Nasib Honorer di Tangan Rezim Sekuler

Oleh: Maya. A (Gresik)

       Nasib tenaga honorer lagi-lagi berada di ujung tanduk. Hal tersebut karena wacana akan dihapuskannya tenaga honorer di lingkungan pemerintahan oleh pemerintah pusat sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. 

UU tersebut menyebutkan hanya ada dua jenis status kepegawaian, yakni aparatur sipil negara (ASN) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).

Terkait tenaga honorer ini, Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo mengaku bahwa anggaran pemerintah pusat terbebani dengan kehadiran mereka. Pasalnya, setiap kegiatan rekrutmen tenaga honorer tidak diimbangi dengan perencanaan penganggaran yang baik. Terutama di pemerintah daerah.

Untuk diketahui, sejak pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS dari tahun 2005-2014, setidaknya sudah ada 1.070.092 orang yang berhasil menjadi abdi negara. Sementara sisanya ada sekitar 438.590 orang di lingkungan pemerintahan yang masih berstatuskan honorer. Dilansir oleh detikFinance (25/1/2020), problem ini ditargetkan selesai pada 2021.

Sungguh, betapa mirisnya nasib rakyat di bawah kendali kapitalisme yang hanya dipandang dari sisi ekonomis (perhitungan untung rugi). Di satu waktu ia bisa dianggap sebagai komoditas menguntungkan berkat sumbangsih pajaknya yang dijadikan supply terbesar APBN, namun di lain waktu ia juga dianggap membebani anggaran negara. Tak heran jika kemudian banyak kebijakan yang sengaja dibuat untuk mengurangi beban ini dengan menjadikan rakyat sebagai tumbal.

Melihat kasus ini, kentara sekali bahwa sejatinya negara telah gagal mengatasi problem penyaluran tenaga kerja. Masih membludaknya pekerja honorer di lingkungan pemerintahan (yang ironisnya sebentar lagi akan dihilangkan) menjadi bukti jika perekrutan  mereka tidaklah didasarkan pada kebutuhan operasional lapangan. Melainkan sebagai cara instan negara dalam mengurangi masalah pengangguran. Terlebih lagi, mereka bersedia digaji rendah (sesuai budget negara) karena minimnya pengalaman.

Kondisi berbeda justru dihadirkan oleh Islam dimana rekrutmen pegawai negara tidak mengenal istilah honorer. Mereka direkrut sesuai kebutuhan riil negara untuk menjalankan semua pekerjaan administratif maupun pelayanan terhadap masyarakat. Mereka terikat aqad ijarah dengan negara dan digaji layak sesuai jenis pekerjaan yang diambilkan dari kas Baitul mal. Bila kondisi Baitul mal sedang kosong/tidak mencukupi, maka barulah negara akan menarik dlaribah/ pajak kepada orang orang kaya yang sifatnya temporer (tidak terus menerus).

Tak hanya menjamin kesejahteraan para pegawainya, negara Islam juga menjamin terbukanya lapangan kerja bagi setiap rakyat yang dipundaknya memikul tanggungjawab nafkah. Sehingga rakyat tak lagi berbondong-bondong berebut status kepegawaian ASN yang dalam sistem kapitalis ini, digadang gadang mampu memberikan jaminan hidup layak dan tunjangan hari tua.

       Jika penerapan Islam mampu menjamin adanya kebaikan, lantas untuk apa lagi kita bersikukuh mempertahankan sistem sekuler kapitalis yang jelas jelas hanya menyengsarakan?

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak