Oleh Maya A (Gresik)
Bank Dunia baru saja merilis laporan bertajuk "Aspiring Indonesia, Expanding the Middle Class" pada akhir Januari lalu. Kategori ini diasumsikan sebagai kelas menengah 'tanggung' atau di ujung jurang. Dalam riset itu, 115 juta masyarakat Indonesia dinilai rentan miskin.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eni Sri Hartati memaparkan kaum rentan miskin ini berpotensi langsung 'goyang' jika terjadi perubahan harga kebutuhan. Baik itu BBM, listrik maupun kebutuhan pokok.
Dia juga menilai bahwa bansos dan bentuk bantuan lainnya yang selama ini diberikan untuk kaum miskin, hanya membantu secara angka statistik. Ketika bansos digelontorkan dan kemudian disensus, maka angka kemiskinan akan langsung turun. Pun sebaliknya. (CNN Indonesia 31/1)
Tidak bisa dipungkiri, kemiskinan masih menjadi problem utama negeri ini. Tak perlu jauh jauh merujuk pada kuantitas perhitungan dari Bank Dunia, karena dari fakta terdekat saja, jamak sekali dijumpai kasus bunuh diri karena himpitan ekonomi. Bahkan tak segan dari mereka melibatkan anak karena terlalu frustasi.
Perlu diketahui, berlarutnya masalah ini bukan berarti negara tak ambil bagian dalam menangani. Pada Maret 2018 lalu, Menteri perencanaan pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro bahkan pernah mengatakan bahwa ia telah menyiapkan 5 strategi untuk menekan angka kemiskinan. Namun, ragam formulasi ramuan/ racikan tersebut tampaknya tak mampu mengentaskan kemiskinan total. Dan dipastikan tidak akan pernah mampu selama sistem kapitalisme tetap dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah.
Bahkan diakui para ahli, kemiskinan massal adalah produk laten dari kapitalisme yang eksistensinya hanya bisa ditekan/diturunkan, bukan dihilangkan.
Sebuah data menunjukkan, satu dari delapan orang seluruh dunia menderita busung lapar. Menanggapi hal itu, Pengamat Ekonomi Universitas Pendidikan Indonesia, Arim Nasim pada 2016 lalu mengatakan bahwa kelaparan tersebut bukan karena tidak tersedia nya sumber daya alam. Tapi, karena 80% kekayaan dunia dimonopoli oleh 20% manusia.
Paradigma ekonomi semacam ini tentu saja dilegalkan, bahkan akan terus dipelihara oleh kapitalisme. Endingnya, kekayaan hanya terakumulasi di tangan segelintir orang, sementara mayoritas masyarakat sisanya tetap hidup dalam keterbatasan.
Beralih pada aspek solusi, maka kapitalisme dipastikan hanya menawarkan solusi yang ilusi. Kontradiksi bahkan selalu terjadi. Disatu sisi jalan keluar dengan membuka lapangan kerja kerap digemborkan, tapi disisi lain kran TKA justru dibuka lebar. Disatu sisi UMKM diupayakan berdaya, namun disisi lain akses justru banyak dikuasai oleh konglomerasi dan perusahaan besar yang melakukan penetrasi hingga tingkat UMKM.
Tak hanya itu, selama ini upaya penurunan angka kemiskinan pun lebih banyak diperoleh dengan mengotak atik angka melalui pembuatan standarisasi/ukuran, bukan menghilangkan kondisi miskin secara nyata.
Sementara Islam, ia justru menjanjikan hal sebaliknya. Dengan metode penyelesaian yang sistemik, kesejahteraan adalah hal mutlak yang pasti diperoleh tatkala Islam diterapkan dengan sempurna.
Dari hulu, fokus sistem ekonomi Islam ada pada distribusi kekayaan dengan melarang keras monopoli terhadap barang barang milik umum seperti SDA dan komoditas strategis. Sehingga dengan begini, negara bisa leluasa mengelolanya untuk dikembalikan lagi manfaatnya kepada rakyat berupa fasilitas kesehatan, pendidikan dan keamanan.
Negara juga menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan dengan membuka lapangan kerja seluas luasnya. Termasuk juga menyiapkan skill individu terutama laki- laki yang di pundaknya memikul tanggung jawab nafkah.
Namun, jika seseorang tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya dan keluarga, kewajiban itu otomatis beralih pada kerabat terdekat. Jika tidak mencukupi, diambilkan dari harta zakat. Jika belum mencukupi, barulah kewajiban itu beralih ke negara, yakni wajib atas Baitul Mal memenuhinya. Negara bisa memberikannya dalam bentuk harta secara langsung maupun dengan memberi pekerjaan.
Inilah mengapa penerapan Islam secara kaffah wajib untuk diperjuangkan. Selain sebagai wujud ketaatan seorang hamba terhadap Penciptanya, penerapan Islam juga menjamin kesejahteraan bagi rakyatnya.