Praktisi Pendidikan Palembang
Menteri Agama Fachrul Razi menanggapi kasus perusakan tempat ibadah di Minahasa Utara, Sulawesi Utara (Sulut), yang viral di media sosial. Fachrul menyatakan, perusakan tempat ibadah memiliki rasio yang sangat kecil dibanding dengan jumlah tempat ibadah di Indonesia.
"Sebetulnya kasus yang ada, kita bandingkan lah ya, rumah ibadah di Indonesia ada berapa juta sih? Kalau ada kasus 1-2 itu kan sangat kecil," kata Fachrul di Kota Bogor, Kamis (30/1).
Bak gayung bersambut, pernyataan Menteri Agama tersebut juga menuai tanggapan dari beberapa elemen masyarakat salah satunya Anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat Brigjen Pol (Purn) Anton Tabah Digdoyo, Beliau menilai apa yang dikatakan Fachru tidak tepat. Kata dia, komentar semacam itu bertolak belakang dengan semangat pemerintah yang menggaungkan untuk membangun radikalisme. "Nggak pantas Menag bicara seperti itu, katanya mau libas radikalisme. Lha kasus Minahasa ini adalah "the real radicalsm"," ujar Anton (rmol.id, 01/02/2020).
Aksi perusakan terhadap Masjid Al Hidayah yang berada di Perum Agape, Kelurahan Tumaluntung, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), memicu reaksi keras umat Islam.
Ribuan umat Islam berdatangan ke Masjid Al Hidayah. Tidak hanya dari kota-kota sekitar Sulut, tapi juga dari Poso, Sulawesi Tengah dan beberapa kota lainnya di Sulawesi (INDOPOLITIKA.COM, 31/01/2020).
Banyak kasus perusakan rumah ibadah adalah bukti masih lemahnya pembangunan kerukunan beragama. Kasus-kasus perusakan rumah ibadah tidak hanya terjadi saat ini, sebelumnya sudah pernah terjadi dan sekarang terulang lagi. Padahal beberapa bulan yang lalu saat ada perusakan rumah ibadah warga minoritas pernah ada usulan dari Menteri Agama agar komitmen kepala daerah terhadap keadilan hak rumah ibadah masuk dalam Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) versi Kemenag. Sehingga menurutnya bisa terlihat daerah mana yang kurang berkomitmen. Namun berbeda tanggapannya terhadap perusakan rumah ibadah di Masjid Al Hidayah baru-baru ini yang seolah tidak serius ditanggapi, terkesan hanya persoalan sepele karena hanya sekedar muncul pendapat tentang rasio perusakan rumah ibadah yang menurutnya sangat kecil dibandingkan jumlah tempat ibadah di Indonesia.
Ketika respon yang berbeda itu tampak di masyarakat, justru akan membuat tanda tanya besar kenapa bisa berbeda dalam menanggapi kasus krisis kerukunan umat beragama ini? Apakah pemerintah serius dalam komitmennya meningkatkan kerukunan antar umat beragama? Bagaimana tindak lanjut kasus ini? Apakah berujung pada pembiaran dan akhirnya lenyap dalam pemberitaan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut terkadang muncul dibenak masyarakat.
Hal ini tentunya menjadi sorotan publik, ketika keadilan dirasa tebang pilih dan tidak berpihak pada kebenaran, kepercayaan publik akan sirna dan tinggallah nestapa, kerukunan yang diharapkan hanya tinggal ilusi.
Mengapa ini bisa terjadi? Tentunya tidak lain karena sistem yang saat ini digunakan dalam menimbang keadilan adalah bukan dalam sistem yang haq. Saat ini sistem yang digunakan adalah demokrasi sekuler, dimana aturan dibuat untuk menata kehidupan umat manusia dijauhkan dari aturan agama. Sistem demokrasi yang lebih berkonsentrasi menegakkan pembelaan berlebihan terhadap warga minoritas, justru berpotensi munculkan tirani minoritas termasuk dalam sikap beragama. Ketika ada pembelaan berlebihan, maka warga minoritas seolah punya dalih untuk sah-sah saja merusak tempat ibadah agama lain dengan alasan gedung yang mereka hancurkan belum memiliki izin. Padahal hak untuk beribadah menurut keyakinan agama masing-masing termasuk ibadah salat berjamaah di dalam masjid dilindungi oleh undang-undang, tidak diperbolehkan tempat ibadah yang menaungi mereka menjalankan ibadahnya diganggu, aktivitas didalamnya diusik ketenangannya, bahkan rumah ibadahnya dihancurkan atau dirusak. Ini merupakan bentuk radikalisme yang nyata yang semestinya harus diberantas.
