Menolak Miskin di Negara Mati



        Oleh: Farida Nur Rahma, M.Pd.
Dosen Ilmu Komunikasi STIBA Ar-Raayah

Berita Sukabumiupdate.com (15/02/2020) yang menulis tentang laporan The Interpreter pada 3 Februari 2020, situs milik Lowy Institute, lembaga penelitian asal Australia bahwa “Indonesia kaya tetapi masih memiliki banyak orang yang sangat miskin…” membuat kita malu, karena berarti pemerintah Indonesia belum mampu mendistribusikan kekayaan dengan benar. Buktinya kekayaan empat milyader Indonesia setara dengan pendapatan 40% orang miskin di Indonesia (100 juta orang). Maka bukan  hal yang aneh jika tingkat kemiskinan di Papua tujuh kali lebih tinggi daripada Jakarta.

Kemiskinan massal ini adalah kondisi laten akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sehingga, gunung-gunung emas, sungai-sungai migas dan pasir-pasir intan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia hanya menjadi bahan bancakan investor asing. Sedangkan penduduk setempat masih tidak beranjak dari kemiskinannya.
Rasanya mustahil kita menolak miskin di negeri ini. Karena, pemerintah menempatkan dirinya bukan sebagai pelayan rakyat. Tetapi, sebagai pelayan para korporat. Ketika ada asa mengentaskan kemiskinan pun malah mendengar rekomendasi Bank Dunia (World Bank) yang ujung-ujungnya adalah membuka keran bagi investor asing, “resep lama yang tidak mujarab”. Ditambah dengan rekomendasi memperluas basis pajak terutama pajak tembakau dan alkohol. Bukankah dua komoditas ini yang menyebabkan kekacauan ekonomi rumah tangga dan kekacauan sosial? Bukankah kekacauan sosial adalah faktor penghambat pencapaian kemajuan pembangunan? “resep mallpraktek”.

Ketika  negara mengklaim bahwa ekonomi Indonesia tumbuh sekitar 5%, sungguh itu adalah angka pertumbuhan alami, ada atau tidak ada pemerintah, selama aktiftas ekonomi lancar maka itu adalah angka pertumbuhannya.  Lalu, di mana fungsi negara?  Alih-alih “meroketkan” angka pertumbuhan ekonomi, yang ada “meroketkan angka kemiskinan” dengan menaikkan tarif kebutuhan pokok di antaranya tarif BPJS, tarif dasar listrik (TDL), tarif gas dan tarif tol. Betul-betul mustahil menolak miskin di negara mati.

Ayo kita hidupkan fungsi negara ini dengan sesuatu yang “menghidupkan” yaitu Islam. Syariat Islam sudah memberikan panduan yang jelas dalam mengentaskan kemiskinan, baik dalam level individu, masyarakat maupun penguasa. Pertama, pada level individu adalah disyariatkan untuk laki-laki bekerja dalam jenis pekerjaan yang dihalalkan Allah. Tugas negara adalah menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi warga negara terutama bagi laki-laki. Kedua, di level masyarakat adalah saling memperhatikan pemenuhan kebutuhan saudaranya yang kekurangan. Kemarahan Allah sangat besar jika ada pengabaian terhadap seseorang yang kelaparan di tengah-tengah masyarakat. Ketiga, pada level penguasa, bisa dilakukan dengan 7 langkah yaitu: melarang sistem riba, menciptakan sektor usaha produktif, pemerintah memenuhi kebutuhan pokok massal (pendidikan dan kesehatan) sehingga income per-keluarga hanya dialokasikan untuk kebutuhan individu, dalam kondisi khusus negara memberi nafkah kepada invidu tanpa mewajibkan perempuan bekerja, aset bumi (sumber daya alam) diplot sesuai Syariah Islam, menggunakan Baitul mal sebagai pengelola pemasukan dan pengeluaran negara (tanpa pajak dan utang) dan menggunakan sistem moneter berbasis emas dan perak.

Jika penguasa berani mengambil langkah ini, maka keberkahan dari langit dan bumi akan tumpah ruah. Secara historis sudah terbukti puncak kegemilangan pencapaian sistem ekonomi Islam pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Walaupun secara pribadi, dia hanya bisa mewariskan 17 Dinar (Rp. 35 juta) untuk keluarganya, tapi ia meninggalkan kekhalifahan Islam yang seluruh warganya merasakan kemakmuran dan kesejahteraan luar biasa sehingga pada zamannya tidak ada seorang pun yang mau menerima zakat!

Wallahu A'lam Bishshowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak