Menakar " Drama Garuda", Hedonisme Mengudara






Oleh: Eqhalifha Murad
(Pengamat dan eks praktisi penerbangan)


Menyitir perkataan almarhum BJ. Habibie: " Semakin tinggi terbang, dunia terlihat semakin kecil." Tidak begitu tampaknya bagi para oknum penerbangan Maskapai Garuda beberapa dekade belakangan ini. Seperti halnya mantan Dirut Indra Setiawan yang tersangkut kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir, serta terdakwa pilot Pollycarpus yang di penjara 20 tahun, lalu beberapa tahun kemudian dibebaskan bersyarat dan selang beberapa saat dibebaskan secara murni.


Kemudian mantan Dirut Emirsyah Satar (2005-2014) yang tersandung kasus korupsi dan suap pengadaan armada pesawat ( tribunnews.com ,08/12/2019). Dan yang fenomenal baru-baru ini mantan Dirut Ari Askhara yang menyelundupkan kendaraan mewah hingga merugikan negara hampir 1,5 milyar rupiah, sampai terkuaknya skandal pribadi termasuk oknum jajaran direksi serta pilot dengan awak kabin.


Hingga beberapa jajaran direksi menggugat akun @digeeembok karena merasa nama baik mereka dicemarkan lantaran disebut sebagai "germo" antara pramugari dan oknum pejabat. Adapun pilot yang mengangkut kendaraan mewah berupa sepeda motor gede (moge) Harley Davidson dan 2 sepeda Brompton yang diselundupkan di dalam bagasi pesawat, merupakan suami dari penyanyi dangdut terkenal yang juga terbongkar affairnya dengan seorang pramugari yunior (cnnindonesia.com, 18/12/2019).


Menteri BUMN, Erick Thohir menyampaikan pada acara ILC di tv One, Selasa 11 Februari 2020, bahwa apapun yang kita lakukan dengan sistem apapun kalau memang akhlaknya tidak bagus ya percuma saja, jelasnya. Sebelumnya Garuda juga tersandung kasus pelanggaran laporan keuangan tahun buku 2018, yakni memanipulasi laporan bahwa Garuda mengalami keuntungan padahal sebenarnya rugi.


Sikap hedonis yang menghamba kepada kesenangan dunia buah diadopsinya pemikiran sekulerisme, yang memisahkan agama dari kehidupan, perkawinan silang antara Ideologi Kapitalisme dan Materialisme, serta perselingkuhan liberalisme dan feminisme sehingga pergaulan bebas menjadi tren dan gaya hidup lalu menjadi polusi akut dalam dunia penerbangan.


Sadar atau tidak, ideologi-ideologi sesat ini menjadi penumpang-penumpang gelap dan telah berhasil mendarat dengan mulus di setiap kebijakan di sektor publik satu ini. Kebijakan terhadap tarif tiket pesawat yang setiap saat selalu meroket apalagi diwaktu peak season membuktikan iklim kapitalis begitu pekat.


Oleh sebab itu awan hitam yang menyelimuti tubuh Garuda ini hanya bisa hilang apabila ditiupkan angin sejuk Islam sebagai ideologi. Syari'ah sudah mengajarkan bagaimana seharusnya sikap atasan dengan bawahan, pun peraturan pergaulan pria dan wanita non mahrom, hukuman bagi pezina, pembunuh dan bagaimana upaya mengamputasi tindak korupsi serta sangsi.


Selain itu sebagai salah satu moda transportasi yang dibutuhkan oleh rakyat, pemerintah harus benar-benar memfasilitasi dengan cuma-cuma, karna syari'ah mewajibkan sektor publik menjadi hak rakyat yang harus segera dipenuhi. Tidak ada untung rugi dalam menyediakan fasilitas umum, karena semua ada dalam tanggungan negara.


Begitu juga dengan pemikiran bahwa profesi pramugari yang telah menjadi pilihan menggiurkan hampir seluruh gadis di Indonesia akan terbang seiring dengan pemahaman Islam mereka. Karena Islam sangat memuliakan wanita, kemuliaan itu tidak diukur dari seberapa tinggi profesi dan penghasilan mereka tapi seberapa tinggi ketaqwaan mereka di sisi penciptanya.


Pramugari dipajang untuk menarik pelanggan pesawat agar mampu bersaing dengan maskapai lain, padahal tujuan utama awak kabin dalam pesawat adalah untuk keselamatan (Safety First) yang membutuhkan kepekaan mendeteksi situasi, kecermatan, ketepatan dan kecepatan berfikir dalam keadaan darurat sekalipun, tidak hanya ketinggian IQ tapi juga EQ dalam mengontrol emosi.


Tapi apa lacur, awak kabin wanita harus menjalani profesi yang tidak sesuai dengan fitrahnya, upaya untuk memberikan izin mereka memakai seragam pramugari yang syar'ipun hanyalah sebuah solusi yang parsial. Sedangkan persaingan antar maskapai penerbangan tidak harus terjadi karena sekali lagi moda transportasi udara ini bukan untuk bancakan bisnis. Negara juga harus hadir memberikan lapangan kerja bagi semua laki-laki sebagai pencari nafkah dan Islam tidak menghendaki adanya upaya untuk mengeksploitasi wanita.


Teknologi dirgantara tercipta tidak hanya sekedar memindahkan fisik dan materi ke suatu tempat dalam waktu singkat, saatnya hijrah yang sebenarnya. Di atas langit masih ada langit, di atas Raja masih ada Maha Raja. Kembali teringat perkataan almarhum BJ. Habibie: " Jika saya disuruh memilih ilmu membuat pesawat atau ilmu agama, maka saya akan pilih ilmu agama." Wallahu a'lam Bish Showwab.

Goresan Pena Dakwah

ibu rumah tangga yang ingin melejitkan potensi menulis, berbagi jariyah aksara demi kemuliaan diri dan kejayaan Islam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak