Oleh: Rosmiati, S.Si
Kemiskinan adalah sesuatu yang selalu menarik untuk dibahas. Pasalnya, persoalan ini adalah hal yang masih sulit untuk dihapuskan. Tak hanya dalam tataran lokal. Secara nasional pun sama. Kita masih sulit keluar dari rantai kemiskinan.
Secara nasional, jumlah penduduk miskin mencapai 24,79 juta jiwa pada September 2019 lalu (cncbindonesia.com, 15/01/2020). Sementara di Sulawesi Tenggara (Sultra) sendiri, meski jumlah penduduk miskin berkurang 2,16 ribu dari 302, 58 ribu orang pada Maret 2019 lalu (sultra.antaranews.com, 15/01/2020) Tetap saja angka yang tersisah masih cukup besar yakni 300, 42 ribu orang. Ha ini menunjukan, kemiskinan masih sulit untuk dilawan.
---
Kemiskinan selalu digambarkan dengan kondisi dimana ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan makan atau pokok sehari-harinya (www.bps.go.id). Itulah mengapa, pemerintah meluncurkan program kesejahteraan seperti bantuan sosial hingga bantuan pangan non tunai, program keluarga harapan dan lain sebagainya. Dengan harapan angka kemiskinan dapat ditekan. Dan kabarnya, di wilayah Konawe program ini berhasil, meski hanya mampu menurunkan 1, 14 persen jumlah penduduk miskin (mediakendari.com, 24/01/2020).
Akankah, program sosial ini berhasil memberangus kemiskinan di bumi Anoa? Pasalnya perihal kemiskinan adalah sesuatu yang telah mendarah-daging di negeri ini. Kita lihat saja nanti.
Pasalnya, Untuk Sulawesi Tenggara sendiri, menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEBI) Universitas Halu Oleo (UHO) Prof. Dr. Muh. Syarif, SE.MS, penyebab tingginya angka kemiskinan dikarenakan sebagian besar penduduk Sultra bekerja pada sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan yang mana sektor-sektor tersebut pada hari ini menglami pola pertumbuhan yang melambat. Sehingga wajar bila berdampak pada turunnya taraf hidup rakyat (mediakendari.com, 27/08/2019)
Sementara menurut Statistisi Muda BPS Provinsi Sulawesi Tenggara Erra Septy Vibriane, S.Si,ME, selama yang diberikan pemerintah tetap ‘ikan’, bukan ‘kail’ maka angka kemiskinan sewaktu-waktu akan membengkak kembali. Penduduk miskin rentan untuk semakin miskin, penduduk setengah miskin rawan jatuh miskin. Lain cerita bila pemerintah menitik beratkan program pengetasan kemiskinan melalui pembukaan lapangan kerja baru untuk meningkatkan pendapatan penduduk secara permanen dan berkelanjutan (sultraline.id). Selain itu pula, lebarnya jurang ketimpangan yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat menjadi salah satu penyebab terjadinya kemiskinan.
Enny Sri Hartati Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute National Development and Financial (Indef) menyoroti tingginya harga bahan kebutuhan pokok serta minimnya pembukaan lapangan kerja bagi masyarakat sebagai penyebab munculnya fenomena kemiskinan yang seolah tiada habisnya (Liputan6.com, 07/01/2016).
Ya, kesejahteraan masyarakat memang ditentukan oleh kebijakan ekonomi pemerintah. Maka terjadinya kemiskinan bisa juga disebabkan akibat gagalnya perkembangan ekonomi yang direncanakan pemerintah (Liputan6.com, 08/04/2019).
Sayangnya ini tak disadari. Solusi yang diberikan masih saja belum mampu menyentuh akar permasalahan. Meskipun pemberian bantuan berhasil. Tapi tetap saja aspek itu belum menyentuh seluruh lini kehidupan masyarakat. Karena pada faktanya, kebutuhan rakyat beraneka ragam. Ada yang hanya fokus memenuhi kebutuhan hariannya seperti urusan makan dan minum.
Namun ada pula yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan pada pos-pos pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Sedang kita pun tahu, bahwa hari ini, biaya kesemuanya cukup membumbung tinggi. Sementara bantuan non tunai hanya bermain pada sektor pemenuhan kebutuhan pokok. Lantas, apa kabar dengan biaya kesehatan, pendidikan, tarif listrik, air bersih dan lainnya? Bukankah takaran kesejahteraan tidak hanya berputar pada urusan pangan saja? Pada dimensi ini pun patut untuk diperhatikan.
---
Meski begitu, kemiskinan sejatinya tidak hanya melanda negeri Zamrud Khatulistiwa ini saja. Di beberapa negara di dunia pun, kemiskinan masih menjadi kawan sejati penduduk manusia. Artinya secara global tata kelola ekonomi di bawah kapitalisme belum mampu membawa manusia keluar dari jeratan kemiskinan.
Dilansir dari laman Liputan6.com ada beberapa faktor penyebab kemiskinan diantaranya dipengaruhi oleh faktor minimnya latar belakang pendidikan, terbatasnya lapangan kerja serta minimnya hasil alam. Namun, Indonesia sejatinya negeri yang subur bila mengacu pada poin terakhir. Idealnya rakyat dapat hidup makmur dan sejahtera. Tapi kenapa, justru banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan?
Inilah yang kiranya patut dipertanyakan. Tak ayal, hasil alam itu hari ini telah diprivatisasi oleh segelintir elit yang bermodal besar. Merekalah yang mengelola serta menjadi penikmat tunggal. Di Sultra misalnya, banyak perusahaan tambang beroperasi tapi sedikit rakyat yang bisa dipekerjakan. Malah justru sebaliknya banyak warga kehilangan mata pencaharian akibat maraknya perusahaan tambang beroperasi. Mulai dari perluasan lahan serta persoalan limbah. Rakyat pun akhirnya ibarat pepatah ‘telah jatuh tertimpa tangga pula’. Namun apa hendak dikata inilah risiko akibat mengadopsi tata kelola ala kapitalisme. Yang sejatinya hanya mengakomodasi kepentingan para pemilik modal atau pelaku usaha.
---
Melihat kompleksitas persoalan ini maka tidak cukup rasanya bila hanya memberi tunjangan. Sebagaimana ungkapan sang Statistisi di atas, berikanlah ‘kail’ jangan terus-menerus ‘ikan’ yang diberi. Karena bagaimanapun urusan mencari rizki adalah perkara yang kelak akan dimintaipertanggungjawabannya oleh Allah Swt. Sebagaimana FirmanNya dalam surah Al Baqarah ayat 233, “Kewajiban para ayah memberikan makanan dan pakaian kepada keluarga secara layak.”