Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Muslimah Penulis Sidoarjo
Benarlah kiranya jika seorang ibu berilmu maka anak akan menjadi penjuru, alias pemimpin pada masanya. Mohamad Hatta, mantan Wakil Presiden pertama Indonesia punya ungkapan yang sangat luar biasa, “Siapa yang mendidik satu laki-laki berarti telah mendidik satu manusia, sedangkan siapa yang mendidik satu perempuan berarti mendidik satu generasi.”
Seorang wanita sebelum menjadi ibu ia harus terdidik dulu. Agar ia mampu melaksanakan tugasnya meski tak sempurna. Saya ingat betul bagaimana ibu sangat konsisten mengingatkan table manner saya diatas meja makan ketika harus makan sekeluarga.
Dulu, tahun 1980-an, makan bersama ayah dan ibu adalah hal yang paling prestise. Sebab, kala itu hanya kebagian nata peralatan makan di meja makan. Makan harus ditempat berbeda. Jika ibu belum mulai mengambil makanan untuk ayah, maka yang lain tidak boleh mendahului.
Menu makanan pun diatur mana yang boleh dan tidak. Mana yang khusus untuk ayah jelas tak untuk dibagi dengan anak-anak. Kolonial? Iya banget. Namun hikmah dari semua itu adalah rasa syukur atas rejeki yang sudah diperoleh. Yang hari ini langka sekali. Tayangan mukbang yang viral semakin menunjukkan bahwa manusia hari ini tak banyak yang bersyukur. Bahkan cenderung berlebihan, boros dan mubadzir.
Masih hangat berita merebaknya virus Corona yang mematikan ribuan manusia. Disinyalir berasal dari kebiasaan masyarakat China yang makan makanan tak halal lagi toyyib. Jika lebih luas lagi dijabarkan, toyyib disini bukan sekedar makanan itu menyehatkan namun juga diolah dan dinikmati dengan cara yang baik.
Bagaimana dengan yang muslim? Justru mereka menjadikan tabble manner mereka yang buruk sebagai penghasilan. Praktek makan makanan yang tak halal, ekstrim ala kafir, makan berdiri, makan tak rapih dan lain sebagainya. Padahal Rasulullah sudah mengajarkan adab makan yang benar, diantaranya jangan mencela makanan, jangan makan sambil berdiri dan ambillah makanan yang terdekat.
Kembali ke kenangan masa kecil. Ibu sangat konsisten mengingatkan kami untuk berdoa sebelum makan, tertib, berurutan, jangan ambil banyak jika khawatir tak habis. Lebih baik ambil lagi jika sudah habis. Ambil makanan dengan tangan kanan. Tidak ngobrol saat makan dan makan tidak bersuara.
Efeknya sungguh luar biasa. Tak pernah ada drama di meja makan gara-gara makanan tak habis atau berantakan, karena porsi disesuaikan sejak awal dengan kebutuhan. Dan hal itu yang juga saya praktikkan kepada anak-anak. Yang paling sering adalah merasakan nikmatnya makanan tanpa berkecap berlebihan sehingga orang disebelah risih karena decakan proses mengunyah kita.
Hanya saja terkadang kendalanya adalah masyarakat sendiri yang tak sepemahaman. Hal itu karena banyak faktor, karena taraf ekonomi rakyat yang beragam, bahkan muncul kesenjangan yang tajam menjadikan proses makan yang seharusnya mubah menjadi haram. Budaya makan ala Eropa yang lebih keren untuk diadopsi. Tak soal makanan itu halal dan toyyib atau tidak samasekali.
Banyak beredarnya makanan halal yang tidak toyyib atau malah tak halal juga tak toyyib tak mendapat respon yang sigap dari pemerintah. Di sekolah-sekolah hanya diajarkan bagaimana masak dan makan makanan olahan yang menjadi ikon daerah misalnya. Bagaimana cara memperolehnya dan bagaimana cara makan yang benar itu dikembalikan kepada masing-masing individu.
Alhasil, anak sekarang seolah menjadi produk gagal table manner. Mereka tumbuh besar secara phisik namun atitude buruk. Guru mereka adalah gaya hidup tak Islami. Alhamdulillahnya anak-anak sudah terbiasa, meskipun harus bersabar mencari tempat duduk jika dalam sebuah hajatan tak menemukan kursi. Atau lebih baik melanjutkan perjalanan dan tidak berhenti di satu tempat makan yang sekiranya meragukan.
Disinilah kesempatan mengenalkan betapa indahnya syariat kepada anak-anak. Soal makanan diatur bukan sekedar bagaimana kenyang. Namun menjadi maslahat bagi semua, baik alam semesta, manusia dan kehidupan. Makan tak sekedar keindahan namun bagaimana makanan itu bisa menjadi pendukung kaum muslim untuk beribadah lebih optimal. Wallahu a'lam Bish Showwab.
Tags
Opini