asma’, sungguh seorang wanita itu, jika sudah haidh (sudah baligh), tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini.” Beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangan beliau. (HR. Abu Dawud). Dari dalil-dalil tersebut jelas aurat perempuan adalah seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan.
Dapat dipahami bahwa tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama mu’tabar tentang kewajiban memakai jilbab dan khimar bagi Muslimah yang sudah baligh. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala dalam Surat Al-Ahzab [33] : 59,
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Di dalam Kamus Al-Muhith disebutkan jilbab itu seperti sirdab (terowongan) atau sinmar (lorong), yaitu baju atau pakaian longgar bagi perempuan selain baju kurung atau kain apa saja yang menutup pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung. Sedangkan dalam Kamus Ash-Shahhah, al-Jauhari mengatakan, “Jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut mula’ah (baju kurung/gamis).”
Sedangkan kewajiban memakai khimar (kerudung) ditegaskan oleh Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an Surat An-Nur [24] : 31,
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya.”
Menurut Imam Ali ash-Shabuni, khimar (kerudung) adalah ghitha’ ar-ra’si ‘ala sudur (penutup kepala hingga mencapai dada) agar leher dan dada tidak tampak.
Jelas jilbab dan khimar (kerudung) merupakan pakaian syar’i bagi Muslimah. Bahkan bila seorang muslimah tidak memiliki, maka sesama Muslimah harus meminjamkan jilbabnya. Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim,
“Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkah dia keluar)?” Lalu Rasul Saw. bersabda, “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.”
Andaikan berjilbab bagi Muslimah tidak wajib, niscaya Rasul Saw. mengizinkan kaum Muslimah keluar dari rumah-rumah mereka tanpa memakai jilbab. Hadis ini pun menegaskan kewajiban berjilbab bagi para Muslimah.
Sungguh adalah dosa dan kenistaan bagi seorang Muslimah menanggalkan/melepas jilbab dan khimarnya. Dosa, sebab telah melanggar apa yang Allah Ta’ala perintahkan. Menjadi nista, sebab sejatinya menanggalkan/melepaskan jilbab dan khimar, sama saja menanggalkan/melepaskan iffah dan izzah seorang Muslimah.(suarislam. Id)
Kampanye No Hijab Day jelas kampanye yang menyesatkan umat muslim, khususnya para Muslimah. Tidak hanya menjerumuskan kaum Muslimin ke jurang maksiat. Tetapi juga menjauhkan ajaran Islam yang mulia dari diri kaum Muslimin. Padahal sejatinya hanya dengan menutup aurat secara syar’i memakai jilbab dan khimar-lah, seorang Muslimah terjaga dan mulia. Maka, tidak ada kata lain selain ‘Tolak No Hijab Day’!