Disamping itu, toleransi antar umat beragama yang selama ini di dengungkan bak sebuah ilusi, karena tidak berfungsi ketika peristiwa ini terjadi. Hal ini sekaligus membuktikan siapa sebenarnya yang intoleran dalam peristiwaini. Peristiwa ini menunjukkan bahwa sistem sekuler telah gagal dalam mewujudkan kerukunan umat beragama yang hakiki.
Untuk itu komitmen dalam menjaga kerukunan umat beragama tidak hanya harus dimunculkan pada kesadaran diri setiap umat beragama, melainkan juga harus dicontohkan oleh pemimpin negeri dalam mengurusi rakyatnya. bahkan agar komitmen ini terealisasi dengan nyata, harus ada kebijakan yang dibuat pemerintah baik pusat maupun daerah bersinergi serius mengatur kebijakan yang melindungi kerukunan umat beragama. Ketika ada tindakan kriminalitas perusakan tempat ibadah, pemerintah dan pihak berwenang harus bertindak tegas mengusut dengan serius dan memberikan tindakan yang nyata dalam mengadili para pelaku kejahatannya tanpa tebang pilih.
Berbeda dalam sistem Islam, kerukunan antar umat beragama dapat diwujudkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, ajaran Islam yang haq sudah memberikan tuntunan yang sempurna tentang bagaimana pergaulan dengan sesama umat manusia, baik sesama pemeluk agama maupun antar pemeluk agama. Ajaran Islam mengungkapkan hidup damai, rukun dan toleran. Kerukunan umat beragama adalah kondisi dimana antar umat beragama dapat saling menerima, saling menghormati keyakinan masing-masing, saling tolong menolong, dan bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama dengan tidak mencampuradukkan akidah yang diyakini masing-masing.
Ajaran Islam tentang kerukunan umat beragama sudah dijalankan sejak pertama kali negara Islam tegak di Madinah, Islam diterapkan oleh Rasulullah dalam masyarakat yang majemuk. Berbagai suku, ras, agama bisa saling berdampingan di sana.
Allah Swt menciptakan manusia sebagai mahluk yang terbatas, saling ketergantungan dan membutuhkan satu sama lain, baik kebutuhan material maupun spiritual. Manusia tidak bisa luput satu sama lain, tetapi ajaran Islam sudah memberikan tuntunan ini terkait bagaimana membantu sesama, tolong- menolong (ta'awun) dalam kebaikan bukan dalam kemaksiatan. "... Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan… (QS al-Maidah [5]: 2).
Artinya Islam sudah jelas melarang perusakan tempat ibadah karena merupakan bagian dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Ajaran Islam juga menuntun tentang toleransi yang hakiki, dimana setiap manusia dipersilahkan memeluk agama sesuai keyakinan masing-masing tanpa paksaan. "...Untukmu agamamu, dan untukku agamaku (TQS Al-Kafirun:6). Dan firman Allah tentang : "...Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat...(TQS. At Taubah atau Al-Baqarah) Begitu jelas batasan toleransi dalam ajaran Islam, sehingga jika berpegang teguh pada ajaran Islam ini tidak akan salah dalam bersikap atau bahkan melakukan sesuatu yang sifatnya merugikan orang lain.
Keberhasilan sistem Islam dalam mewujudkan kerukunan beragama bukan isapan jempol, terbukti sejak 13 abad yang lalu bagaimana Nabi Muhammad menjalankan keberagaman, dimana selama periode Madinah, keadilan diterapkan secara utuh (tanpa kecuali) oleh Nabi, termasuk terhadap Muslim yang melanggar.
Dalam firman Allah Swt : Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat (QS An-Nisa:105).
Ayat di atas menguraikan betapa seorang Yahudi yang dituduh mencuri oleh seorang Muslim yang justru si Muslim munafik itulah pencurinya. Ayat tersebut turun untuk mengingatkan nabi agar tidak terpengaruh dengan tipu daya sang pencuri sehingga dimenangkannya atas sang Yahudi itu. Dengan demikian keadilan ditegakkan di tengah masyarakat plural yang dipimpin oleh Nabi tanpa tebang pilih.
Wallahu a'lam bishshawab